Share

Bab 9

Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.

“Apa makananku nggak enak?”

Raymond menggeleng.

“Kalau dibandingkan dengan masakanmu yang biasanya, ini memang tidak ada apa-apanya. Maaf.”

“Bukan itu masalahnya, Hazel…”

“Oh.”

Wanita itu tidak lagi merespon. Ia memandangi Hazel. Wanita ini sibuk menikmati sarapannya dengan wajahnya yang tenang.

“Kasih jarak. Jangan minum obat pereda nyerinya setelah minum teh. Nggak bagus.”

Raymond mengangguk. Dalam hati, ia tidak berniat untuk meminum kembali obat pereda nyerinya. Lebih baik ia biarkan saja rasa nyeri itu tetap ada, untuk mengingatkan alasan yang membuatnya mendatangi kota ini. 

“Sampai lupa,” Hazel mengelap bibirnya, sambil meneguk air mineral di gelas kaca yang ada di samping kiri piringnya. Piringnya sudah kosong. “Kamu nggak usah pergi ke kafe hari ini. Aku sudah izin sama Edward.”

Edward? Ah, ia sampai lupa nama manajer berwajah ketus itu.

“Nggak perlu. Aku masih bisaー” Raymond tidak jadi melanjutkan perkataannya begitu melihat Hazel yang mendelik padanya. “Y-ya. Lebih baik aku di rumah. Piringnya biar aku yang cuci.”

“Oke. Aku pamit dulu. Kalau ada apa-apa, telepon. Paham?”

Begitu wanita itu keluar dari apartemen dan terdengar suara pintu yang tertutup, ia menarik napas lega. Ia tidak menyangka kalau Hazel itu tipe perawat yang sangat galak, sampai napasnya tercekat saking takutnya. Dalam hati, ia merasa lega, karena pacarnya itu sama sekali tidak menanyakan alasan di balik serangan cemasnya tadi. Tapi rasanya ia seperti pecundang, membiarkan wanita berusia 18 tahun mengkhawatirkan dirinyaーseorang pria berusia 26 tahun yang baru saja menunjukkan kelemahannya di depan wanita itu. Ia memandang sekilas menu sarapannya. Sebenarnya, ia tidak ingin memakannya. Selera makannya sudah hilang karena melihat kilas balik ingatan yang seharusnya sudah ia 

lupakan. Tapi, ia tidak enak dengan Hazel yang sudah capek-capek menyiapkan sarapan yang biasanya menjadi tugasnya. Agak enggan, ia memakannya. 

Tidak buruk. Tingkat kematangan telurnya sangat pas, sesuai dengan seleranya. Lalu bacon wortel ini, dari penampilannya tampak menyedihkan, namun begitu lidahnya menyentuh bacon ini, selera makannya mendadak kembali. Perpaduan bumbu dengan tekstur wortelnya sangat cocok. Kapan Hazel membuatnya? Setahunya, bacon wortel itu harus direndam dengan bumbu selama satu jam agar meresap sempurna, lalu dipanggang. Tapi ia tidak melihat Hazel melakukannya tadi. Wanita itu hanya memasukkan bacon itu ke dalam oven, lalu menghidangkannya bersama dengan telur orak-arik dan roti yang baru saja keluar dari pemanggang. 

Teleponnya berdering, menghentikan sarapannya. Ia beranjak dari kursinya, mencari ponselnya yang ternyata terselip di sela-sela kursi sofa, sepertinya terjatuh saat ia tertidur tadi malam. Ia melihat nomor yang menghubunginya, menaikkan sebelah alisnya karena kebingungan. Di daftar kontak ponsel yang baru ia beli setibanya di kota ini hanya berisi nama-nama rekan kerjanya di kafe, Hazel, Amanda dan teman-temannya. Sambil tetap bersikap waspada, ia mengangkat panggilan tersebut.

“Akhirnya kamu angkat, Raymond!”

Ia menarik napas lega begitu mengenal suara yang sedang meneleponnya. “Seperti biasa, penuh kejutan, ya? Tahu dari mana nomorku?”

“Kamu itu gimana, sih? Aku kan punya banyak cara buat hubungi adik Priaku.”

Raymond membayangkan Martha mengedipkan sebelah matanya saat mengatakannya. Hal yang biasa dilakukan wanita itu setiap kali menyebutnya sebagai ‘adik Pria’. Ia tertawa, lalu meringis karena luka tembakan itu masih terasa nyeri, membuat Martha cemas.

“Aku nggak apa,” sahutnya seraya berjalan kembali ke ruang makan, menikmati sarapannya yang sempat terganggu. “Jadi, ada yang ingin kamu bicarakan, Martha?”

“Yakin? Udah minum obat pereda nyerinya?”

“Aku masih sarapan, Martha.”

“Coba deh, panggil aku kakak. Kayak dulu. Kak Martha〜” Terdengar suara Martha yang tertawa saat mengatakannya. “Imut loh kamu waktu itu.”

“Udah selesai ngeledeknya? Nyeri di perutku kambuh lagi gara-gara kamu.”

“Dih, serius amat jadi orang.”

“Biar.” Raymond mendesah pelan, menghabiskan sarapannya lalu menjauhkan piring itu dari hadapannya sambil meletakkan tangannya di atas meja. “Itu sudah berlalu. Kalau nggak ngomong juga bakal kututup teleponnya sekarang. Tiga, dua, saー”

“Oke, oke. Aku ngomong sekarang,” sela Martha. “Kamu luang nggak siang ini? Ada yang mau kubicarakan, tapi nggak di telepon. Bisa?”

Ia menimang sejenak tawaran Martha, lalu mengangguk. “Gak masalah. Tempatnya?”

“Nanti kuberitahu. Sampai nanti.”

Ia menutup teleponnya, lalu beranjak dari tempat duduknya. Meletakkan piring-piring kotor dan sisa peralatan yang digunakan Hazel untuk memasak tadi ke dalam mesin pencuci piring.

***

Mata Raymond berkedut. Bukan, ini bukan karena ia menahan nyeri akibat luka tembakan waktu itu. Sama sekali bukan. Penyebab matanya berkedut itu karena melihat wanita berusia 30 tahun yang saat ini duduk berhadapan dengannya di sebuah kedai kopi dekat Sunflower Roadーnama jalan yang berada dekat dengan apartemen yang ia huniーsedang menikmati parfait seorang diri dengan ukuran parfait yang sebenarnya bisa dimakan lebih dari dua orang saking besarnya. Ia melihat papan menu yang tergantung di atas meja kasir. 

Menu ekstra besar tersedia

Pantas saja wanita ini mengajaknya makan di kedai kopi ini. Mengingat selera makannya yang sangat besar, jelas jika kedai kopi ini menyediakan hal yang bisa memuaskan nafsu makan Martha yang tidak selaras dengan berat badannya yang tetap stabil. Takdir benar-benar kejam. Padahal ia sendiri harus menjaga asupan kalorinya agar berat badannya stabil karena dia gampang gemuk. Wanita ini, dengan entengnya melanggar kode etik yang selalu dipegang teguh oleh para wanita di seluruh dunia. Melihat temannya makan saja sudah menghilangkan selera makannya. Bahkan tanpa sadar, Raymond terus mengaduk frappuccino-nya hingga esnya meleleh semua dan membiarkan croissant yang dipesannya sejak tadi menjadi tidak sehangat saat disajikan.

“Udah selesai?” tanya Raymond sambil menyangga kepalanya dengan tangannya satunya yang menyandar di atas meja. Sebenarnya ia agak jengkel karena seingatnya, ia datang ke tempat ini bukan untuk melihat temannya makan, tapi untuk mendapatkan informasi-entah-apa-itu. “Aku nggak mau kelihatan kayak kencan sama orang kayak kamu, Martha. Padahal kencan sama Hazel aja belum sempat.”

“Melankolis amat jadi orang,” Martha menunjuk sendoknya ke arah Raymond dengan mulutnya yang penuh dengan es krim, lalu menelannya dalam hitungan detik. “Kamu segitunya benci sama kakak perempuanmu yang paling cantik ini?”

“Cantik, cantik. Ngaca! Makan kayak kuda nil gitu!”

“Ini tipe keanggunan yang berbeda, Raymond. Aku menyebutnya ‘kecantikan alami’.”

“Lebih baik aku minggat dari sini sekarang daripada dengerin omong kosongmu itu, Martha.”

“Jangan!” Martha segera menahan tangannya saat ia pura-pura beranjak dari tempat duduknya. 

Sebenarnya ia tidak berniat melakukannya. Mana mungkin ia meninggalkan Martha dengan tangan kosong? Ia berbalik, puas begitu melihat Martha yang akhirnya mulai serius.

“Izinkan aku makan satu sendok lagi.”

Raymond mengangguk dan kembali duduk di bangkunya. Lalu setelah menelan satu sendok es krim dan kini mangkuk itu sudah tersisa setengah, Martha bersendawa di depannya.

“Oh. ‘Kecantikan alami’ ya?” ledeknya begitu Martha menutup kedua mulutnya setelah bersendawa sekeras itu. Sama sekali tidak sesuai dengan kesan anggun dan seksi yang selalu ditampilkan Martha di depan publik.

“Ini beda.”

“Iya deh, beda.” Raymond mencondongkan tubuhnya ke arah Martha. “Jadi, apa yang ingin kamu katakan?”

“Aku baru mencari tahu soal orang-orang yang kemarin kamu serang itu. Yang mengejutkan adalah orang-orang itu merupakan organisasi mafia yang baru tiba di kota ini beberapa bulan yang lalu. Dan jujur saja, keberadaan mereka ini sudah membuatku tertarik sejak aku mendengar informasi tentang mereka, tapi nggak pernah ada kesempatan untuk mengetahui mereka langsung sampai kemarin.”

“Maksudmu, mereka ini masih baru?”

Martha mengangguk. “Karena selama lima tahun aku berada di sini, aku nggak pernah dengar kabar mereka. Menurut informasi yang berhasil kudapatkan, mereka tiba di sini nggak lama setelah kamu, Raymond.”

Benar-benar di luar dugaan, gumam Raymond dalam hati. Lalu ia kembali memandang Martha. “Siapa nama bos mereka.”

“Simon. Simon Clive. Harusnya organisasi mafianya bergerak di Inggris, tapi entah kenapa mereka bisa berada di sini.”

Simon Clive? Nama yang terdengar asing di telinganya. Informasinya cocok dengan yang ia dengar dari mulut wanita yang menyerangnya kemarin. Untuk apa orang itu mengincar Amanda? Apa mereka mengetahui identitas Arnold dan berniat membunuh Amanda juga?

“Untung berhasil kubereskan. Kamu itu dari dulu nggak pernah berubah. Selalu nggak bisa menahan diri untuk tidak membunuh orang. Padahal kamu itu polisi loh! Polisi! Yang harusnya menegakkan keadilan.”

“Mantan.” ralat Raymond sambil menyesap frappuccino-nya. “Yang kubunuh juga selalu orang bejat. Susah kalau mereka diadili dengan hukum Morozov yang longgar. Dan lagi, aku nggak bunuh mereka kemarin. Cuma memberi rasa sakit yang setara dengan kematian, itu saja.”

“Sama saja, Raymond! Kamu itu sama sekali nggak mematuhi kode etik kepolisian.”

“Sejak kapan kamu peduli soal kode etik?”

“Benar juga.” Martha tertawa. “Mematuhi aturan itu bukan aku banget. Yah, pokoknya semua sudah kubereskan, tapi hilangnya anggota mereka pasti akan menimbulkan kecurigaan mereka cepat atau lambat.”

“Ya.” Raymond memandang ke luar jendela kedai kopi. Hujan mulai turun deras. Sepertinya ia akan terjebak lama di sini. “Aku perlu bayar kamu berapa buat jasamu kemarin?”

“Nggak usah. Anggap aja free service. Hitung-hitung sebagai balasan karena sudah memberiku pendonor.”

Raymond sampai lupa kalau saat ini ia bukan hanya berhadapan dengan mantan informan andal di Morozov, tapi juga penjual organ tubuh di pasar gelap. Kalau dipikirkan kembali, bagaimana bisa ia bertemu dengan orang sekelam Martha? Wanita yang dilihat dari penampilannya memang sangat menggoda. Seksi. Selalu bisa membuat orang tertarik untuk mendekat padanya. Bisa dikatakan wanita ini sangat berbahaya, seperti black widow. Tapi wanita inilah yang menyelamatkannya saat orangtuanya meninggalkannya, menganggapnya sebagai adik Prianya sendiri. Dan mungkin, itu juga yang membuatnya tidak pernah merasa takut ataupun waspada dengan Martha. Padahal bisa saja Martha berkhianat padanya sewaktu-waktu. Yah, ia tidak perlu khawatir soal itu, sih. Kalau wanita ini berkhianat, ia hanya perlu mencari jalan keluar untuk terbebas dari bahaya. Semudah itu.

“Lain kali aku nggak akan sungkan deh, bawa kamu ke sarang musuh.”

“Ini kenapa aku suka banget sama kamu, Raymond,” Martha mengusap lembut pipi Raymond. “Cuma adik Priaku ini yang ngerti aku.”

“Iya, iya. Kamu sering banget ngomong gitu sampai telingaku sakit rasanya.”

“Adikku malu-malu banget jadi orang,” Martha tersenyum lembut padanya seraya menjauhkan tangannya dari Raymond, kembali memakan parfait-nya. “Ngomong-ngomong, kapan mau ngenalin Hazel ke aku?”

“Nggak bakal kukenalin.”

“Kok gitu sama kakak?”

“Kayak gini aja baru nyebut dirimu ‘Kakak'.”

“Tapi emang iya, kan? Walaupun nggak ada hubungan darah.”

“Nanti kamu ngapa-ngapain Hazel gimana? Dia masih polos, tahu!”

“Sayang banget sama pacarnya, ya?”

“Bahkan sampai tahu kalau aku udah pacaran.”

“Cuma nebak. Eh, ternyata benar.”

Raymond mendecakkan lidahnya, sebal karena baru menyadari kalau ia jatuh ke perangkap Martha dengan memberitahu fakta ia sudah pacaran dengan Hazel. Ia meneguk frappuccino-nya hingga habis. “Aku yang bayar tagihannya, kan?”

“Nggak. Aku yang bayar. Kan aku yang ngundang kamu ke sini. Ngomong-ngomong croissant-nya nggak dimakan?”

Raymond melirik sekilas croissant-nya, lalu menggeleng pelan. “Buatmu aja. Belum kusentuh.”

“Kamu baik sekali, Raymond!” Tangan wanita ini segera menyambar piring Raymond dan melahap roti itu dengan nikmat, seakan parfait yang kini sudah habis itu belum cukup mengenyangkan. “Kalau Arnold masih ada, mungkin aku bakal kayak kamu, Ray.”

Raymond terkejut. Jarang-jarang Martha memanggilnya ‘Ray’. Ekspresi Martha berubah sendu. Mendengar nama Arnold, tangannya kembali gemetar. Dalam hati, rasa bersalahnya kembali muncul. Ia tahu kalau Martha sebenarnya menyukai Arnold walaupun wanita ini tidak pernah mengatakannya langsung. Jalan pikiran dan prinsip mereka yang tidak suka komitmen itu sangat mirip. Sewaktu Martha tinggal di Morozov, ia sering mendapati Martha dan Arnold kencan sampai ia sempat mengira kalau mereka pacaran.

“Maaf. Ini salahku.”

Martha menggeleng. “Bukan. Aku tahu setelah kematian Arnold, kamu terus mengurung diri di kamar. Menjalani terapi konseling karena PTSD-mu. Berhenti menyalahkan dirimu sendiri. Sebagian besar juga ini salahku. Aku ninggalin dia tanpa kabar. Nggak ada di sampingmu di saat kamu butuh.”

Raymond bisa merasakan tubuhnya mulai menggigil. Kilas balik ingatan tentang kematian Arnold kembali berputar di dalam pikirannya. “Salahku. Semua salahku. Kalau saja waktu itu aku lebih cepat datang, mungkinー”

Martha segera meninggalkan croissant-nya, memeluk tubuh Raymond sebelum ia sempat melanjutkan perkataannya. “Aku sudah bilang, kan? Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, Ray. Kamu bukan orang yang serapuh ini. Kamu kuat. Itu yang kutahu.”

Raymond mengangkat tangannya, agak ragu membalas pelukan hangat Martha. Rasanya ia tidak pantas menerima ini semua. Gara-gara dia, Martha tidak akan bisa bertemu Arnold. Gara-gara dia, Amanda tidak akan pernah bisa melihat kakak Prianya. Gara-gara dia…

Tanpa sadar, air matanya mengalir. Menumpahkan semua perasaan yang selama ini ia pendam pada Martha. Raymond membenamkan wajahnya di bahu Martha, menangis tanpa mempedulikan tatapan aneh orang-orang di kedai kopi itu. Tangan Martha mengelus rambut Raymond, membiarkan bahunya basah oleh air matanya.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status