"Bapak kenal dengan ibu Ani?" tanya Damar tak menyangka.
"Iya, saya pernah bertemu dengannya dulu." Dewanda melirik istrinya dan Adriel bergantian.
"Di mana beliau sekarang?" tanya Dewanda pada Sandra.
"Dia dibawa ke rumah sakit di pinggir kota. Puskesmas di sini tidak mempunyai peralatan yang lengkap untuk menanganinya. Dia terkena serangan jantung," terang Sandra.
"Kita ke sana, Pak?" Maria tampak cemas sekali mendengar berita tentang ibu Ani, pendiri dan pemilik panti asuhan Belaian Kasih itu.
"Tapi ...." Damar melirik tamunya sejenak.
"Tidak apa, Pak. Kami juga ingin melihat keadaannya." Dewanda mengerti apa yang sedang dipikirkan oleh calon besannya itu. Melati dan Adriel menoleh padanya secara bersamaan.
Tanpa diskusi panjang, mereka langsung berangkat ke rumah sakit, tempat wanita yang sudah berusia lebih dari 70 tahun itu. Sandra ikut bersama Adriel di mobil, sementara Damar dan Melati memilih untuk naik sepeda motor saja dengan alasan agar tidak merepotkan calon besannya itu. Tidak butuh waktu lama, mereka sudah sampai ke tempat tujuan.
Ani Cahyani, janda tanpa anak itu tengah terbaring di ranjang rumah sakit dengan bantuan beberapa alat. Sebenarnya, sangat riskan tinggal seorang diri di usianya yang sudah lanjut. Pada usia 40 tahun, dia harus kehilangan suaminya tercinta tanpa meninggalkan seorang anak. Keadaannya yang seperti itulah, yang membuatnya memutuskn untuk membuka panti asuhan. Wanita yang juga berprofesi sebagai seorang guru SD di desa itu, mendedikasikan hidupnya untuk panti asuhan Belaian Kasih. Dengan harapan di sana dia bisa mencurahkan belas kasihannya pada anak-anak yang tidak beruntung karena hidup tanpa orang tua. Di sisi lain, dia juga dapat menemukan cintanya dari anak-anak itu.
Melati menatap lekat wajah wanita yang sudah tidak sadarkan diri itu dari balik kaca. Mereka tidak diizinkan masuk, cukup melihat dari luar. Wajah itu mengingatkannya pada peristiwa hampir 30 tahun yang lalu. Luka yang masih memeras air matanya setiap kali teringat akan kejadiannya. Ketika Adriel berlari ke dalam pelukannya.
"Aku takut, Nek," isak Adriel kala itu sambil memeluk erat dirinya.
"Jangan takut lagi Sayang, nenek dan kakek sudah bersamamu sekarang." Melati megusap air mata cucunya itu dengan lembut, meski air matanya sendiri berderai tak tertahankan.
Berbulan-bulan mereka terpisah dari bocah kecil berusia lima tahun itu. Betapa hancurnya Melati ketika mendengar berita kecelakaan yang dialami Adrian, putranya bersama anak dan istrinya. Mobil mereka masuk ke dalam jurang dan meledak. Padahal, sebelumnya mereka berpamitan untuk pergi liburan ke luar kota.
Duka tidak hanya seberat itu, mereka harus berusaha mencari jasad korban yang ternyata tidak ada di tempat kejadian. Menurut keterangan yang berwajib, ada kejanggalan dari kecelakaan itu. Dewanda harus mengerahkan semua pikiran dan uangnya untuk menguak semua teka-teki itu.
"Mereka adalah orang-orang licik." Begitu ucapan Dewanda pada Melati karena tidak ingin terlalu melibatkan istrinya dalam kasus ini, mengingat masalah kesehatannya.
Segala upaya dan cara mereka lakukan hingga akhirnya dapat menemukan Adriel di sebuah panti asuhan. Mereka mengetahuinya saat melakukan kegiatan amal di berbagai panti asuhan, salah satunya Panti Asuhan Belaian Kasih. Adriel yang sudah cukup besar, langsung mengenali mereka ketika datang menjemput.
***
Dewanda langsung merangkul istrinya ketika mendengar suara isak yang tak disadari oleh wanita tua itu. Dia mengerti apa yang sedang dirasakan oleh pendamping hidupnya itu. Sakitnya kembali terasa, sama seperti yang dirasakan olehnya.
Sementara itu, pandangan Adriel juga tertumpu pada ibu Ani. Tatapannya tajam, mengungkap sesuatu yang tak terkatakan. Kedua tangannya mengepal.
Sepasang mata Sandra menangkap ekspresi aneh dari Adriel, meski dia tidak tahu apa yang sebenarnya pernah terjadi. Menyadari sedang diperhatikan, Adriel langsung menoleh pada di pemilik mata. Tatapan mereka beradu. Mata Sandra harus menghadapi mata elang dari laki-laki yang akan segera menjadi suaminya itu. Sandra begitu ketakutan.
Mungkin memang ini jalannya, aku harus menikahi wanita ini, batin Adriel.
Adriel menatap mereka berdua secara bergantian. Mereka seperti enggan untuk menceritakannya. Dia menyorot linangan air di lensa mata Maria. Napas Sandra pun terlihat tidak normal, seperti tertahan-tahan."Adriana telah meninggal setelah sepuluh tahun menjadi bagian keluarga kami." Ada getaran dalam kalimat Maria. Linangan air itu memenuhi rongga matanya dan hendak meluap."Kami mengadopsinya dari panti asuhan Belaian Kasih. Dia adalah korban kecelakaan dan kedua orang tuanya meninggal. Beruntung dia selamat." Sebuah senyuman pahit terbit di wajahnya yang penuh guratan menua."Namun, tak seperti yang diharapkan. Kecelakaan itu menyisakan penderitaan baginya. Beberapa kali dia mengalami kejang dan kesakitan. Kondisi panti saat itu tidak memungkinkan untuk merawatnya. Entah mengapa juga, hati kami tergerak untuk mengadopsinya." Maria kembali tersenyum pilu mengenang Adriana."Lalu?"Sekuat hati Adriel berusaha bersikap biasa saja, seolah yang mengalami itu bukan adik kan
"Pak Anto," sahut Damar dari dalam. Ia berjalan menghampiri pria itu yang masih berdiri di ambang pintu."Aku ingin menyampaikan sesuatu," ujarnya dengan suara dipelankan, namun dapat terdengar jelas oleh Adriel dan Sandra."Nanti saja kita bicarakan, Pak. Anak dan menantu saya baru saja datang." Damar melirik sebentar ke dalam rumah, sambil tersenyum sungkan pada Adriel. Dia tampak sekali salah tingkah.Anto berusaha menganalisa arti kedipan mata Damar, hingga akhirnya ia memutuskan untuk berpamitan. Sekejap menoleh Adriel yang tengah memandangnya penuh selidik.Adriel ingat betul wajah laki-laki yang menemukannya bersama Adriana di tengah hutan dekat tepi jurang saat itu. Dia tak sanggup lagi menangis karena harus menenangkan adiknya yang terisak meraung-raung. Hanya saja air matanya turun bagai aliran air dari mata air."Anto," sebutnya dalam hati.Baru kali ini dia mengetahui nama pria itu. Setelah menemukan mereka, Anto membawanya ke panti asuhan, bertemu deng
Matahari belum terlalu tinggi saat mereka sampai di desa kediaman orang tua Sandra. Adriel memilih berjalan pagi sekali agar bisa santai, mengingat kondisi Sandra. Beruntung, Sandra sudah melewati masa-masa mualnya sehingga perjalanan dapat ditempuh dengan mulus."Stop, stop." Tiba-tiba Sandra meminta sopir memberhentikan mobil ketika melewati Panti Asuhan Belaian Kasih.Hampir tidak dapat dipercayainya, melihat bangunan tua dan reok itu sudah berubah menjadi bangunan baru dan kokoh. Adriel tahu apa yang membuat istrinya ingin berhenti, tapi dia tak ingin memberi tahunya sekarang. Sandra akan mengetahui saat semuanya sudah jelas.Bukan tanpa alasan Adriel mau menemani Sandra menemui orang tuanya. Sejak mengetahui bahwa Damar dan Maria yang mengadopsi Adriana, dia berusaha mencari waktu untuk membicarakannya."Aku sudah terlalu lama tidak ke sini. Tapi, siapa yang melakukannya?" oceh Sandra sendiri entah pada siapa dia bicara. Tapi, dia yakin kedua orang di dekatnya, mend
Bi Tuti mengingat-ingat, matanya berotasi seperti anak sekolah yang sedang berkutat dengan hafalannya. Kemudian dia menggeleng perlahan."Pernah, sih." Wajahnya mendadak masam.Seperti yang ditakutinya, seketika itu juga hati Sandra mencelos. Baru saja ia merasakan manis perhatian Adriel ditambah bumbu godaan dari Bi Tuti, kini dia kembali dibawa ke alam sadar. Sandra harus sadar diri bahwa pernikahannya dengan Adriel hanya sebatas sebuah perjanjian sementara. Semua yang dilakukan suaminya adalah untuk mencapai tujuannya."Tapi, Nyonya ...." Bi Tuti buru-buru memperbaiki informasi yang diberikannya setelah melihat ekspresi Sandra."Bukan Tuan yang membawanya, dia yang datang sendiri," lanjutnya lagi."Siapa? Alena?" tebak Sandra yakin dengan mata tajam menyorot kepolosan seorang Tuti."Nyonya kenal? Pasti sedih sekali jika mengetahui mantan suami." Bi Tuti berlagak sedih seolah pernah merasakannya juga.Sandra hanya menarik kedua sudut bibirnya untuk memaksakan
Sandra terlena, pertahanannya kacau oleh sihir Adriel. Dia tak mampu menahan ketika bibir Adriel bekerja nakal. Pagutan laki-laki itu tak terbantahkan.Mereka masih berada di depan pintu kamar. Adriel tidak perlu takut ketahuan oleh siapapun di dalam rumah, ini adalah rumahnya. Dia juga tak perlu takut dimarahi karena Sandra adalah istrinya.Sandra merasakan dirinya semakin lemah. Bukan, hatinya yang lemah. Lidah Adriel telah menerobos masuk, mencari pasangannya. Organ tak bertulang itu begitu liar, memberi sensasi lain yang belum pernah dirasakan oleh Sandra.Ya, ini adalah kali pertamanya meski sebelumnya mereka pernah menyatu. Tidak seperti waktu lalu, Adriel tanpa permisi langsung pada intinya. Menerobos masuk tanpa pembukan, sangat menyakiti. Kali ini, Adriel meminta dengan penuh kelembutan.Dengan mudah, tanpa melepas pelukan dan pagutan, Adriel berhasil membawa Sandra masuk ke dalam kamar. Pintu tertutup dengan pelan, sepelan langkah mereka menuju ranjang lu
Adriel mendongak sebentar, lalu kembali menatap meja. Wajahnya datar, tak ada ekspresi kaget kedatangan mantan kekasih.Ya, mantan. Sejak dia melihat langsung, kekasihnya itu berada dalam kamar bersama Denis, dia sudah tak menganggapnya kekasih lagi. Rasa yang selalu bergejolak setiap kali bertemu Alena, mendadak sirna, bagaikan goresan pasir terhapus ombak."Aku gak masalah, kamu kembali padanya untuk sementara waktu. Semua demi masa depan kita, kan? Tapi, gak gini juga, Sayang. Masa kamu mau makan di tempat seperti ini." Suara Alena terlalu nyaring, tak menyadari sepasang telinga milik penjual nasi goreng itu ikut mendengarnya. Wajahnya mengguratkan ketidaksenangan atas ucapan Alena."Kalau sudah selesai makan, kita langsung balik, ya," pinta Adriel pada Sandra. Wajahnya yang tenang berubah kusam.Alih-alih menjawab dan menanggapi Alena, dia malah menarik tangan Sandra yang tidak jadi menghabiskan nasi gorengnya. Seleranya menguap akibat kedatangan Alena.Sandra men