"Mau pergi juga?" tanya Dara saat melihat suaminya sedang bersiap-siap.
Cuaca di luar sedang hujan deras dengan angin yang berembus cukup kencang.
Tangan mungilnya mengusap perut yang mulai membesar. Ini bulan keenam dan mualnya sudah berkurang. Justru sekarang, Dara sangat suka makan sehingga berat badannya naik hampir dua kali lipat dari semula.
"Ada janji sama yang mau beli rumah. Lumayan kan kalau deal 1 unit," jawab Dewa sambil mengancingkan kemeja dan memasang sabuk. Lelaki itu menyisir rambutnya dan menyemprotkan sedikit parfum.
"Apa gak bisa ditunda perginya, Mas? Besok gitu," bujuk Dara. Entah mengapa perasaannya tidak enak kalau Dewa harus memaksakan pergi sekarang juga.
"Dia mau bayar cash. Nanti selisihnya bisa buat biaya lahiran kamu," jawab Dewa sambil menangkup pipi Dara dan menatapnya dalam.
Hari libur seperti ini harusnya dia bersantai bersama keluarga. Namun, kesempatan tidak datang dua kali. Jadi Dewa aka
Dara duduk di kursi tunggu bersama kedua orang tuanya dan Ciara. Setelah mendapatkan telepon yang mengabarkan bahwa suaminya kecelakaan, dia langsung menghubungi keluarga dan bergegas menuju ke rumah sakit.Untunglah hujan sudah reda, hanya menyisakan gerimis. Sehingga mereka bisa cepat sampai walaupun ada sedikir kemacetan di beberapa jalan yang tergenang."Sabar, Nak." Ibu mengusap punggung putrinya sambil menenangkan saat mereka bertemu di rumah sakit."Ini cobaan dari Gusti Allah, Nak. Kamu yang kuat," lanjut Bapak.Lelaki paruh baya itu juga merasa khawatir namun hanya bisa berserah diri. Hal yang sama pernah dia rasakan sewaktu kepergian putri keduanya, Laura. Hanya saja, Dewa masih bisa diselamatkan. Itu berarti masih ada harapan untuk kembali pulih. Tak hanya Dara, semua orang merasa gelisah dalam penantian. Entah sudah berapa jam suaminya berada di ruang operasi dan belum ada tanda-tanda akan selesai. Keluarga Dewa masi
Dara menatap buku di tangannya dengan perasaan hampa. Semangat mengajarnya hilang. Ingin rasanya berhenti dan fokus mengurus Dewa, tapi itu tidak mungkin dilakukan. Siapa yang nanti akan mencukupi kebutuhan hidup mereka?Banyak dana yang dikeluarkan selama suaminya dirawat di ruang intensive. Bantuan memang datang dari banyak pihak, terutama keluarga dan rekan kerja. Dara bersyukur akan hal itu, namun tetap saja dibutuhkan biaya lebih banyak lagi untuk proses penyembuhan."Gimana kondisi Mas Dewa, Ra?" tanya Riri.Jam mengajar sudah selesai, tapi Dara masih memeriksa tugas murid-muridnya. Dia tak mau membawanya ke rumah, karena Ciara akan meminta perhatian. Anak itu rewel sekali sejak ayahnya dirawat, tidak mau jauh darinya."Belum ada kemajuan satu minggu ini, Ri. Aku juga gak tau."Matanya bengkak karena setiap hari menangis. Nanti setiba di rumah dia akan istirahat dan makan sebentar kemudian pergi ke rumah sakit. Begitulah ru
Mata itu mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya benar-benar terbuka. Samar-samar terlihat ruangan serba putih dengan bunyi entah apa yang asing baginya.Dia mencoba mengerakkan tubuh. Namun seketika rasa sakit yang teramat sangat menghantam kepalanya tiada henti. Dewa ingin berteriak, namun tak ada satupun kata yang terucap dari bibir.Air matanya menetes karena tak kuasa menahan nyeri yang terasa di hampir seluruh tubuh."Pasien sadar!"Seorang perawat memberitahukan rekan kerjanya. Beberapa yang lain ikut menghampiri bed dimana Dewa terbaring dan merintih kesakitan."Panggil dokter sekarang!"Tak lama berselang, seorang lelaki paruh baya dengan memakai jas putih masuk dengan tergesa-gesa."Pasien sudah sadar, Dok."Dokter mulai memeriksa beberapa bagian tubuh Dewa dan memberikan tindakan yang diperlukan."Alhamdulillah. Ini semua atas karunia Tuhan," ucapnya.Selama menangan
Setelah beberapa hari sadar dan kondisinya semakin membaik, Dewa dipindahkan ke ruang rawat inap. Tubuhnya terlihat lebih segar namun tak dapat bergerak, apalagi kaki yang terlanjur patah.Beberapa bagian tubuhnya kaku dan setiap hari mendapatkan terapi agar kembali normal berfungsi.Laki-laki itu hanya bisa pasrah selama menjalani proses penyembuhan. Kadang di saat malam dia merintih kesakitan dan tak seorang pun yang tahu karena sudah tertidur lelap. Namun dia ikhlas menerima takdir. Ada banyak orang-orang terkasih yang menginginkan kesembuhannya. Itu yang membuat semangatnya tetap hidup.Seperti pagi ini, ketika matanya terbuka, tampak sosok sang istri yang setia mendampingi."Mas, mau makan apa? Buah?" tanya Dara saat melihat suaminya terbangun.Semenjak Dewa dipindahkan ke kamar perawatan, Dara memilih untuk menginap di rumah sakit dan mengurus suaminya bersama ibu mertua. Bergantian, dengan Arya sebagai supir yang mengantar
Dara terbangun dan mendapati pembalut yang dipakainya penuh berisi cairan. Perlahan tapi pasti rasa nyeri mulai menghantam perutnya. Hilang, datang. Begitu secara terus menerus."Ya Allah, kenapa ini?"Wanita itu berjalan ke kamar mandi dan melihat bahwa ada juga bercak darah."Ada apa, Ra?" tanya Arya saat dia sudah keluar dari kamar mandi."Kak. Tolong aku! Bawa ke depan," katanya dengan panik.Dewa menatap istrinya dengan bingung sementara Ciara terdiam melihat mamanya yang kesakitan."Ra?" tanya Dewa, namun Dara mengabaikannya. Rasa sakit semakin menghebat hingga dia tak tahan."Ayo, kakak antar." Kedua tangann Arya sudah memegang lengan Dara, ketika adik iparnya itu hendak terjatuh."Cia tunggu disini sama papa. Mama ke depan periksa," pesan Dara sebelum akhirnya mereka keluar.Tertatih dia berjalan. Arya memanggil seorang perawat yang kebetulan lewat dan meminta kursi roda.
Dua pasang mata itu saling bertatapan. Dara menggenggam erat jemari suaminya. Hampir tiga minggu Dewa dirawat dan kini kondisinya semakin membaik. Berbagai terapi diberikan untuk mempercepat kesembuhannya.Lelaki itu sudah bisa bicara. Namun, masih banyak kerusakan di beberapa bagian tubuh lain yang perlu pengobatan lebih lanjut. Dokter bilang, harus dilakukan operasi sekali lagi untuk membuka pen yang masih menempel sebagai penyambung tulang.Efek dari benturan itu juga berdampak kepada hilangnya beberapa memori. Ada kenangan tertentu yang hilang total. Untungnya, dia masih mengingat keluarga.Dia juga tidak bisa bekerja untuk sementara waktu. Kemampuannya sebagai seorang arsitek hilang. Sehingga modal yang dia tanam pada usaha bersama dilepas kepada rekan yang lain. Mobil, juga beberapa aset dijual karena setelah keluar dari rumah sakit, lelaki itu masih membutuhkan banyak biaya untuk terapi dan pengobatan."Kita pulang sekarang ya, Mas."
"Assalamualaikum."Arya mengetuk pintu rumah adiknya. Mulai hari ini dia yang akan mengantar jemput Ciara pergi sekolah, juga Dara saat bekerja.Sejak kepulangan Dewa dari rumah sakit, dia yang mengambil alih tugas. Dari mengurus Dara dan Ciara, hingga membantu biaya kebutuhan sehari-hari."Pak Dewa." Bibik membukakan pintu lalu mempersilakan masuk."Om!" Ciara bersorak kegirangan saat melihat pamannya datang."Udah siap?""Udah, dong!" jawab Ciara dengan mata berbinar."Mama mana?" tanya Arya sambil mencari sosok Dara."Di kamar.""Coba panggil. Nanti kita terlambat."Ciara masuk ke dalam dan berteriak memanggil Dara."Eh, Kakak udah datang. Sebentar."Dara terlihat sedang memasang peniti pada hijabnya. Setelah semua yang musibah yang terjadi, dia memutuskan untuk menutup rapat seluruh auratnya. Ini hari pertama masuk kerja, sehingga Dara ingin tampil baik."Kamu makin cantik
"Anak-anak demikian pelajaran kita hari ini. Jangan lupa tugas yang ibu berikan dikumpul minggu depan. Seperti biasa juga, bagi yang tidak mengerjakan maka akan membantu ibu mengoreksi tugas teman-temannya," ucap Dara tegas."Huuuu ...."Terdengar riuh suara sebagian murid yang merasa keberatan dengan 'hukuman' yang Dara terapkan. Dia memang tegas tapi selalu dirindukan."Yang komplain nanti tugasnya double," katanya."Huuuu ...."Dara melipat kedua tangannya di dada dan memandang satu persatu dengan galak."Kalau gue sih, mau aja dihukum kayak gitu. Asal bisa berduaan dengan Bu Dara," kata seorang siswa yang disambut dengan suara riuh oleh yang lain.Wanita itu menarik napas panjang. Sekarang kalian bereskan buku.alu pergi ke aula. Jam pelajaran terakhir ditiadakan karena ada sosialisasi dari dinas kesehatan.Kali ini suara sorak senang terdengar kencang. Sejak zaman Dara sekolah dulu, jika ada jam pelajaran yang ditiadaka