Share

Selamat datang kebebasan!

"Alisya!" Yogi langsung mencekal tangan Alisya sebelum gadis itu berhasil beranjak dari tempat duduknya.

"Apa sih, Gi?" tanya Alisya malas.

"Lu sengaja ngejauhin gue, ya?"

Alisya memutar bola matanya malas.

"Gi, gue udah bilang, ya, gue nggak mau dikekang. Jadi stop seolah-olah gue ini pacar yang perlu lu iket kuat-kuat biar gue nggak kabur," ujar Alisya.

"Gue inget, Sya. Gue paham. Tapi setidaknya lu bisa 'kan ngabarin gue lu kemana aja dan sama siapa."

"Emang penting?"

"Sya, lu tau gue sayang banget sama lu. Lu tuh berharga banget buat gue. Gue nggak banyak ngomong karena gue tau lu nggak suka diposesifin."

"Itu lu tau."

Yogi menarik napas panjang. Butuh kesabaran ekstra untuk menghadapi kekasihnya itu. 

"Ini beneran lu?" Akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutnya. Disodorkannya telepon genggam yang ia pegang.

Alisya melirik layar handphone Yogi. Di sana ada fotonya sedang bernyanyi di cafe paman Ridwan.

"Iya."

"Selarut ini?" Yogi menunjuk jam di foto tersebut. 22.40 WIB.

"Iya."

"Lu ngapain?" Nada suara Yogi sudah mulai meninggi.

"Lu nggak liat gue nyanyi?" sarkas Alisya.

"Iya, tapi ini udah malem banget. Gimana caranya lu bisa keluar dari rumah?"

"Udahlah, Gi. Yang penting gue baik-baik aja. Lagian itu cafe, resto mewah, lounge, bukan warung remang-remang."

Yogi geleng-geleng kepala. Alisya terlalu santai menjalani hidupnya. Ia tidak tahu betapa mengerikan kehidupan di luar sana, terlebih pada malam hari.

"Kalau lu mau nyanyi lagi, telpon gue."

"Terus lu bakal buntutin gue kemana-mana? Ogah lah, ya!"

"Ini buat kebaikan lu, Sya."

"Nggak usah lebay, selama ini gue nyanyi juga baik-baik aja. Udah, ah. Gue mau balik ke kelas." Alisya berdiri dan berjalan kembali ke kelasnya.

Yogi hanya bisa menatap gadis yang ia cintai berlalu begitu saja. Cintanya pada Alisya membuatnya benar-benar lemah. Alisya sebenarnya gadis yang baik dan menyenangkan, dia hanya kurang perhatian. Terlebih lagi sekarang, setelah kedua orang tuanya tiada. Alisya seolah mencari kebahagiaan untuk dirinya sendiri tanpa melihat dampaknya dikemudian hari.

...

Alisya berpikir keras, bagaimana caranya agar ia bisa keluar pada hari Minggu saat diadakannya kompetisi itu. Tidak mungkin memberi alasan belajar kelompok. Ia sudah terlalu sering menggunakan alasan itu.

"Apa perlu gue ke rumah lu lagi dan izin sama kakek and nenek lu, Sya?" tanya Desi lewat sambungan telepon.

"Bakal percaya nggak, ya? Soalnya tiap kita mo latihan, itu mulu alesannya. Ya, meskipun so far, mereka percaya," jawab Alisya.

"Ya kan, emang bener kita bulan depan mo ujian, wajar dong kalo kita makin sering belajar bersama."

"Kayaknya itu memang satu-satunya alasan paling masuk akal untuk sekarang ini," hela Alisya. 

"Ya udah, tar pagi-pagi jam tujuh, gue samperin lu ke rumah," janji Desi. 

"Thanks, ya, Des," ujar Alisya. 

"Don't mind. Jangan lupa aja pulangnya traktir gue." Desi tertawa di seberang sana.

"Gampang kalo soal itu ...."

"Kak ... dipanggil Kakek sama Nenek," panggil Aura dari balik pintu kamarnya. 

"Iya, Ra. Bentar lagi Kakak turun," teriak Alisya.

"Ya udah, ya, Des. Gua dipanggil, nih. Bye." Alisya langsung memutuskan panggilannya tanpa mendengar jawaban dari Desi.

Alisya segera menuruni tangga mengekor Aura yang berjalan lebih dahulu. 

"Ada apa, Ra, kok tumben kita dipanggil?" bisik Alisya.

"Nggak tau, Kak," jawab Aura singkat.

Ketika Alisya dan Aura sampai di ruang tamu, sudah ada kakek, nenek dan pamannya di sana. Mereka terlihat serius membahas sesuatu.

"Duduk, Sya, Ra," perintah Kakek. 

Alisya dan Aura pun duduk berhadapan dengan para tetua mereka.

"Lisya, Kakek tahu, beberapa minggu lagi kamu harus menghadapi ujian nasional. Tapi ini nggak bisa dihindari. Kakek sama Nenek harus pergi ke luar kota untuk waktu yang lumayan lama. Jadi Kakek harap, kamu bisa belajar semaksimal mungkin," beber Kakek.

Mata Alisya membulat sempurna, tidak percaya dengan keberuntungannya kali ini. 

"Tapi ada urusan apa sampai Kakek harus pergi lama?" tanya Aura.

"Ada beberapa masalah dengan perusahaan Kakek di luar daerah, Ra," jawab Kakek.

"Apa perusahaan milik papa juga?" tanya Alisya hati-hati. 

"Nggak, perusahaan papamu baik-baik aja."

"Syukurlah kalo gitu." Alisya tidak bisa membayangkan bila ada apa-apa dengan perusahaan itu. Bagaimana nasibnya dan Aura?

"Meski kami tidak mengharuskanmu bisa masuk universitas terbaik, tapi setidaknya kamu harus bisa lulus dengan nilai yang bagus. Jadi perusahaan warisan papamu itu tidak akan hancur sebelum waktunya," sarkas Nenek 

Alisya hanya bisa menunduk. Mendiang papanya dulu sering sekali membicarakan tentang angan-angannya. Beliau ingin membesarkan perusahaan, dengan anaknya sebagai pemegang posisi tertinggi. Namun hal itu tentu tidak berlaku untuknya. Hal itu berlaku untuk si Jenius, Aura.

"Kami harap, selama kami pergi, kalian benar-benar melakukan kewajiban kalian dengan baik. Lakukan seolah-olah kami ada di rumah. Jangan melakukan hal yang aneh-aneh," pesan Kakek. "Terlebih lagi kamu, Alisya."

"Iya, Kek," jawab Alisya, dengan jari telunjuk dan jari tengah menyilang di belakang tubuhnya. Dalam hati ia bersorak gembira. Semesta benar-benar berpihak padanya.

"Kapan Kakek dan Nenek berangkat?" tanya Aura. 

"Nanti malam," jawab Nenek.

"Kira-kira berapa lama?"

"Mungkin sebulan, tapi bisa lebih lama."

"Yess!!" teriak Alisya dalam hati.

"Tapi jangan pikir kalian bisa bebas melakukan apa saja, karena Kakek bisa pulang kapanpun. Jangan lupa, ada cctv juga. Belum lagi semua pelayan di sini yang selalu melaporkan semua yang terjadi di rumah secara rutin. Jadi sekali lagi Kakek tekankan, jangan macam-macam!" 

Alisya dan Aura mengangguk bersamaan.

"Kakek sama Nenek cuma mau ngasih tau itu aja. Kalau kalian mau kembali ke kamar, silakan."

Alisya tidak dapat menyembunyikan rasa bahagianya. Ia segera naik ke atas tangga dan kembali ke kamarnya. 

Disambarnya telepon genggam yang tadi tergeletak di atas kasur. Ia segera memanggil nomor terakhir yang ia hubungi.

"Des, lu pasti nggak akan percaya sama apa yang bakal gua bilang," seru Alisya begitu teleponnya tersambung.

"Emang apaan, Sya?" tanya Desi penasaran.

"Kakek sama nenek gue bakal pergi keluar kota untuk satu bulan!" teriak Alisya girang.

"Wah, asyik, dong! Berarti gue nggak perlu ke rumah lu buat pura-pura ngajakin belajar kelompok," sahut Desi di seberang sana.

"Iya, lah!!" 

"Jadi bisa dong, kita jalan shopping-shopping gitu sambil makan-makan," pancing Desi.

"Bisa diatur!"

"Asyiiik!!"

"Selamat datang kebebasan!" teriak Alisya.

Di depan pintu, Aura mendengarkan percakapan kakaknya sambil menggelengkan kepala. 

...

Benar saja, Kakek dan Nenek pergi malam itu juga bersama paman Alisya.

Alisya benar-benar gembira. Ia bisa berbuat sesuka hatinya. Jangan tanya soal para pelayan di rumah itu, mudah untuk Alisya membungkam mereka semua.

Dan hari Minggu pun tiba. Meskipun semalam ia pulang sangat larut, karena menyanyi di cafe paman Ridwan, Alisya sudah bangun pagi-pagi sekali. Jantungnya berdebar, ini adalah penampilan pertamanya di event besar. Ia berdandan secantik mungkin. 

"Kakak mau ke mana?" tanya Aura yang melihat Alisya sudah berdandan cantik pagi ini.

"Kakak ada performance di event gede, Ra," jawab Alisya.

"Kak Yogi tau?" tanya Aura.

"Ya, enggaklah. Kalau dia tau pasti aku diikutin ke mana-mana," kata Alisya sambil memasukkan beberapa alat make up nya ke dalam tas. 

Aura menghela napas.

"Kakak pulangnya jangan malam-malam, ya," pesan Aura.

Alisya melihat ke arah Aura dengan pandangan sedih.

"Kamu kesepian, ya?"

Aura menunduk lalu mengangguk pelan.

"Kalau gitu, kamu ikut Kakak aja. Di sana kamu pasti dapat banyak teman," ajak Alisya.

Aura menggeleng.

"Ya udah kalau kamu nggak mau, tapi kalau kamu bosen, kamu bisa minta tolong sama Yogi buat nganterin kamu ke sana."

"Kok minta tolong sama Kak Yogi? Kak Yogi kan pacarnya Kakak, bukan pacarku," sela Aura.

"Pacar sekedar status doang," Alisya terkekeh pelan. 

"Kakak hati-hati ya di sana. Mudah-mudahan acaranya sukses dan lancar," doa Aura.

"Makasih, kamu juga hati-hati ya di rumah. Kalau ada apa-apa, atau perlu sesuatu telepon aja Kakak." Dipeluknya adik semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.

Alisya segera keluar dan mengendarai mobilnya menuju lokasi diadakannya kompetisi itu.

"Aku akan bersenang-senang hari ini dan harus bersenang-senang," tekad Alisya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status