Ana menghela napas, ada perasaan bersalah merangkulnya jika saja ia menyendok makanan berkuah di hadapannya. Entah kenapa kata-kata Dokter Ruin menjadi penting pada moment-moment itu. "Pikirkan tentang Vanessa!" Kata-kata itu seperti satu-satunya senjata bagi Dokter Ruin agar Ana patuh. Dokter muda itu telah menuliskan daftar menu makanan yang boleh dan tidak boleh dimakan oleh Ana. Dan tentu saja Ana mengabaikannya. Anehnya, "tentang Vanessa" yang selalu menjadi penutup pembicaraan mereka, Ana menjadi tahu semua hal yang baik dan yang akan memperburuk keadaannya. Mungkin tak semua pengetahuan tentang bagaimana ia harus bertahan hidup ia pelajari dari Dokter Ruin, ada lebih banyak pengalaman yang membuatnya merasakan sakit dan akhirnya membuatnya jera.
"Aku telah banyak berpikir tentang ini," lirihnya. Bukankah cepat atau lambat akan sama saja. "Aku akan mati juga," pikir Ana seraya menyendok kuah mie instant. Tak peduli setelah itu ia akan bisa tidur atau tidak, perempuan itu seperti ingin menyiksa dirinya sendiri.
[...Selamat siang pemirsa! Sekarang saya berada di Paris, Perancis. Di sini sedang berlangsung acara tahunan yang pasti dinantikan oleh semua pecinta mode dunia dan akan menjadi kiblat trend fashion tahun ini. Ya! Paris Fashion Week. Dan percaya kah Anda... kalau ternyata... ada desainer muda Indonesia yang juga ikut andil dalam acara hari ini. Siapakah dia... langsung saja kita temui...]
"Julian!"
Ana tertegun di depan televisi. Bukan sebuah kejutan hanya dengan mendengar nama itu diucapkan oleh seseorang. Hanya saja, sudah lama ia tak melihat senyum itu. Senyum sederhana yang meneduhkan. Senyum dari seorang laki-laki yang ia kenal.
Sejenak Ana meneteskan air matanya, sejenak kemudian ia mulai tersenyum. "Desainer?" lirihnya. "Bagaimana mungkin seorang berandalan bisa menjadi desainer?"
Bibir Ana bergetar ketika sekali lagi ia menjejali mulutnya dengan makanan di hadapannya. Julian yang ada dalam pikirannya, Ana sudah putus asa menanti kehadiran orang itu. Dan sekarang Ana melihat Julian, meski hanya dari televisi, itu seperti mimpi yang menjadi kenyataan.
"Setidaknya dia baik-baik saja," Ana mulai berkompromi dengan hatinya. Ada perasaan benci mengingat orang yang ia sebut Kakak, meninggalkannya begitu saja dan selama enam tahun tak memberi kabar. Ana ragu jika orang seperti itu yang disebut keluarga. "Paris!" lirih Ana lagi. "Kenapa pergi sejauh itu?" Julian yang ia tahu, yang selalu menungggunya di gerbang sekolah hanya untuk menjemputnya, yang akan menggunakan tubuhnya sendiri sebagai tameng jika saja ada sesuatu yang akan melukai Ana. Orang seperti itu, bagaimana mungkin pergi begitu saja. Kecuali ada sesuatu yang salah di diri Ana dan Ana tak menyadarinya. Ana memikirkan itu sejak lama. Hal yang hampir membuatnya gila. Sesuatu yang membuat Julian tak mau melihatnya lagi, ia samasekali tidak tahu apa itu.
<>
Sudah dua jam Ana diam saja, tatapannya kosong pada satu-satunya foto Julian yang ia simpan. Foto yang Ana ambil diam-diam hampir sepuluh tahun lalu di depan gerbang sekolah. Tidak banyak yang berubah dari penampilan orang itu, hanya saja Julian yang sekarang bukan anjing peliharaan ayahnya lagi. Ia telah bebas, ia punya sayap yang kuat hingga terbang sangat jauh. Ana tak sanggup mengejarnya dan Ana tak punya cukup waktu lagi untuk melakukan itu, hanya untuk bertanya "Kenapa tiba-tiba pergi? Apa karena aku? Aku yang selalu menjadi beban buatmu? Benarkah itu?"
Ana mengambil ponselnya, mencari sesuatu tentang Julian di mesin pencari. Tidaklah sulit. "Julian", desainer yang menjadi perbincangan hangat di kalangan pelaku mode dunia atas karyanya yang baru-baru ini muncul di Paris Fashion Week dan mendapatkan penawaran tertinggi atas karyanya Le Reve, sebuah gaun pengantin yang sederhana, namun membuat banyak wanita bermimpi ingin memilikinya.
Julian d'Art, sebuah butik di Paris yang tentu saja didirikan oleh Julian. Ada alamat dan nomor kontak yang bisa dihubungi. Ana tak tahu apa yang sebenarnya ia inginkan. Sudah seharusnya ia berhenti untuk memikirkan Julian. Julian tidak berarti apa-apa dibanding hidupnya sendiri dan Vanessa. Tapi, seakan-akan ada yang belum selesai di antara mereka, yang membuat Ana tak puas. Ana menekan nomor kontak butik tempat Julian berada, tanpa berharap itu terhubung atau seseorang menerima panggilannya.
"Good Morning! Julian's Boutiq. Can I help you?"
Seorang peempuan menyahut. Ana mulai merasa gugup.
"May I...," kata-kata Ana tertahan.
"Yes?"
"May I speak to Mr. Julian Andreas Segovia, please?" lanjut Ana.
"Sorry?"
Agaknya nama Segovia tidak muncul dalam artikel yang sempat dibaca Ana.
"I mean Mr. Julian?" ralat Ana.
"Oh,... ok. But, I'm sorry. He is not here at the moment. Would you like to leave a message?"
Ana menghela napas. "No, thanks," katanya.
"May I tell him who's calling?"
Cukup lama Ana terdiam, sampai ia menekan tombol merah di ponselnya. Tidak ada yang istimewa ia kira jika ia sebutkan namanya. Seharusnya cukup tahu Julian baik-baik saja. Cukup untuk mengganggunya dan menjadikan dirinya anjing peliharaan. Cukup untuk membuat Julian lelah. Sudah seharusnya membiarkan laki-laki itu hidup dalam dunianya sekarang.
"Ada apa?"Julian tidak mengalihkan pandangannya dari jendela besar yang ada di ruang kerjanya. Dari sana ia bisa melihat Paris malam hari, indah dengan cahaya jingga lampu jalanan yang menghiasi sepanjang jalan Champs-Élysées.Ia baru saja sampai ketika managernya datang. Juan melonggarkan ikatan dasi dan membuka kancing teratas kemejanya. Ada banyak hal yang membuatnya bahkan tak sempat meghela napas seharian itu. Dengan melihat pemandangan malam Paris, sedikit membuat stress kerjanya hilang."Kudengar kau menolak menjual gaun itu lagi, kali ini harganya sungguh fantastis. Apa kau tidak menyesal?"Julian berbalik, ia yakin yang barusan ia dengar bukanlah suara managernya. Ia menggeser kepalanya agak ke kanan. Seseorang
"Mama! Aku mau es krim!" Vanessa terus merengek sambil menarik-narik gaun Ana."Sebentar sayang, mama cari uangnya dulu!" sahut Ana mulai panik. Ia tidak menemukan dompetnya walaupun sudah mengeluarkan semua isi tasnya. "Tenang ya sayang. Mama pasti belikan," ucap Ana lagi pada Vanessa.Ana mulai melihat sekelilingnya, berharap Nara datang saat itu. Atau dia akan menggadaikan perhiasannya untuk membeli es krim. Nampaknya itu masuk akal selama pemilik café percaya perhiasan yang disodorkan Ana adalah perhiasan asli.Ana menarik tasnya lagi, mencoba mencari sekali lagi, berharap ada yang terselip di sana."Boleh paman duduk di sini?"Seseorang berpakaian serba hitam duduk di sam
Garis jingga yang menembus dinding kaca membuat Julian terusik. Sejak Ana meninggalkannya begitu saja, Julian memilih merebahkan dirinya di atas satin putih, menenggelamkan wajahnya hingga kadang ia benar-benar tidak bisa bernapas. Ia berharap kenyataan yang baru saja dialaminya, sejenak menjadi mimpi indah, di mana Ana tersenyum padanya. Bukan kata-kata Ana yang mengganggunya, atau tamparan gadis itu yang membuatnya merasa sakit. Tapi, kenyataan Ana menyimpan perasaan marah yang amat besar padanya, itu membuat Julian tidak tenang.Julian semakin terusik ketika telepon di samping tempat tidurnya berbunyi."Ya. Ada apa?" sahut Julian."Seseorang ingin menemui Anda, Tuan!""Antarkan saja ke kamarku," Julian tidak sanggup lagi berpikir b
Keesokan harinya,Seperti elang yang menemukan target santapannya hari ini, Ruin menyorotkan pandangannya pada Ana dari jarak lima puluh meter ke bawah. Ana mungkin tak pernah menyadarinya, tapi letak rumah sakit yang berdekatan dengan taman tempat Ana menunggu Vanessa, memungkinkan Ruin bisa memperhatikan gadis itu dari balkon ruang kerjanya."Terakhir kali aku melihatnya tertawa seperti itu enam tahun lalu. Sekarang aku melihatnya lagi, benar-benar membuatku iri," Nara mendesah."Kau bilang dia kakaknya, tapi cara bicaramu seakan menunjukkan bahwa Julian adalah kekasihnya. Jangan lupa kalau aku masih belum membuat perhitungan padamu, kau diam saja saat kutanya soal keluarga Ana," sinis Ruin."Mau bagaimana lagi, Ana yang menginginka
"Maaf, Kak! Aku terlalu egois," sebut Ana dalam diamnya. Ia sadar dengan apa yang dilakukannya saat dipantai. Dan sangat sadar bagaimana reaksi Julian kemudian. Julian tak bicara sepanjang perjalanan pulang mereka. Dia bahkan tak tersenyum lagi seperti sebelumnya. Pandangannya lurus ke depan dan ia memacu mobil dengan kecepatan lebih dari saat mereka datang. Mencium Julian adalah hal yang luar biasa sekaligus memalukan bagi Ana. Sesuatu yang tak pernah terbayangkan akan terjadi dan seharusnya tidak terjadi. Tapi, Ana sangat ingin merasakannya. Rasanya tidak salah jika ia membuat perjanjian pada Tuhan, adil jika ia meninggal di usia dua puluh enam tahun, dan Tuhan harus mengabulkan semua keinginannya. Dan seandainya Julian tahu soal perasaan Ana pada Julian, Ana mengira Julian akan terbahak, atau justru akan mengasihani dirinya sebagai seorang pengemis sekarang. "Bahwa sebenarnya yang kucintai adalah Kakak!" Ana menahan diri untuk mengatak
Paris...Isabel menunggu Julian. Ia duduk di atas sofa hitam sambil memandangi foto di atas meja di dekatnya. Sebuah foto dirinya bersama Julian. Foto yang diambil setelah pagelaran di acara Paris Fashion Week setahun lalu. Ketika itu pertama kalinya Isabel menjadi model dari gaun rancangan Julian. Gaun hitam dengan aksen yang rumit. Julian menyebutnya "Angel", gaun itu seperti dibuat dari sayap-sayap malaikat yang terbakar dan lepas. Nuansa gotiknya sangat kental, namun tetap elegan.Jauh sebelumnya, mungkin tidak banyak yang tahu, Isabel seperti orang gila terus mengejar Julian. Ia tertarik pada laki-laki itu sejak pertemuan pertama mereka. Awalnya ia hanya tertarik pada rancangan Julian saja, pernah melihat beberapa kali di acara-acara fashion. Namun, setelah dia mengunjungi Julian d'Art baru ia bicara pada Julian. Setidaknya Isabel dibuat terkejut dengan sikap Julian yang tenang dan ramah. Hanya saja Julian menunjukkan ketidaktertarikannya pada Isabel. Pada seo
Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus."Ana, kau di rumah?"Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut."Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"Sejenak
Keesokan harinya,Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat.Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka.Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah mening