Share

Chapter 12: Rahasia (3)

Keesokan harinya,

 Ana menggeser pintu menuju balkon kamarnya, ia baru saja bangun ketika ia tak menemukan siapa-siapa di dalam kamarnya. Pembaringan Julian, sebuah karpet di depan tv, telah rapi dengan selimut yang terlipat. 

 Dari atas balkon, Ana bisa memandang luasnya lapangan tanpa rumput berada diantara dua gedung bertingkat lima. Pagi yang cerah diiringi teriakan anak-anak yang sedang bermain bola. Pemandangan yang sebenarnya biasa, kecuali jika Julian menjadi bagian di dalamnya. Cukup lama Ana menyandarkan tangannya di pagar balkon sambil memperhatikan Julian yang lari ke sana ke mari. Kemeja putihnya tak terlihat putih lagi. Ana tak mengerti perasaan apa, tapi ia kira Julian dan teman kecilnya benar-benar menikmati permainan mereka. Dan Ana tahu anak-anak itu tidak akan berhenti bermain sampai para ibu menarik telinga mereka. 

 Benar saja, dua jam berlalu dan Julian belum kembali. Saat itu lapangan sudah sepi, matahari sudah meninggi, dan yang tertinggal hanyalah butiran debu yang tersapu angin. Ana terpaksa turun untuk mencari Julian. Ia menemukan laki-laki itu sedang duduk di kursi panjang di tepi lapangan. Tangan kanannya terentang di sandaran kursi. Sementara tangan kirinya berada di atas pahanya yang tertopang. Julian menatap lurus ke depan. 

 Ana tahu kakaknya sedang memikirkan sesuatu dan tidak seharusnya ia menggangu Julian saat itu. Ana menghampiri Julian, duduk di sampingnya, "Aku sudah menyiapkan makanan," katanya pelan. 

 Julian diam saja. Julian sepertinya memilih tetap berada dalam lamunannya. 

 Angin berhembus cukup kencang di sana. Sesuatu yang membuat Ana sadar kenapa Julian bertahan di sana. Suasana sejuk diantara kesunyian, yang membuat mereka merasa nyaman. Satu per satu butiran keringat yang turun dari sela-sela rambut Julian, jatuh hingga ke dagunya. Itu samasekali tak membuat Julian terusik. Tapi Ana, justru ia yang merasa terganggu. Ana segera mengusapkan tangannya ke kening hingga pipi Julian. Dulu Ana pernah melakukannya, waktu itu Julian bekerja sebagai buruh bangunan. Mereka tak sengaja bertemu saat istirahat siang dan Julian mengajak Ana makan. Gumpalan keringat yang silih berganti menyusuri wajah Julian, Julian sebenarnya terganggu dengan itu. Tapi, tangannya terlalu kotor untuk mengusap wajahnya sendiri. Ana hanya melakukan hal yang sudah sewajarnya ia lakukan, membantu Julian mengusap keringatnya. Tapi, seperti waktu itu, kali ini Julian juga menahan tangan Ana, "Nanti tanganmu kotor," katanya. 

 "Apa sesuatu telah terjadi?" Ana mencoba mencari tahu sesuatu yang membuat Julian terdiam begitu lama. "Apa pihak bandara belum menghubungimu dan kakak dapat masalah karena itu?" sasarnya.

 Julian berpaling ke Ana. Ia merasa Ana tampak lebih pucat hari itu. Perempuan dengan sweater abu-abu membalut tubuh mungilnya. Ana yang samasekali tak tahu kalau Julian tidak bisa tidur semalaman. Jika pun matanya terpejam, itu hanya pura-pura saja. Julian mendengar sendiri bagaimana kegelisahan Ana tadi malam. Untuk pertama kalinya Julian melihat Ana kesakitan. Dan Julian tak bisa berbuat apa-apa saat itu. 

 "Sudah kuputuskan! Aku tidak akan kembali ke Paris," ucap Julian membuat Ana tercenung. 

 "Jangan hanya karena aku...,"

 "Bukan karena dirimu," potong Julian, "tapi karena diriku sendiri," lanjutnya.

 Ana mengerutkan keningnya. Ia tak terlalu mengerti yang baru saja diucapkan kakaknya. 

 Julian mencoba tersenyum. Ia kira ia tak akan mempertegas alasan yang membuatnya tetap tinggal. Karena itu berhubungan dengan rasa cintanya yang teramat dalam, di hatinya hanya akan tersimpan kekhawatiran jika saja ia meninggalkan Ana sendirian. Kekhawatiran itu perlahan-lahan akan mematikan saraf otaknya dan membunuhnya. Hal yang terburuk yang bisa dirasakan Julian, dan Julian tak ingin itu terjadi. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status