Dewa berjalan mendekati istrinya yang masih termenung di depan lemari. Sengaja dia berdiri di belakang wanita itu.
"Yang mas transfer tadi udah masuk?" bisiknya lembut. Kedua tangannya memegang bahu Dara dengan lembut.
"U-dah, Mas. Makasih," jawab Dara gugup.
"Dipakai buat apa?" tanya Dewa berbasa-basi.
Sebenarnya dia tak terlalu mempermasalahkan untuk apa uangnya digunakan. Bagi Dewa, nafkah yang sudah diberikan itu hak istri sepenuhnya. Terserah Dara mengaturnya.
"Traktir Riri makan siang, sama ngasih Ibu dikit. Nanti weekend mau ajak Cia jalan," jawab Dara gugup. Tangannya gemetaran sejak tadi.
Jangan tanya degup jantung, serasa hendak melompat keluar karena detaknya begitu kencang.
"Siapa Riri?" tanya Dewa lagi. Kali ini dia maju selangkah dan mereka sudah tak berjarak.
"Sahabat aku di sekolah."
"Kak. Jaga Dewa untukku."Dara terbangun saat merasakan ada tepukan di pipi. Matanya mengerjap berkali-kali dan melihat sosok Riri sedang menatapnya."Kamu demam, Ra. Ayo aku antar pulang. Sekolah udah sepi.""Memangnya ini jam berapa?""Jam 4.""Astagfirullah. Aku gak ikut pertemuan jadinya.""Tadi udah dibilangin kamu lagi sakit. Jadinya gak apa-apa.""Syukurlah.""Kamu abis ngapain sampai sakit gini? Di rumah disuruh nguras bak mandi?" tanya Riri. Dia membantu Dara duduk karena sahabatnya itu terlihat lemas sekali."Kecapean kali ini. Soalnya Cia sama Mas Dewa sempat sakit. Jadinya aku ngurusin mereka berdua," elak Dara. Tak mungkin juga mengatakan yang sebenarnya kepada Riri."Kamu izin aja kalau emang gak sanggup kerja. Daripada drop begini."Dara mencoba berdiri. "Aduh." Wanita itu meras
Bunyi muntahan terdengar dari kamar mandi. Dewa yang terlelap langsung membuka mata dan duduk bersandar di head board ranjang. Hari masih gelap dan dia masih mengantuk. Nyawanya masih setengah terkumpul dengan kesadaran yang belum sepenuhnya pulih.Dia berjalan menuju kamar mandi saat suara muntahan terdengar lagi. Begitu pintunya terbuka, tampaklah Dara sedang mengeluarkan seluruh isi perutnya. Satu tangan istrinya berpengangan di pinggiran wastafel dengan keran air yang mengucur deras.Refleks dia membantu memijat tengkuk dan bahu istrinya. Dara sendiri terlihat lemah dengan wajah pucat dan napas yang tidak teratur."Kamu kenapa?""Gak tau. Bangun tidur perut aku kembung terus mual banget," jawab wanita itu sambil memijat dahi yang berdenyut sejak tadi."Cuci muka dulu biar seger. Aku bikinkan teh hangat," kata Dewa mengambilkan handuk kecil untuk istrinya.Dara mengambil handuk itu dan membasuh mukanya. Rasa
Sudah dua minggu ini Dara terbaring lemas. Jangankan berjalan, bangun dari tempat tidur pun dia tak mampu. Tubuhnya limbung setiap kali hendak berdiri.Hyperemesis, itulah diagnosa yang diberikan dokter kandungan kepadanya. Mual, muntah, tekanan darah rendah, yang dialaminya sekarang semakin hari semakin menghebat. Ditambah dengan mimisan dan sariawan yang datang bergantian membuatnya ingin menyerah."Mas ....""Sabar, ya," bujuk Dewa."Aku gak sanggup," keluh Dara. Entah mengapa rasanya dia ingin mati saja."Gak boleh bilang gitu." Lelaki itu mengusap kepala istrinya dengan sayang."Sampai kapan?""Kata dokter kan tiga bulan pertama. Jadi sebentar lagi.""Ibu mana, Mas?""Masih di jalan," jawab Dewa."Suruh cepatan. Aku gak kuat.""Sini mas pijet.""Gak mau. Mas mijetnya gak ikhlas."Dewa mengusap dada. Selama hamil, sikap Dara berubah seratus delapan puluh derajat. Semua yang dilakukannya sel
"Mau pergi juga?" tanya Dara saat melihat suaminya sedang bersiap-siap.Cuaca di luar sedang hujan deras dengan angin yang berembus cukup kencang.Tangan mungilnya mengusap perut yang mulai membesar. Ini bulan keenam dan mualnya sudah berkurang. Justru sekarang, Dara sangat suka makan sehingga berat badannya naik hampir dua kali lipat dari semula."Ada janji sama yang mau beli rumah. Lumayan kan kalau deal 1 unit," jawab Dewa sambil mengancingkan kemeja dan memasang sabuk. Lelaki itu menyisir rambutnya dan menyemprotkan sedikit parfum."Apa gak bisa ditunda perginya, Mas? Besok gitu," bujuk Dara. Entah mengapa perasaannya tidak enak kalau Dewa harus memaksakan pergi sekarang juga."Dia mau bayar cash. Nanti selisihnya bisa buat biaya lahiran kamu," jawab Dewa sambil menangkup pipi Dara dan menatapnya dalam.Hari libur seperti ini harusnya dia bersantai bersama keluarga. Namun, kesempatan tidak datang dua kali. Jadi Dewa aka
Dara duduk di kursi tunggu bersama kedua orang tuanya dan Ciara. Setelah mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan, dia langsung menghubungi keluarga dan bergegas menuju ke rumah sakit.Untunglah hujan sudah reda, hanya menyisakan gerimis. Sehingga mereka bisa cepat sampai walaupun ada sedikir kemacetan di beberapa jalan yang tergenang."Sabar, Nak." Ibu mengusap punggung putrinya sambil menenangkan saat mereka bertemu di rumah sakit."Ini cobaan dari Gusti Allah, Nak. Kamu yang kuat," lanjut Bapak.Lelaki paruh baya itu juga merasa khawatir namun hanya bisa berserah diri. Hal yang sama pernah dia rasakan sewaktu kepergian putri keduanya, Laura. Hanya saja, Dewa masih bisa diselamatkan. Itu berarti masih ada harapan untuk kembali pulih. Tak hanya Dara, semua orang merasa gelisah dalam penantian. Entah sudah berapa jam suaminya berada di ruang operasi dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Keluarga Dewa masi
Dara menatap buku di tangannya dengan perasaan hampa. Semangat mengajarnya hilang. Ingin rasanya berhenti dan fokus mengurus Dewa, tapi itu tidak mungkin dilakukan. Siapa yang nanti akan mencukupi kebutuhan hidup mereka?Banyak dana yang dikeluarkan selama suaminya dirawat di ruang intensive. Bantuan memang datang dari banyak pihak, terutama keluarga dan rekan kerja. Dara bersyukur akan hal itu, namun tetap saja dibutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk proses penyembuhan."Gimana kondisi Mas Dewa, Ra?" tanya Riri.Jam mengajar sudah selesai, tapi Dara masih memeriksa tugas murid-muridnya. Dia tak mau membawanya ke rumah, karena Ciara akan meminta perhatian. Anak itu rewel sekali sejak ayahnya dirawat, tidak mau jauh darinya."Belum ada kemajuan satu minggu ini, Ri. Aku juga gak tau."Matanya bengkak karena setiap hari menangis. Nanti setiba di rumah dia akan istirahat dan makan sebentar kemudian pergi ke rumah sakit. Begitulah ru
Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Samar-samar terlihat ruangan serba putih dengan bunyi entah apa yang asing baginya.Dia mencoba mengerakkan tubuh. Namun seketika rasa sakit yang teramat sangat menghantam kepalanya tiada henti. Dewa ingin berteriak, namun tak ada satupun kata yang terucap dari bibir.Air matanya menetes karena tak kuasa menahan nyeri yang terasa di hampir seluruh tubuh."Pasien sadar!"Seorang perawat memberitahukan rekan kerjanya. Beberapa yang lain ikut menghampiri bed dimana Dewa terbaring dan merintih kesakitan."Panggil dokter sekarang!"Tak lama berselang, seorang lelaki paruh baya dengan memakai jas putih masuk dengan tergesa-gesa."Pasien sudah sadar, Dok."Dokter mulai memeriksa beberapa bagian tubuh Dewa dan memberikan tindakan yang diperlukan."Alhamdulillah. Ini semua atas karunia Tuhan," ucapnya.Selama menangan
Setelah beberapa hari sadar dan kondisinya semakin membaik, Dewa dipindahkan ke ruang rawat inap. Tubuhnya terlihat lebih segar namun tak dapat bergerak, apalagi kaki yang terlanjur patah.Beberapa bagian tubuhnya kaku dan setiap hari mendapatkan terapi agar kembali normal berfungsi.Laki-laki itu hanya bisa pasrah selama menjalani proses penyembuhan. Kadang di saat malam dia merintih kesakitan dan tak seorang pun yang tahu karena sudah tertidur lelap. Namun dia ikhlas menerima takdir. Ada banyak orang-orang terkasih yang menginginkan kesembuhannya. Itu yang membuat semangatnya tetap hidup.Seperti pagi ini, ketika matanya terbuka, tampak sosok sang istri yang setia mendampingi."Mas, mau makan apa? Buah?" tanya Dara saat melihat suaminya terbangun.Semenjak Dewa dipindahkan ke kamar perawatan, Dara memilih untuk menginap di rumah sakit dan mengurus suaminya bersama ibu mertua. Bergantian, dengan Arya sebagai supir yang mengantar