Share

Chapter 11: Rahasia (2)

Ana menepuk-nepuk dadanya ketika seseorang mengetuk pintu. Baru saja ia menenggak enam butir obat sekaligus. 

 "Ana, kau di rumah?"

 Itu suara tetangganya, seorang kakek pensiunan tentara yang tinggal tepat di depan kamarnya. Biasanya kakek akan mencarinya untuk tagihan listrik dan air. Ana tak bisa mengingat tanggal berapa hari itu, tapi terlalu cepat ia kira jika kakek berniat menagih uang bayaran sementara Ana merasa baru minggu lalu ia membayar tagihan tersebut. 

 "Seseorang mencarimu!" jelas kakek saat pintu terbuka. "Aku hanya ingin memastikan bahwa Ana yang dia maksud adalah kau, dan apa kau mengenalnya?"

 Seseorang yang bersandar di sisi pintu apartemen kakek, menunduk dengan satu lengannya tertahan di saku celana. Wajahnya tak terlihat karena topi yang ia kenakan. Ada satu koper di sampingnya. Ana tentu tahu itu siapa. Tapi, ia tak terlalu terkejut, karena sekali lagi "Dia berhasil menemukanku!"

 Sejenak Julian menengadahkan kepalanya, ia menyorotkan tatapan sendu pada Ana, kemudian tersenyum. 

 Ana segera mengalihkan pandangannya saat itu. Buatnya mengartikan senyuman Julian amat mengerikan.

 "Ya. Saya kenal dia, Kek! Dia kakak saya," katanya kemudian.

 "Benarkah?" Kakek memperhatikan Julian dari ujung kepala sampai ujung kaki pemuda itu, "jujur saja kalian tidak mirip," lanjutnya dengan sedikit tertawa. 

 Memang itu sebuah lelucon. Andai Ana mengatakan yang sebenarnya, bahwa Julian hanya kakak angkatnya, maka sebutan itu tidak berarti apa-apa. Julian akan tetap dianggap sebagai laki-laki yang tidak berhak ada dalam satu kamar dengan Ana. 

 Ketika kakek beranjak pergi, saat itulah Ana harus menatap Julian sekali lagi. "Apa yang terjadi?" tanyanya berusaha bersikap lebih santai. 

 "Pesawatku delay, aku tak tahu kapan bisa kembali ke Paris. Mereka bilang akan menghubungiku nanti!" Kebohongan terlogis yang bisa dipikirkan Julian. 

 "Bagaimana Kakak tahu aku di sini?"

 Julian diam. Ia hanya memperhatikan Ana. 

 "Apa kau mencariku di tempat Nara?" sekali lagi Ana bertanya. 

 Julian tersenyum getir. Kata-kata Ana terdengar tidak akrab. Tempat Nara yang seharusnya juga menjadi tempat Ana, sekarang sudah tidak lagi. 

 "Ya. Itu yang kulakukan," jawab Julian. 

 "Dia mengatakan sesuatu?" sasar Ana. Matanya mulai berkaca-kaca dan tangannya bergetar. 

 Julian sudah berusaha untuk tidak membuat Ana terintimidasi untuk kedatangannya kali ini. Tapi, sepertinya Ana yang terjebak sendiri dengan sandiwara yang ia buat. Itu membuat Julian semakin sedih. Baginya, kebohongan itu tidak berarti apa-apa. Julian sudah terbiasa dengan Ana yang selalu menghindar. Memang awalnya menyakitkan tahu kebenaran dari orang lain. Tapi Julian percaya, Ana punya alasan untuk itu. Terlebih karena Ana sudah dewasa dan Julian tahu ia tak punya hak untuk mencampuri urusan perempuan di depannya. 

 "Aku baru datang, kau tidak menyuruhku masuk?"

 Ana memalingkan wajahnya. Menatap hampa pada lantai koridor yang keabu-abuan. Ia tak mengerti apa yang harus dilakukan dan ia tak ingin Julian masuk ke dalam tempat tinggalnya. Tapi, Julian menarik kopernya, dan berjalan melewati Ana begitu saja. Sebuah kamar yang agak berantakan. Julian bahkan bisa melihat tumpukan artikel tentang dirinya sendiri. Sesuatu yang ia kira Ana tak tahu dan itu membuat Julian yakin bahwa Analah yang menelponnya beberapa hari lalu. 

 Hanya ada sebuah tempat tidur di sana, sebuah meja makan dengan dua kursi, dan pintu kaca besar yang memisahkan ruangan dan balkon. Julian duduk di meja makan. Ia menatap ke langit senja di luar.

 Tidak lama Ana masuk dan ia merapatkan pintu.

 "Aku haus, kau tidak ingin membuatkanku secangkir kopi?" Julian meminta. 

 "Tidak ada kopi di sini," Ana duduk di kursi yang tersisa di meja makan. 

 "Ambilkan aku apa saja," Julian terdengar memaksa. 

 Ana terpaksa beranjak dari tempat duduknya. Ia hanya menuangkan air putih ke dalam gelas dan meletakkannya di depan Julian. 

 Ana kembali duduk berhadapan dengan Julian. Ia memaku Julian dengan tatapannya, berharap Julian mengatakan maksud kedatangannya kali ini. Namun, Julian hanya menatap ke arah balkon, ke langit yang sebentar lagi akan memekat. 

 "Boleh aku menginap di sini?" tanya Julian membuat kening Ana mengerut. 

 "Kakak bisa menginap di hotel. Kenapa harus di sini? Di sini tidak ada tempat untukmu, Kak!" Sahut Ana setengah berteriak. "Lagi pula... apa kata tetangga?"Ana mengusap rambutnya, ia hampir menangis karena kesal. Bukan karena kehadiran Julian sebenarnya, tapi lebih karena beban di hatinya sendiri. Ana punya rahasia dan ia tak ingin Julian tahu soal itu.

 "Aku kakakmu, mereka tidak akan protes."

 "Apa kata-kataku kemarin belum jelas. Kau bukan lagi kakakku!" Ana menegakkan tubuhnya. Untuk sesaat itu ia ingin Julian mendengarkan kata-katanya. "Jika kakak tidak mau pergi, aku yang pergi," Ana menarik tas tangannya dan berjalan menuju pintu. 

 "Kau takut aku bertanya soal hubunganmu dengan Nara?" pertanyaan Julian mampu menahan langkah Ana. Gadis itu berpaling kemudian. 

 "Aku sudah menahan diri untuk tidak bertanya dan aku tidak akan bertanya kenapa? Sejujurnya aku tidak bertemu Nara hari ini, aku melihatmu di taman. Vanessa dibawa oleh Nara dan...," Julian tak tahu bagaimana menyebutnya, "aku mengikutimu hingga ke sini," katanya mencoba mempersingkat.

 Ana kembali mendekat pada Julian, "Apa kau marah?" tanyanya.

 Julian memainkan gelas kaca yang airnya hanya tinggal seperempat, "Tentu saja, aku ingin sekali membunuh Nara."

 "Bukan salahnya. Aku yang meminta cerai darinya dan aku senang seperti ini," sasar Ana. 

 "Kau percaya aku akan melakukannya?" Julian menengadah. Ia menantang pandangan Ana yang berdiri saat itu. 

 Ana menunduk. Air matanya menetes. Ada sisi perasaan yang memaksanya percaya bahwa Julian akan melakukan apa pun untuk dirinya.

 "Aku menyesal kakak tahu soal ini," ucap Ana. 

 Julian melepaskan gelas bening di depannya, kemudian menegakkan tubuhnya. Ia menyandarkan pantatnya di meja makan sambil meratapi Ana yang terisak. Dari sisi mana yang membuatnya percaya Ana tak menganggap dirinya adalah 'Kakak', Ana menangis seperti anak kecil. Merasa bersalah, seakan dia telah membuat kesalahan yang besar.

 "Tenanglah! Aku tidak menyalahkanmu," Julian mengusap pipi Ana. 

 Seketika Ana melingkarkan lengannya ke pinggang Julian dan merapatkan wajahnya di dada Julian, "Maafkan aku, Kak!" katanya di sela-sela isak tangisnya. 

 Julian tak mengerti, tapi ia merasakan jantungnya tertekan hingga berdebar sangat kencang. Rasa sakit, buah kerinduan yang besar, yang sepertinya meledak karena Ana berada dalam dekapannya. Jika saja benar Ana tak lagi menganggapnya sebagai seorang "Kakak", Julian ingin bertanya, "apa kau bersedia membuka hatimu untukku?"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status