Gadis kecil itu menunggu dengan gelisah tapi mamanya belum datang.
"Cia belum dijemput?" tanya salah seorang guru saat melihat salah satu muridnya itu masih berada di kelas. Dia masih memeriksa pekerjaan rumah sehingga belum pulang.
"Mama belum datang."
"Katanya tadi gimana?"
"Tunggu sampai mama datang."
"Kalau gitu kita tunggu. Ibu temani."
Ciara membuka kotak bekal yang tadi disiapkan bibik. Sebagian sudah habis, yang tersisa hanya sandwich isi ayam.
"Ibu mau?"
"Gak usah. Kamu makan aja."
Ciara langsung melahapnya dan meminum air putih. Dia jarang jajan di kantin, hanya sesekali. Itu sudah dibiasakan sejak pertama kali masuk sekolah saat masih ada Laura.
"Maaf mama telat, ya." Dara tergesa-gesa masuk ke kelas, karena sempat tersasar ruangan.
"Ayok pulang, Ma. Katanya mau ke rumah nenek."
Dara meraih tangan putrinya dan mengucapkan terima kasih kepada guru yang tadi menemani.
Sesampai di parkiran, Dara memasangkan helm dan mendudukkan Ciara di depan.
"Pegangan, ya."
Motor melaju membelah jalanan hingga tiba di sebuah rumah di pinggir kota.
"Assalamualaikum." Dara mengetuk pintu karena terkunci.
"Waalaikum salam."
Seorang wanita paruh baya tergesa-gesa membukakan pintu.
"Oalah, Nak!"
Dara memeluk ibunya dengan haru karena rindu yang meluap kemudian mereka masuk ke dalam.
"Sudah makan belum?"
"Tadi Cia makan sandwich tapi masih lapar," jawab anak itu yang membuat Dara dan ibunya saling berpandangan.
"Ayo kita ke dapur. Nenek bikin sop ayam enak banget. Sama kerupuk tempe goreng. Suka?"
"Sukaaaa."
"Kalau gitu Cia ganti baju sama cuci tangan dulu. Habis itu kita makan bareng." Dara mengajak putrinya masuk ke kamar dan membersihkan diri.
Bertiga mereka duduk di meja, mulau makan dan sambil bercerita.
"Ibu tungguin katanya libur mau datang, kok malah muncul hari ini."
"Pada sakit semua, Bu. Jadi aku baru sempat ini mampir," jawab Dara sambil menuang sayur ke piring Ciara.
"Loh, sakit apa kalian?"
"Cia sakit gigi. Papa sakit perut," jawab anak itu.
Sejak dulu memang keluarga mereka sudah tidak asing dengan Ciara ataupun Dewa. Namun Dara memang tidak terlalu dekat.
"Jadi malam-malam ke dokter gigi, Bu," jelas Dara.
"Wah, cucu nenek pasti makan permen."
"Memangnya gak boleh ya, Nek?"
"Boleh. Tapi jangan banyak. Terus harus rajin sikat gigi."
Ciara mengangguk dan meneruskan makan sampai selesai. Dara membawa putrinya kembali ke kamar dan memutarkan film kartun. Dia sendiri masih ingin berbincang dengan ibu.
Ada hal-hal yang baiknya orang dewasa bicarakan tanpa perlu didengar oleh anak-anak.
"Bapak kemana? Dari tadi kok gak kelihatan?"
"Pergi gak tau kemana, mungkin jalan sama temannya."
"Tumben bapak keluar. Biasanya betah di rumah."
"Sejak kalian gak ada rumah ya sepi," ucap ibu murung.
"Ibu udah ziarah ke makam Laura?"
"Udah hari sabtu kemaren. Pergi sama bapak. Tadinya mau ajak kamu. Tapi takut ganggu pengantin baru."
Dara merasa tak enak hati mendengarnya. Dia lupa memberi kabar karena sudah sibuk mengurus anak suami.
"Dara lupa ngabarin ibu. Soalnya Cia sempat demam terus sakit gigi," jelasnya lagi.
"Ya gak apa-apa. Ibu ngerti kok. Kamu udah punya keluarga sendiri."
"Masih adaptasi, Bu. Rasanya aneh aja tiba-tiba ada didekat mereka."
Dara mulai mencurahkan isi hatinya. Selama ini memang ibu yang selalu menjadi teman berbagi cerita.
Berbeda dengan Laura yang periang dan pandai bergaul dengan siapa saja. Dia lebih pendiam dan sulit terbuka dengan orang lain.
"Memang gitu suami istri. Sudah pacaran lama aja masih adaptasi apalagi kalian yang baru kenal." Nasihat ibu.
"Iya, Bu. Untungnya Ciara udah besar, jadi udah ngerti dikasih tau."
"Eh tapi kamu baik-baik aja, kan sama Dewa?"
"Baik aja, Bu."
"Jangan suka bertengkar. Jangan suka membantah suami, apalagi kalau dia ngasih tau yang baik."
Wanita itu mengangguk dan mendengarkan semua penuturan ibunya.
"Tugas istri itu berbakti. Jalani kewajiban, penuhi haknya." Mata ibu mengerling ke arah putrinya.
Wanita paruh baya itu sedikit curiga karena Dara tak seperti pengantin yang baru yang biasanya berseri-seri. Kenapa putrinya malah terlihat murung?
"Dara lagi berusaha, Bu. Mereka udah terbiasa sama Laura."
"Ya nanti lama-lama juga semua berubah. Suami istri itu saling melengkapi kekurangan satu dengan yang lain."
"Semoga aku sanggup, Bu."
"Bertengkar dan berselisih paham itu biasanya, Nak. Nanti kalau ada anak, hubungan semakin harmonis."
"Sudah ada Ciara, Bu."
"Loh, maksudnya anak kamu sama Dewa. Ciara itu kan bawaan dari istri pertama."
Deg!
Jantung Dara berdetak mendengar ucapan ibunya.
"Ibu sama bapak juga pingin punya cucu dari kalian. Dari kamu. Biar rumah ini gak sepi."
Dara mengangguk dan kembali terdiam. Entah harus menjawab apa jika sudah disinggung tentang ini.
"Lagi diusahakan, Bu. Doakan aja."
"Semoga dikasih cepat."
"Iya, Bu."
"Kamu kenapa, habis nikahan kok murung? Ibu pikir kamu bakal bahagia. Apa kami salah merestui kalian?"
Dara menggelengkan kepala. "Gak kok, Bu. Aku bahagia." Dia mengukir senyum manis supaya ibu tidak curiga.
Lama mereka berbincang. Ada banyak wejangan yang diberikan ibu supaya putrinya menjadi istri yang taat.
Asyik berbincang, tak lama bapak pun datang. Dara memeluk laki-laki separuh baya itu dengan erat.
"Sehat kamu?"
"Alhamdulillah sehat, Pak."
"Sendirian?"
"Sama Cia."
"Mana cucuku?"
"Di kamar. Lagi nonton. Tadi Dara ngobrol sama ibu."
"Kalau gitu Bapak mau lihat Cia."
"Gak makan dulu, Pak?" tanya Ibu.
"Tadi udah. Sama teman-teman."
"Memangnya tadi kemana?"
"Muter-muter kota."
Ibu terlihat kesal dengan jawaban suaminya. Itu membuat Dara tersenyum.
"Tuh, jangankan kalian yang baru nikah. Ibu sama bapak saja masih suka begitu."
Dara melirik jam tangan. Tak terasa hari sudah sore.
"Habis magrib aku pulang ya, Bu. Besok Cia masih sekolah."
"Yaudah kamu istirahat dulu sana. Ibu mau bersihkan dapur."
Dara berjalan ke dalam hendak menuju kamarnya. Namun, langkahnya terhenti di depan kamar Laura.
Pelan dia membuka pintu yang tidak dikunci. Suasananya masih sama, tidak ada yang berubah. Ibu tetap membiarkannya seperti semula. Katanya kalau rindu, ibu kadang tidur disana.
Ada foto-foto yang ditempel dinding. Foto adiknya dengan Dewa, juga Ciara. Mereka tampak bahagia dan terrtawa.
Dara tersenyum melihatnya. Tangannya mengusap kaca dibagian wajah adiknya. Lalu dia duduk di pinggir ranjang dan menatap sekeliling ruangan.
Merasa kelelahan, dia merebahkan tubuh dan memejamkan mata.
"Kak, jaga Dewa untukku."
Dara tersentak saat merasakan ada suara yang berbisik di telinganya. Lalu membuka mata dan melihat bahwa hari sudah gelap. Ternyata dia tertidur dan ini sudah hampir maghrib.
Dia segera bangun dan keluar. Keget saat melihat ada suaminya di ruang tamu sedang berbincang dengan bapak.
"Mas kok datang?"
"Khawatir sama kalian. Kamu bilang pulangnya agak malam, nanti Cia tidur di motor lagi," jawab Dewa.
"Oh, iya. Aku lupa."
"Kamu baru bangun? Sana cuci muka, ada bekas iler," goda lelaki itu sambil tersenyum melihat penampilan istrinya. Dara tampak kusut dengan rambut yang sedikit berantakan.
Melihat itu Dara jadi salah tingkah. Dia langsung ke kamar mandi dan mencuci muka, meninggalkan Dewa dan Bapak yang sedang tertawa melihat tingkahnya.
Setelah selesai maghrib berjamaah dan makan malam, mereka berpamitan pulang.
Sepanjang perjalanan kata-kata tadi masih terngiang di telinganya. Apalagi setiap melihat Dewa.
"Kamu kenapa?"
"Pusing."
"Mau beli obat dulu?"
"Gak usah, Mas. Langsung pulang aja."
"Besok mas anter pagi-pagi. Pulangnya naik ojol aja ke rumah ibu," kata Dewa.
Benar kata suaminya, Ciara tertidur selama di perjalanan karena kelelahan.
Sesampainya di rumah, Dara segera masuk ke kamar. Dengan cepat dia mandi, karena Dewa masih di kamar putri mereka.
Dara tersentak saat keluar dan melihat suaminya duduk di sofa kamar.
"Habis mandi?"
"I-ya, Mas," katanya gugup.
Wanita itu membuka lemari dan mengambil baju. Sepertinya dia akan ganti baju di kamar mandi. Apalagi melihat pandangan Dewa yang cukup menyeramkan.
"Tau gak tadi pas ngobrol sama bapak bahas apa?"
"Apa?"
"Bapak minta cucu."
Seperti biasa, Dara berpura-pura tak mendengar.
"Menurut kamu, kita kasih secepatnya atau nanti aja?"
Senyum melengkung di bibir lelaki itu. Sementara Dara sibuk mengatur detak jantung yang berdegup semakin kencang.
Dewa berjalan mendekati istrinya yang masih termenung di depan lemari. Sengaja dia berdiri di belakang wanita itu."Yang mas transfer tadi udah masuk?" bisiknya lembut. Kedua tangannya memegang bahu Dara dengan lembut."U-dah, Mas. Makasih," jawab Dara gugup."Dipakai buat apa?" tanya Dewa berbasa-basi.Sebenarnya dia tak terlalu mempermasalahkan untuk apa uangnya digunakan. Bagi Dewa, nafkah yang sudah diberikan itu hak istri sepenuhnya. Terserah Dara mengaturnya."Traktir Riri makan siang, sama ngasih Ibu dikit. Nanti weekend mau ajak Cia jalan," jawab Dara gugup. Tangannya gemetaran sejak tadi.Jangan tanya degup jantung, serasa hendak melompat keluar karena detaknya begitu kencang."Siapa Riri?" tanya Dewa lagi. Kali ini dia maju selangkah dan mereka sudah tak berjarak."Sahabat aku di sekolah."
"Kak. Jaga Dewa untukku."Dara terbangun saat merasakan ada tepukan di pipi. Matanya mengerjap berkali-kali dan melihat sosok Riri sedang menatapnya."Kamu demam, Ra. Ayo aku antar pulang. Sekolah udah sepi.""Memangnya ini jam berapa?""Jam 4.""Astagfirullah. Aku gak ikut pertemuan jadinya.""Tadi udah dibilangin kamu lagi sakit. Jadinya gak apa-apa.""Syukurlah.""Kamu abis ngapain sampai sakit gini? Di rumah disuruh nguras bak mandi?" tanya Riri. Dia membantu Dara duduk karena sahabatnya itu terlihat lemas sekali."Kecapean kali ini. Soalnya Cia sama Mas Dewa sempat sakit. Jadinya aku ngurusin mereka berdua," elak Dara. Tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya kepada Riri."Kamu izin aja kalau emang gak sanggup kerja. Daripada drop begini."Dara mencoba berdiri. "Aduh." Wanita itu meras
Bunyi muntahan terdengar dari kamar mandi. Dewa yang terlelap langsung membuka mata dan duduk bersandar di head board ranjang. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Nyawanya masih setengah terkumpul dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih.Dia berjalan menuju kamar mandi saat suara muntahan terdengar lagi. Begitu pintunya terbuka, tampaklah Dara sedang mengeluarkan seluruh isi perutnya. Satu tangan istrinya berpengangan di pinggiran wastafel dengan keran air yang mengucur deras.Refleks dia membantu memijat tengkuk dan bahu istrinya. Dara sendiri terlihat lemah dengan wajah pucat dan napas yang tidak teratur."Kamu kenapa?""Gak tau. Bangun tidur perut aku kembung terus mual banget," jawab wanita itu sambil memijat dahi yang berdenyut sejak tadi."Cuci muka dulu biar seger. Aku bikinkan teh hangat," kata Dewa mengambilkan handuk kecil untuk istrinya.Dara mengambil handuk itu dan membasuh mukanya. Rasa
Sudah dua minggu ini Dara terbaring lemas. Jangankan berjalan, bangun dari tempat tidur pun dia tak mampu. Tubuhnya limbung setiap kali hendak berdiri.Hyperemesis, itulah diagnosa yang diberikan dokter kandungan kepadanya. Mual, muntah, tekanan darah rendah, yang dialaminya sekarang semakin hari semakin menghebat. Ditambah dengan mimisan dan sariawan yang datang bergantian membuatnya ingin menyerah."Mas ....""Sabar, ya," bujuk Dewa."Aku gak sanggup," keluh Dara. Entah mengapa rasanya dia ingin mati saja."Gak boleh bilang gitu." Lelaki itu mengusap kepala istrinya dengan sayang."Sampai kapan?""Kata dokter kan tiga bulan pertama. Jadi sebentar lagi.""Ibu mana, Mas?""Masih di jalan," jawab Dewa."Suruh cepatan. Aku gak kuat.""Sini mas pijet.""Gak mau. Mas mijetnya gak ikhlas."Dewa mengusap dada. Selama hamil, sikap Dara berubah seratus delapan puluh derajat. Semua yang dilakukannya sel
"Mau pergi juga?" tanya Dara saat melihat suaminya sedang bersiap-siap.Cuaca di luar sedang hujan deras dengan angin yang berembus cukup kencang.Tangan mungilnya mengusap perut yang mulai membesar. Ini bulan keenam dan mualnya sudah berkurang. Justru sekarang, Dara sangat suka makan sehingga berat badannya naik hampir dua kali lipat dari semula."Ada janji sama yang mau beli rumah. Lumayan kan kalau deal 1 unit," jawab Dewa sambil mengancingkan kemeja dan memasang sabuk. Lelaki itu menyisir rambutnya dan menyemprotkan sedikit parfum."Apa gak bisa ditunda perginya, Mas? Besok gitu," bujuk Dara. Entah mengapa perasaannya tidak enak kalau Dewa harus memaksakan pergi sekarang juga."Dia mau bayar cash. Nanti selisihnya bisa buat biaya lahiran kamu," jawab Dewa sambil menangkup pipi Dara dan menatapnya dalam.Hari libur seperti ini harusnya dia bersantai bersama keluarga. Namun, kesempatan tidak datang dua kali. Jadi Dewa aka
Dara duduk di kursi tunggu bersama kedua orang tuanya dan Ciara. Setelah mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan, dia langsung menghubungi keluarga dan bergegas menuju ke rumah sakit.Untunglah hujan sudah reda, hanya menyisakan gerimis. Sehingga mereka bisa cepat sampai walaupun ada sedikir kemacetan di beberapa jalan yang tergenang."Sabar, Nak." Ibu mengusap punggung putrinya sambil menenangkan saat mereka bertemu di rumah sakit."Ini cobaan dari Gusti Allah, Nak. Kamu yang kuat," lanjut Bapak.Lelaki paruh baya itu juga merasa khawatir namun hanya bisa berserah diri. Hal yang sama pernah dia rasakan sewaktu kepergian putri keduanya, Laura. Hanya saja, Dewa masih bisa diselamatkan. Itu berarti masih ada harapan untuk kembali pulih. Tak hanya Dara, semua orang merasa gelisah dalam penantian. Entah sudah berapa jam suaminya berada di ruang operasi dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Keluarga Dewa masi
Dara menatap buku di tangannya dengan perasaan hampa. Semangat mengajarnya hilang. Ingin rasanya berhenti dan fokus mengurus Dewa, tapi itu tidak mungkin dilakukan. Siapa yang nanti akan mencukupi kebutuhan hidup mereka?Banyak dana yang dikeluarkan selama suaminya dirawat di ruang intensive. Bantuan memang datang dari banyak pihak, terutama keluarga dan rekan kerja. Dara bersyukur akan hal itu, namun tetap saja dibutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk proses penyembuhan."Gimana kondisi Mas Dewa, Ra?" tanya Riri.Jam mengajar sudah selesai, tapi Dara masih memeriksa tugas murid-muridnya. Dia tak mau membawanya ke rumah, karena Ciara akan meminta perhatian. Anak itu rewel sekali sejak ayahnya dirawat, tidak mau jauh darinya."Belum ada kemajuan satu minggu ini, Ri. Aku juga gak tau."Matanya bengkak karena setiap hari menangis. Nanti setiba di rumah dia akan istirahat dan makan sebentar kemudian pergi ke rumah sakit. Begitulah ru
Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Samar-samar terlihat ruangan serba putih dengan bunyi entah apa yang asing baginya.Dia mencoba mengerakkan tubuh. Namun seketika rasa sakit yang teramat sangat menghantam kepalanya tiada henti. Dewa ingin berteriak, namun tak ada satupun kata yang terucap dari bibir.Air matanya menetes karena tak kuasa menahan nyeri yang terasa di hampir seluruh tubuh."Pasien sadar!"Seorang perawat memberitahukan rekan kerjanya. Beberapa yang lain ikut menghampiri bed dimana Dewa terbaring dan merintih kesakitan."Panggil dokter sekarang!"Tak lama berselang, seorang lelaki paruh baya dengan memakai jas putih masuk dengan tergesa-gesa."Pasien sudah sadar, Dok."Dokter mulai memeriksa beberapa bagian tubuh Dewa dan memberikan tindakan yang diperlukan."Alhamdulillah. Ini semua atas karunia Tuhan," ucapnya.Selama menangan