Share

Pertemuan Pertama

Sabtu malam, Alisya makan malam dengan tenang. Ia berlaku seolah-olah dia anak baik yang penurut. Padahal ia sudah merencanakan semuanya dengan matang.

Alisya sudah meminta Pak Sapto, satpam kakeknya, untuk meletakkan tangga di bawah jendela kamarnya di lantai dua. Tak lupa juga memintanya untuk membukakan pintu, jam berapa pun ia pulang. Tentu dengan bayaran yang pantas. Sebenarnya bukan uang yang jadi masalah untuk Alisya, tapi kebebasan. Ia menginginkan kebebasan seperti sebelumnya.

"Maaf, aku masuk kamar duluan," ujar Alisya membuyarkan suasana di meja makan yang sepi. 

"Udah selesai makannya?" tanya Nenek sambil melirik piring Alisya.

"Udah, Nek," jawabnya dengan meletakkan sendok dan garpu menelungkup di piringnya.

"Ya, udah." Nenek mengizinkan Alisya naik ke kamarnya. 

Takut neneknya berubah pikiran, tanpa menunggu lagi Alisya segera melesat ke arah tangga. Ia segera masuk ke kamarnya dan menguncinya dari dalam.

Ia memesan sebuah ojek online melalui aplikasi di handphonenya dengan titik penjemputan agak jauh dari rumah. Karena tidak mungkin ia mengeluarkan mobilnya tanpa diketahui kakek dan neneknya.

Alisya segera mengganti pakaian dan menyambar sling bagnya. Ia membuka jendela pelahan, dan mulai menapaki tangga yang sudah tersedia di sana.

Pak Sapto sudah menunggunya di pos satpam. Lelaki paruh baya itu membukakan gerbang pelahan.

"Makasih, ya, Pak," kata Alisya sambil memberikan beberapa lembar uang berwarna merah pada satpam itu. "Aku bakal kasih lagi kalau Bapak bukain aku pintu nanti malem."

"Makasih banyak, Non," ujar Pak Sapto sambil meletakkan uang itu di dahinya. Rejeki nomplok.

Alisya segera menyelinap ke luar gerbang. Ia menunggu ojek online yang dipesannya. Tak berapa lama, ojek itu datang, dan Alisya langsung pergi bersamanya.

"Nyaris!" Alisya melirik ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kirinya. Kurang sepuluh menit dari jam yang ia janjikan pada teman-teman bandnya. 

Alisya berlari ke arah pintu masuk cafe itu. Karena tidak hati-hati, Alisya menabrak seorang lelaki yang juga sedang berjalan tergesa ke arah pintu.

"Aw!" Alisya nyaris terjatuh. Untung saja lelaki itu segera menangkap tangan dan menahan agar Alisya tidak terjatuh.

Sesaat, pandangan mata mereka bertemu di satu titik. Mereka sama-sama saling menatap dalam diam. Beberapa detik kemudian Alisya tersadar dan buru-buru berdiri tegak. 

"Ma-maaf ... aku nggak sengaja," ucap Alisya terbata-bata.

"Nggak apa-apa. Aku juga salah. Aku buru-buru, jadi nggak liat jalan. Maaf, ya. Kamu baik-baik aja, 'kan?" tanya lelaki itu.

"Iya, aku baik-baik aja." Alisya melirik lelaki yang sudah menolongnya itu. Lelaki dengan kulit putih dan hidung mancung. Rambut dan matanya berwarna coklat, terlihat begitu tampan. Ditambah tubuh tegap dan proporsional, benar-benar sempurna.

"Reno." Lelaki itu mengulurkan tangan.

"Alisya." Alisya pun membalas uluran tangan Reno. 

"Maaf, aku masuk dulu," gugup Alisya.

"Silakan." Reno bergeser untuk memberi Alisya jalan.

Alisya tersenyum. "Ganteng banget," batinnya.

"Lisya!" Desi melambaikan tangan padanya.

Alisya segera menghampiri temannya itu.

"Kirain lu nggak bisa keluar," katanya.

"Bisa lah, Alisyaaa!" seru Alisya bangga sambil menarik ujung kerah bajunya. 

"Udah ready, Sya?" tanya Ridwan.

Alisya memberikan jempolnya. 

"Oke kalo gitu. Yuk, gue kenalin sama om gue dulu," ajak Ridwan.

Ridwan mengajak Alisya, Desi dan Aryo ke ruangan milik pamannya. Ia memperkenalkan teman-temannya itu pada sang paman.

Paman Ridwan sangat ramah. Beliau menyambut mereka semua dengan sangat baik.

Tepat pukul delapan, Alisya dan teman-temannya naik ke stage yang dipersiapkan untuk para pengisi acara. Setiap hari Sabtu dan Minggu, selalu ada live music di cafe milik paman Ridwan itu.

Alisya duduk di atas sebuah bangku tinggi dan mulai menyanyikan sebuah lagu dengan suara indahnya.

Suasana cafe yang romantis, ditambah suara Alisya yang merdu membuat pengunjung merasa nyaman. Beberapa di antaranya melirik untuk melihat pemilik suara lembut itu. 

Alisya menyanyi dengan sepenuh hati. Ia menyukai hobinya ini. Ia suka ketika semua orang memuji dan memandang kagum padanya. 

Alisya sudah menyanyikan tiga lagu, ketika seorang lelaki menghampiri stage dan merequest sebuah lagu. 

"Reno," gumam Alisya. 

Lelaki itu mengambil mic yang disodorkan kepadanya.

"Aku mau merequest lagu Flanella, bisa?" tanyanya pada Alisya. 

"Bila Engkau?" tanya Alisya memastikan.

"Ya," jawabnya. "Spesial untuk gadis cantik yang ketemu di depan pintu tadi."

Teman-teman Reno yang duduk tidak jauh dari sana menyorakinya. Namun Reno tetap santai seolah gadis yang ia maksud bukanlah Alisya. 

Alisya mengangguk dan tersenyum dengan wajah merona.

"Baik, saya akan menyanyikannya untuk gadis yang Kakak maksud," ujar Alisya membuat Reno tersenyum lebar.

Saat indah, dalam hidupku

Saat aku bertemu denganmu 

Kau anugrah yang tercipta begitu nyata

Alisya menyanyikan lagu itu dengan syahdu. Membuat Reno tak bisa mengalihkan pandangannya dari gadis itu. Ia terlihat tertarik pada Alisya.

"Wah, mangsa baru bos kita kayaknya," celetuk salah seorang teman Reno yang ada di meja itu.

"Bening dan masih muda banget," ujar yang lain.

"Enak aja, emang lu pikir gue udah tua?" sentak Reno. 

"Nggak lah, Bos. Bos masih muda, tapi sayang, mahasiswa abadi." Dan semua yang ada di meja itu tertawa terbahak-bahak. 

"Liat aja, dia pasti jatuh ke pelukan gue," sesumbar Reno dengan percaya diri. 

...

Sejak malam itu, band yang divokalisi oleh Alisya selalu mengisi acara di cafe milik paman Ridwan. Para tamu menyukai penampilan Alisya dan kawan-kawan. Dan setiap malam Minggu, cafe itu akan dipenuhi pengunjung yang memang berniat melihat Alisya bernyanyi.

Alisya menyukai hidupnya kini. Ia merasa bahagia dengan apa yang sudah ia dapatkan.  Meski ia harus berpura-pura menjadi anak yang patuh di depan keluarganya, toh diakhir pekan ia bisa berbuat semaunya. Dengan bantuan Pak Satpam tentunya.

Ujian Nasional semakin dekat. Namun itu tidak membuat Alisya jadi semakin rajin belajar. Masuk ke perguruan tinggi favorit bukan tujuan hidupnya. Yang ia inginkan hanyalah bersenang-senang dan bersenang-senang. Soal pendidikan, itu nomor sekian. Yang penting, ia tidak akan pernah kehabisan uang. Perusahaan warisan orang tuanya cukup untuk menghidupinya hingga generasi berikutnya. Hanya sayang, perusahaan itu masih dipegang oleh kakeknya yang berpikiran kolot itu. 

"Woi!" teriak Aryo, membuyarkan lamunan Alisya. 

"Apa sih, ngagetin aja!" seru Alisya.

"Liat ini, Sya." Aryo memperlihatkan sebuah brosur bergambar kompetisi band dengan sponsor minuman berkarbonasi. 

"Mana bisa kita ikut, kan kita udah kelas XII," sahut Alisya.

"Bukan itu, Sya ...."

"Terus?"

"Kita yang akan jadi band pembukanya!" teriak Aryo heboh.

"Hah, serius lu?!" tanya Alisya tak percaya.

"Serius, dong! Tadi Ridwan bilang, pihak sponsor nanyain kita ke cafe omnya. Dan kita didapuk jadi band pembukanya!"

Alisya benar-benar gembira. Itu berarti makin banyak orang yang mengenalnya. Dan makin banyak orang yang akan mengaguminya. 

"Yess!!" teriaknya bangga.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status