Share

Chapter 4: Disainer

Ana menghela napas, ada perasaan bersalah merangkulnya jika saja ia menyendok makanan berkuah di hadapannya. Entah kenapa kata-kata Dokter Ruin menjadi penting pada moment-moment itu. "Pikirkan tentang Vanessa!" Kata-kata itu seperti satu-satunya senjata bagi Dokter Ruin agar Ana patuh. Dokter muda itu telah menuliskan daftar menu makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Ana. Dan tentu saja Ana mengabaikannya. Anehnya, "tentang Vanessa" yang selalu menjadi penutup pembicaraan mereka, Ana menjadi tahu semua hal yang baik dan yang akan memperburuk keadaannya. Mungkin tak semua pengetahuan tentang bagaimana ia harus bertahan hidup ia pelajari dari Dokter Ruin, ada lebih banyak pengalaman yang membuatnya merasakan sakit dan akhirnya membuatnya jera.

"Aku telah banyak berpikir tentang ini," lirihnya. Bukankah cepat atau lambat akan sama saja. "Aku akan mati juga," pikir Ana seraya menyendok kuah mie instant. Tak peduli setelah itu ia akan bisa tidur atau tidak, perempuan itu seperti ingin menyiksa dirinya sendiri.

[...Selamat siang pemirsa! Sekarang saya berada di Paris, Perancis. Di sini sedang berlangsung acara tahunan yang pasti dinantikan oleh semua pecinta mode dunia dan akan menjadi kiblat trend fashion tahun ini. Ya! Paris Fashion Week. Dan percaya kah Anda... kalau ternyata... ada desainer muda Indonesia yang juga ikut andil dalam acara hari ini. Siapakah dia... langsung saja kita temui...]

"Julian!"

Ana tertegun di depan televisi. Bukan sebuah kejutan hanya dengan mendengar nama itu diucapkan oleh seseorang. Hanya saja, sudah lama ia tak melihat senyum itu. Senyum sederhana yang meneduhkan. Senyum dari seorang laki-laki yang ia kenal.

Sejenak Ana meneteskan air matanya, sejenak kemudian ia mulai tersenyum. "Desainer?" lirihnya. "Bagaimana mungkin seorang berandalan bisa menjadi desainer?"

Bibir Ana bergetar ketika sekali lagi ia menjejali mulutnya dengan makanan di hadapannya. Julian yang ada dalam pikirannya, Ana sudah putus asa menanti kehadiran orang itu. Dan sekarang Ana melihat Julian, meski hanya dari televisi, itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan.

"Setidaknya dia baik-baik saja," Ana mulai berkompromi dengan hatinya. Ada perasaan benci mengingat orang yang ia sebut Kakak, meninggalkannya begitu saja dan selama enam tahun tak memberi kabar. Ana ragu jika orang seperti itu yang disebut keluarga. "Paris!" lirih Ana lagi. "Kenapa pergi sejauh itu?" Julian yang ia tahu, yang selalu menungggunya di gerbang sekolah hanya untuk menjemputnya, yang akan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng jika saja ada sesuatu yang akan melukai Ana. Orang seperti itu, bagaimana mungkin pergi begitu saja. Kecuali ada sesuatu yang salah di diri Ana dan Ana tak menyadarinya. Ana memikirkan itu sejak lama. Hal yang hampir membuatnya gila. Sesuatu yang membuat Julian tak mau melihatnya lagi, ia samasekali tidak tahu apa itu.

<>

Sudah dua jam Ana diam saja, tatapannya kosong pada satu-satunya foto Julian yang ia simpan. Foto yang Ana ambil diam-diam hampir sepuluh tahun lalu di depan gerbang sekolah. Tidak banyak yang berubah dari penampilan orang itu, hanya saja Julian yang sekarang bukan anjing peliharaan ayahnya lagi. Ia telah bebas, ia punya sayap yang kuat hingga terbang sangat jauh. Ana tak sanggup mengejarnya dan Ana tak punya cukup waktu lagi untuk melakukan itu, hanya untuk bertanya "Kenapa tiba-tiba pergi? Apa karena aku? Aku yang selalu menjadi beban buatmu? Benarkah itu?"

Ana mengambil ponselnya, mencari sesuatu tentang Julian di mesin pencari. Tidaklah sulit. "Julian", desainer yang menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku mode dunia atas karyanya yang baru-baru ini muncul di Paris Fashion Week dan mendapatkan penawaran tertinggi atas karyanya Le Reve, sebuah gaun pengantin yang sederhana, namun membuat banyak wanita bermimpi ingin memilikinya.

Julian d'Art, sebuah butik di Paris yang tentu saja didirikan oleh Julian. Ada alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi. Ana tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Sudah seharusnya ia berhenti untuk memikirkan Julian. Julian tidak berarti apa-apa dibanding hidupnya sendiri dan Vanessa. Tapi, seakan-akan ada yang belum selesai di antara mereka, yang membuat Ana tak puas. Ana menekan nomor kontak butik tempat Julian berada, tanpa berharap itu terhubung atau seseorang menerima panggilannya.

"Good Morning! Julian's Boutiq. Can I help you?"

Seorang peempuan menyahut. Ana mulai merasa gugup.

"May I...," kata-kata Ana tertahan.

"Yes?"

"May I speak to Mr. Julian Andreas Segovia, please?" lanjut Ana.

"Sorry?"

Agaknya nama Segovia tidak muncul dalam artikel yang sempat dibaca Ana.

"I mean Mr. Julian?" ralat Ana.

"Oh,... ok. But, I'm sorry. He is not here at the moment. Would you like to leave a message?"

Ana menghela napas. "No, thanks," katanya.

"May I tell him who's calling?"

Cukup lama Ana terdiam, sampai ia menekan tombol merah di ponselnya. Tidak ada yang istimewa ia kira jika ia sebutkan namanya. Seharusnya cukup tahu Julian baik-baik saja. Cukup untuk mengganggunya dan menjadikan dirinya anjing peliharaan. Cukup untuk membuat Julian lelah. Sudah seharusnya membiarkan laki-laki itu hidup dalam dunianya sekarang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status