Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus.
"Ana, kau di rumah?"
Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut.
"Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"
Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"
Sejenak Julian menengadahkan kepalanya, ia menyorotkan tatapan sendu pada Ana, kemudian tersenyum.
Ana segera mengalihkan pandangannya saat itu. Buatnya mengartikan senyuman Julian amat mengerikan.
"Ya. Saya kenal dia, Kek! Dia kakak saya," katanya kemudian.
"Benarkah?" Kakek memperhatikan Julian dari ujung kepala sampai ujung kaki pemuda itu, "jujur saja kalian tidak mirip," lanjutnya dengan sedikit tertawa.
Memang itu sebuah lelucon. Andai Ana mengatakan yang sebenarnya, bahwa Julian hanya kakak angkatnya, maka sebutan itu tidak berarti apa-apa. Julian akan tetap dianggap sebagai laki-laki yang tidak berhak ada dalam satu kamar dengan Ana.
Ketika kakek beranjak pergi, saat itulah Ana harus menatap Julian sekali lagi. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha bersikap lebih santai.
"Pesawatku delay, aku tak tahu kapan bisa kembali ke Paris. Mereka bilang akan menghubungiku nanti!" Kebohongan terlogis yang bisa dipikirkan Julian.
"Bagaimana Kakak tahu aku di sini?"
Julian diam. Ia hanya memperhatikan Ana.
"Apa kau mencariku di tempat Nara?" sekali lagi Ana bertanya.
Julian tersenyum getir. Kata-kata Ana terdengar tidak akrab. Tempat Nara yang seharusnya juga menjadi tempat Ana, sekarang sudah tidak lagi.
"Ya. Itu yang kulakukan," jawab Julian.
"Dia mengatakan sesuatu?" sasar Ana. Matanya mulai berkaca-kaca dan tangannya bergetar.
Julian sudah berusaha untuk tidak membuat Ana terintimidasi untuk kedatangannya kali ini. Tapi, sepertinya Ana yang terjebak sendiri dengan sandiwara yang ia buat. Itu membuat Julian semakin sedih. Baginya, kebohongan itu tidak berarti apa-apa. Julian sudah terbiasa dengan Ana yang selalu menghindar. Memang awalnya menyakitkan tahu kebenaran dari orang lain. Tapi Julian percaya, Ana punya alasan untuk itu. Terlebih karena Ana sudah dewasa dan Julian tahu ia tak punya hak untuk mencampuri urusan perempuan di depannya.
"Aku baru datang, kau tidak menyuruhku masuk?"
Ana memalingkan wajahnya. Menatap hampa pada lantai koridor yang keabu-abuan. Ia tak mengerti apa yang harus dilakukan dan ia tak ingin Julian masuk ke dalam tempat tinggalnya. Tapi, Julian menarik kopernya, dan berjalan melewati Ana begitu saja. Sebuah kamar yang agak berantakan. Julian bahkan bisa melihat tumpukan artikel tentang dirinya sendiri. Sesuatu yang ia kira Ana tak tahu dan itu membuat Julian yakin bahwa Analah yang menelponnya beberapa hari lalu.
Hanya ada sebuah tempat tidur di sana, sebuah meja makan dengan dua kursi, dan pintu kaca besar yang memisahkan ruangan dan balkon. Julian duduk di meja makan. Ia menatap ke langit senja di luar.
Tidak lama Ana masuk dan ia merapatkan pintu.
"Aku haus, kau tidak ingin membuatkanku secangkir kopi?" Julian meminta.
"Tidak ada kopi di sini," Ana duduk di kursi yang tersisa di meja makan.
"Ambilkan aku apa saja," Julian terdengar memaksa.
Ana terpaksa beranjak dari tempat duduknya. Ia hanya menuangkan air putih ke dalam gelas dan meletakkannya di depan Julian.
Ana kembali duduk berhadapan dengan Julian. Ia memaku Julian dengan tatapannya, berharap Julian mengatakan maksud kedatangannya kali ini. Namun, Julian hanya menatap ke arah balkon, ke langit yang sebentar lagi akan memekat.
"Boleh aku menginap di sini?" tanya Julian membuat kening Ana mengerut.
"Kakak bisa menginap di hotel. Kenapa harus di sini? Di sini tidak ada tempat untukmu, Kak!" Sahut Ana setengah berteriak. "Lagi pula... apa kata tetangga?"Ana mengusap rambutnya, ia hampir menangis karena kesal. Bukan karena kehadiran Julian sebenarnya, tapi lebih karena beban di hatinya sendiri. Ana punya rahasia dan ia tak ingin Julian tahu soal itu.
"Aku kakakmu, mereka tidak akan protes."
"Apa kata-kataku kemarin belum jelas. Kau bukan lagi kakakku!" Ana menegakkan tubuhnya. Untuk sesaat itu ia ingin Julian mendengarkan kata-katanya. "Jika kakak tidak mau pergi, aku yang pergi," Ana menarik tas tangannya dan berjalan menuju pintu.
"Kau takut aku bertanya soal hubunganmu dengan Nara?" pertanyaan Julian mampu menahan langkah Ana. Gadis itu berpaling kemudian.
"Aku sudah menahan diri untuk tidak bertanya dan aku tidak akan bertanya kenapa? Sejujurnya aku tidak bertemu Nara hari ini, aku melihatmu di taman. Vanessa dibawa oleh Nara dan...," Julian tak tahu bagaimana menyebutnya, "aku mengikutimu hingga ke sini," katanya mencoba mempersingkat.
Ana kembali mendekat pada Julian, "Apa kau marah?" tanyanya.
Julian memainkan gelas kaca yang airnya hanya tinggal seperempat, "Tentu saja, aku ingin sekali membunuh Nara."
"Bukan salahnya. Aku yang meminta cerai darinya dan aku senang seperti ini," sasar Ana.
"Kau percaya aku akan melakukannya?" Julian menengadah. Ia menantang pandangan Ana yang berdiri saat itu.
Ana menunduk. Air matanya menetes. Ada sisi perasaan yang memaksanya percaya bahwa Julian akan melakukan apa pun untuk dirinya.
"Aku menyesal kakak tahu soal ini," ucap Ana.
Julian melepaskan gelas bening di depannya, kemudian menegakkan tubuhnya. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil meratapi Ana yang terisak. Dari sisi mana yang membuatnya percaya Ana tak menganggap dirinya adalah 'Kakak', Ana menangis seperti anak kecil. Merasa bersalah, seakan dia telah membuat kesalahan yang besar.
"Tenanglah! Aku tidak menyalahkanmu," Julian mengusap pipi Ana.
Seketika Ana melingkarkan lengannya ke pinggang Julian dan merapatkan wajahnya di dada Julian, "Maafkan aku, Kak!" katanya di sela-sela isak tangisnya.
Julian tak mengerti, tapi ia merasakan jantungnya tertekan hingga berdebar sangat kencang. Rasa sakit, buah kerinduan yang besar, yang sepertinya meledak karena Ana berada dalam dekapannya. Jika saja benar Ana tak lagi menganggapnya sebagai seorang "Kakak", Julian ingin bertanya, "apa kau bersedia membuka hatimu untukku?"
Namaku Juliana Segovia. Ayahku seorang desainer terkenal dunia, namanya Julian Andreas Segovia. Ibuku, maksudku... ibu tiriku adalah model terkenal bernama Isabel Clara Denova. Sepanjang ingatanku, aku tidak pernah meninggalkan Paris kecuali untuk berlibur. Itu pun terbatas hanya negara-negara di Eropa saja. Tahun ini usiaku 18 tahun, akhir-akhir ini aku sering bertengkar dengan ayah karena urusan laki-laki. Aku dan ayah, kami bertengkar seperti sepasang kekasih. Dia bilang dia cemburu melihatku dengan laki-laki lain yang tak jelas kepribadiannya. Kutanyakan padanya tentang alasannya yang tak masuk akal itu. Tentang untuk apa ia cemburu? Dan dia diam saja. Namun, sehebat-hebatnya pertengkaran kami, aku tidak pernah memenangkan orang lain karena aku tahu ayahku adalah orang yang paling meyayangiku. Dulu, sebenarnya aku tidak berpikir seperti itu. Sampai usia sembilan tahun, ayah jarang b
"Aku takut," ucap Julian sambil memegang tangan Ana. Julian menciumi tangan itu berkali-kali. Ana, dia tersenyum dengan wajahnya yang pucat. Perempuan itu masih terbaring di tempat tidur di ruang perawatan. Ia sedang menunggu giliran untuk operasi Caesar. "Anak kita akan baik-baik saja," ujarnya. "Tapi, bagaimana denganmu? Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Julian dalam hati. "Aku hanya menginginkanmu," tegas Julian seolah-olah tidak peduli pada bayi dalam kandungan Ana. Sampai hari itu ia masih tak ikhlas menerima ada bayi di rahim Ana yang membuat perempuan itu harus menghentikan pengobatan kankernya selama hampir sepuluh bulan. "Julian, sayang! Dengarkan aku," Ana meminta Julian fokus kepadanya. "Berjanjilah padaku kau akan me
"Sampai kapan kau akan merahasiakan ini dari Julian? Apa kau sadar, mempertahankan janin dalam kandunganmu bisa berarti membunuh dirimu sendiri, atau justru membunuh kalian berdua." "Ya. Aku dan bayiku, kami mungkin akan mati bersama, itulah kemungkinan terburuknya," Ana tersenyum. "Tapi, jika aku mati dan dia hidup, maka Julian akan hidup. Dan jika aku membunuhnya sekarang, maka aku, Julian dan bayiku, kami semua akan mati." Akhirnya Ruin mengatakan ia gila berkali-kali. Ana mengakui itu, ia menjadi tidak waras karena cintanya pada Julian. Tempat mereka tinggal sekarang, seperti vila yang berada di tepi danau yang indah. Tempat di mana mereka memupuk mimpi dan berusaha mewujudkannya berdua saja. Namun, saat ini tempat itu tertutup kabut. Gelap dan dingin. Julian bilang tidak apa-apa jika ia harus berada di sana, asalkan bersama Ana.
Julian naik ke atas tempat tidur."Dari mana saja?" lirih Ana. Dia pura-pura tidak tahu apa yang Julian lakukan di bawah. Kata-kata Julian pada ayah yang tidak sengaja di dengarnya, membuat Ana merasa ngeri sendiri. Sesuatu yang membuat Ana yakin Julian tidak akan baik-baik saja jika suatu saat dirinya pergi. Dan Ana tak tahu harus berbuat apa agar orang itu berubah pikiran.Ruin memang berbohong, tapi Ana jauh lebih tahu tentang kondisi tubuhnya sendiri. Sakit dan perasaan lelah yang sangat, yang lebih banyak ia pendam. Julian tidak menyadari itu. Ana memeluk Julian dan Julian balas memeluknya lebih erat. Sekali lagi Ana berpura-pura tidak tahu, bahwa Julian gelisah dan mencoba meredam isakan tangisnya di bahu Ana. Ana berpura-pura tidak tahu betapa ketakutan akan kehilangan menyergap laki-lakinya sekarang. Ana terpikir satu kali
"Kamu kelihatannya senang banget?" Julian menarik botol air mineral dari dalam kulkas. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil memutar tutup botol."Hari ini pulang cepat, nggak?" tanya Ana.Julian berpikir ada baiknya Ana langsung meminta padanya kalau memang menginginkan dirinya pulang cepat hari itu. Bahkan jika Ana memintanya tetap di rumah, Julian tidak akan menolak. Lagi pula, bukankah jam pulangnya jauh lebih cepat dari yang pernah perempuan itu ingat tentang siapa Julian. Seseorang yang pergi ke kantor di jam Ana remaja masih belum bangun dan pulang ketika Ana sudah terlelap. Sekarang, jadwal pulang terlambat bagi Julian adalah pukul enam sore lewat satu menit dan selebihnya."Memang kenapa?""Orang tua Dokter Ruin mau
"Ada apa denganmu?" Ana menyentuh sudut mulut Julian. Perlahan jemarinya juga mengusap kening laki-laki itu dan menyingkap rambutnya. "Bagaimana mungkin kau tidur seperti ini?" pikirnya lagi sambil memperhatikan Julian yang terpejam dengan kening berkerut.Julian kelelahan. Tentu saja, ia seperti prajurit yang usai berjuang di medan pertempuran. Kemudian datang pada Ana untuk meluapkan stress dan rasa putus asanya. Ana masih ingat jelas bagaimana ia terengah-engah dan hampir menangis ketika mereka seharusnya berada di puncak kenikmatan."Apa aku terlihat hebat?" tanya Julian sesaat setelah ia bisa mengontrol napasnya lebih baik.Ana tersenyum. Ia kira Julian mencoba bercanda dengannya. Tapi, Julian tidak pintar berakting samasekali. Ana sadar ada yang membebani Julian saat itu. Sesuatu
Sekilas Julian terlihat santai, ia bersandar di sofa dengan kaki tertopang. Sedang Ana duduk di sampingnya dengan punggung yang menegak. "Aku ada rapat hari ini," bisik Julian pada Ana sambil terus memperhatikan jam dinding. Waktu sudah menunjukkan pukul enam lewat lima puluh pagi saat itu. "Sebentar saja!" sahut Ana. Bi Astri sedang menawan mereka. Perempuan tua itu mondar-mandir hampir lima belas menit sambil menghujani Ana dan Julian dengan kata-kata. "Tuhan akan melaknat kalian. Bagaimana mungkin kalian melakukan hal sejauh itu?" Bi Astri menunjukkan wajah sedihnya. "Tapi, Bi...," "Kau diam, Ana!" potong Bi Astri. "Bibi ta
Ana melangkah cepat ke ruang tamu ketika mendengar suara mobil yang parkir di depan rumah. "Ada apa?" tanya Julian melihat Ana yang sepertinya gelisah ketika menyambut dirinya. "Ruin menelponku dan bilang kakak ke rumah sakit." Julian melepas blezzer hitamnya dan melemparnya ke sandaran sofa. Ia tak tahu kalau seorang dokter akan dengan mudah membocorkan rahasia pasiennya ke orang lain dan itu membuatnya jengkel. "Dia bilang apa lagi?" "Dia bilang kau diminta mendonorkan darah." "Hanya itu?" Ana mengerutkan keningnya, "Memang ada lagi?" balas Ana curiga.
Untuk pertama kali sejak enam belas tahun, ia datang ke rumah sakit karena masalahnya sendiri. Julian berdiri sekitar enam meter dari pintu masuk utama rumah sakit. Ia hampir saja mengurungkan niatnya ketika memutar kakinya ke kiri dan berniat kembali ke parkiran. Hanya saja, bayangan tentang Ana menahan langkahnya. Bukankah ini sudah lebih dari satu bulan dan Julian hampir gila dibuatnya. Julian merasa sudah saatnya ia mencari pertolongan. Sekarang Ruin berada di hadapannya. Dokter itu membuat Julian menunggu hampir dua jam dan membuat Julian merasa ingin menyerah berkali-kali. "Apa terjadi sesuatu pada Ana?" Ruin memulai pembicaraan. Cukup lama Julian diam dan akhirnya ia menunduk gelisah. "Baiklah. Ini masalahmu," Ruin coba men