Raymond memandangi pemandangan pagi di kota Cirillo yang tampak jelas dari balkon apartemennya sambil menikmati aroma rokok yang ia hisap dalam-dalam untuk menenangkan pikirannya. Kelihatannya Hazel tidur di kamarnya, karena ia tidak mendapati Hazel saat ia bangun tadi. Melihat pemandangan kota Cirillo, membuatnya teringat dengan pelajaran Sejarah yang ia pelajari saat ia masih sekolah.
Dulu, dunia dihadapi oleh situasi sulit karena perang berkecamuk di beberapa negara Timur Tengah, yang kebanyakan dipicu oleh kaum ekstremis. Akibatnya banyak penduduk negara itu yang memutuskan untuk keluar dari negaranya, mengorbankan harta dan status kewarganegaraan mereka. Mencari tempat yang jauh lebih aman untuk keselamatan mereka dan keluarga mereka, mengungsi ke negara-negara Eropa untuk mendapatkan hal yang tidak bisa mereka dapatkan di negara asal mereka: keamanan.
Awalnya, negara-negara Eropa itu menyambut mereka dengan tangan terbuka karena simpati, namun semakin lama, jumlah pengungsi tersebut semakin banyak hingga akhirnya negara-negara yang mulai kewalahan dan terpaksa mengambil tindakan dengan menutup batas wilayah untuk menghindari pengungsi baru terpaksa diambil.
Dipicu oleh desakan banyak pihak, PBB yang dibantu dengan beberapa organisasi non-profit yang khusus menangani pengungsi tanpa kewarganegaraan itu akhirnya memutuskan untuk membeli beberapa pulau, dibantu oleh para pengusaha yang menyumbang sebagian kekayaan mereka karena rasa empati mereka akan para pengungsi, menempatkan para pengungsi baru yang tidak bisa memasuki negara Eropa untuk tinggal di sana dengan jaminan mendapat kewarganegaraan sesuai dengan negara yang berada di dekat pulau tak berpenghuni tersebut.
Ada 5 pulau yang disediakan PBB untuk para pengungsi tersebut. Tentu saja, pulau itu baru dibuka untuk para pengungsi itu setelah fasilitas-fasilitas publik dasar seperti sekolah, rumah sakit, listrik, dan transportasi umum dibangun. Dengan jaminan keamanan yang selama ini mereka dambakan dan didukung oleh PBB, para pengungsi tersebut membentuk kehidupan baru mereka di sana.
Solusi ini berhasil. Sudah hampir 50 tahun sejak kejadian itu, dan kini semua pulau itu berkembang menjadi kota yang maju. Masing-masing pulau memiliki keunikan tersendiri. Morozov City yang berada di dekat Rusia. Cirillo City yang berada di dekat Italia. Rose City yang berada di dekat Perancis. Tudur City di dekat Inggris. Andromeda City di dekat Yunani. Ulriika City di Finlandia. Seperti contohnya kota Morozov, yang terletak di pulau Morozov yang dekat dengan Rusia. Diambil dari bahasa Rusia yang berarti beku, kota ini dinobatkan sebagai New York kedua karena mirip dengan kehidupan kota New York yang selalu sibuk dan tidak pernah tidur. Penduduk pulau Morozov itu selalu menampilkan wajah datar. Sejak lahir dituntut untuk selalu melakukan segalanya dengan cepat dan sempurna, sehingga bagi orang luar, Morozov akan terkesan seperti kota robot yang tidak memiliki hati. Sangat mengandalkan data dan teknologi, dan tidak memperhatikan kerusakan lingkungan yang mereka lakukan, walaupun dengar-dengar, mulai muncul gerakan aksi penyelamatan bumi yang kebanyakan diprakarsai oleh generasi muda yang muak dengan keapatisan generasi tuanya.
Bukan berarti bahwa sikap dingin mereka yang terkesan sebagai robot membuat mereka benar-benar dingin. Mereka akan menjadi hangat dan tidak segan menganggap satu sama lain sebagai keluarga jika sudah dekat. Seperti itulah gambaran yang ia dapatkan soal kota lamanya. Ia tidak begitu ingat dengan keadaan pulau-pulau lainnya.
Karena alasan inilah, ia sempat terkena demam rindu kampung halaman saat tiba di kota Cirillo, kota yang dinobatkan sebagai kota percontohan masa depan yang ramah lingkungan di dunia. Berlokasi dekat dengan negara Italia, mereka sepenuhnya bergantung pada listrik yang sumber dayanya berasal dari alam. Penduduk di sini sangat ramah, selalu melemparkan senyum pada semua orangーtermasuk pada orang yang tidak mereka kenal sehingga begitu menyulitkan proses transisi kehidupan barunya di kota ini.
Ah. Perkecualian untuk agen sales properti yang ia temui waktu ia mencari apartemen. Orang yang sudah ia coret dari daftar penduduk kota Cirillo yang ramah dan tidak ingin ia temui untuk selamanya.
Ia mengambil batang rokok yang kedua, hendak kembali merokok saat sebuah tangan segera menghentikan tindakannya. Ia menoleh, mendapati Hazel yang memandangnya dengan wajahnya yang tenang.
“Nggak boleh. Baru ditinggal sebentar saja sudah merokok lagi?”
“H-hai. Pagi, Hazel…” Tiba-tiba rasa gugup menyelimutinya begitu melihat wajah tenang Hazel saat mengambil rokoknya tadi, seakan di balik wajah tenang wanita ini muncul sabit yang sewaktu-waktu akan menghabisinya dalam waktu sekejap. “P-pagi yang cerah, ya? Udah bangun?”
Hazel tersenyum, tapi sorot matanya berkata lain. “Baru saja. Tapi Raymond, sekali lagi aku ngeliat kamu ngerokok lagi, ini jawabannya.”
Tanpa ampun, Hazel meremas rokok yang dipegangnya hingga remuk. Ia menelan ludah, gemetar membayangkan kalau rokok tadi adalah dia.
“Ngerti? Tahan dulu aja sebentar, setidaknya sampai kamu pulih. Susah, ya?”
“Ng… yaーmaksudku nggak, Hazel. Sama sekali nggak! Hahaha…” Raymond masih tidak bisa menyembunyikan ketakutannya akan ancaman Hazel tadi.
“Bagus,” Hazel tidak lagi memandangnya. Perhatiannya teralih pada pemandangan kota Cirillo dari balkon apartemen mereka. Matanya menerawang jauh, lebih jauh daripada kota Cirillo yang ada di depan matanya. “Kemarin aku sama sekali tidak mengatakan apa pun karena tidak ingin menyela pembicaraanmu, tapi dari kata-katamu kemarin, kelihatannya kamu nggak berniat untuk tinggal lama di sini, ya?”
“Nggak juga. Dari awal aku berencana untuk menetap di kota ini. Itu cuma niat awalnya,” Raymond mengulum bibirku, gelisah karena tidak bisa merokok. “Lagipula aku sudah berhenti dari pekerjaan lamaku sebelum pindah ke sini.”
“Oh? Jadi sebelumnya kamu apa?”
“Detektif di kantor kepolisian pusat Morozov.”
“Pantas saja,” Hazel menggumam, lebih kepada dirinya sendiri.
“Kenapa? Khawatir bakal kangen kalau aku balik?”
“Ya.”
Jawaban jujur Hazel sangat mengejutkannya. Ia pikir, Hazel akan berusaha keras untuk mengelak dari pertanyaannya tadi, atau sama sekali tidak merespon.
“Buat apa? Aku sudah nggak ada alasan lagi untuk tinggal di Morozov…” Raymond mengepalkan tangannya hingga nyaris berdarah. Mendadak ia merasa sesak napas. Sepertinya serangan cemasnya muncul kembali.
“Raymond?”
Suara Hazel yang memanggilnya terdengar khawatir, tapi ia tidak sanggup untuk menjawabnya. Tubuhnya perlahan merosot karena lututnya melemah, tidak sanggup menopang tubuhnya. Tangannya memegang dadanya yang sesak. Kilas balik kematian temannya berputar. Rasanya saat ini ia berada di dalam apartemen Arnold, bukan di balkon apartemennya.
Aroma darah yang menyebar ke seluruh ruangan…
Wajah Arnold yang tenang dengan matanya yang terpejam…
Ruangan apartemen Arnold yang berantakan…
Genangan darah yang mengotori lantai berbahan karpet…
Semuanya berputar begitu cepat, hingga nyaris membuatnya gila.
“...ti…”
Ia berusaha keras untuk mengeluarkan suara, meminta otaknya untuk berhenti memutar kenangan yang tidak ingin ia ingat kembali, namun gagal. Hidungnya mencium aroma darah yang persis seperti yang ia temukan saat itu. Mencium berbagai jejak yang ditinggalkan oleh orang-orang yang menghabisi nyawa temannya. Mencium aroma bubuk mesiu yang berasal dari peluru orang yang menyerang Arnold. Rasa penyesalan mulai menyelimuti dirinya. Andai saat itu ia segera mendatangi apartemen Arnold, bukannya sibuk mengantri membeli makanan untuk merayakan keberhasilan Arnold yang naik pangkat menjadi manajer di tempat kerjanya...
Andai saat itu ia memilih untuk mempercayai intuisinya yang mengatakan padanya ada sesuatu yang salah...
Andai saat itu ia menyadari ada yang salah dengan telepon dari Arnold yang menyuruhnya untuk tidak datang ke apartemennya, beralasan ada tamu lama yang berkunjung…
Suara Arnold yang terdengar aneh saat mengatakannya.
“Jangan ke sini dulu, Raymond. Tempatku...berantakan.”
Napasnya semakin sesak saat ia memikirkannya.
“Dah… Raymond…”
Kata-kata terakhir Arnold sebelum pembicaraan mereka terputus. Tubuhnya mulai menggigil, memikirkan gagasan yang muncul di pikirannya.
“Raymond?” Hazel kini menarik tubuh Raymond mendekat, “tenangkan dirimu, oke? Tarik napas perlahan. Semua baik-baik saja. Semua baik-baik saja…”
Hazel terus mengulang perkataannya seperti tengah merapalkan mantra. Perlahan, semua ingatan itu menghilang. Ia tidak lagi berada di apartemen Arnold. Tubuhnya penuh dengan keringat dingin, tapi setidaknya, ia tidak merasa sesak napas seperti tadi.
“Apa masih sesak?”
Raymond menggeleng. Dibantu oleh Hazel, ia kembali masuk ke dalam, menuju kursi sofa. Lalu tanpa bertanya apa pun, Hazel berjalan menuju dapur, meninggalkannya sendiri.
***
Raymond menyesap teh chamomile yang disiapkan Hazel untuk menenangkan pikirannya, bersama dengan roti bakar, telur orak-arik, bacon wortel, memunculkan aroma yang seharusnya mampu membangkitkan selera makannya. Sebaliknya, ia hanya memandang piringnya dengan tatapan lesu dan kembali menyesap tehnya hingga tersisa sedikit.“Apa makananku nggak enak?”Raymond menggeleng.
Raymond kembali ke apartemennya, disambut dengan tatapan tajam Hazel yang melihatnya basah kuyup. Setelah ia menangis dan merasa sedikit lebih baik, ia meninggalkan kedai kopi itu tanpa mempedulikan Martha yang bersikeras mengantarkannya pulang ke apartemen karena hujan deras. Ia berjalan menerobos hujan, tidak mempedulikan pakaiannya yang basah.“Masuklah,” Hazel berlari memasuki kamarnya, dan kembali dengan handuk bermotif panda di tangannya, menyodorkan padanya lalu berbalik memunggunginya. “Sebentar lagi buburnya matang.”“O-oke…” jawab Raymond, enggan. Ia ingin mengatakan kalau ia tidak selera makan, tapi ia urungkan karena merasa tidak enak pada Hazel yang pasti sudah susah payah membuatkan bubur untuknya. Hazel sama sek
Surga, ya?Apa saat ini ia sedang bermimpi? Tidur bersama dengan malaikat yang sudah ia incar selama dua bulan? Maksudnya, dengan Hazel yang tengah tertidur lelap dengan wajahnya yang seperti malaikat ini? Bukan, bukan. Hazel bukan seperti malaikat. Dia memang malaikat...Raymond segera menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Ia bisa merasakan wajahnya yang memerah karena teringat apa yang mereka lakukan tadi malam."Raymond..."Teringat akan suara Hazel yang terdengar seksi, setengah mendesah saat memanggil namanya dan menandai seluruh tubuh wanita
Begitu Raymond kembali ke apartemen, matahari sudah terbit. Hazel sudah pergi ke tempat kerjanya, karena ia tidak menemukan wanita itu di mana pun. Meninggalkan bubur yang sudah dingin dan beberapa obat yang harus ia minum di atas meja, lengkap dengan catatan di kertas Post It di atas tutup mangkuk bubur.Sudah kusiapkan bubur. Jangan lupa diminum obatnya.HazelIa menarik kertas itu dari tutup mangkuknya, menjejalkannya di dalam saku celananya. Memaksakan diri untuk membuka tutup mangkuk
Sudah dua minggu sejak insiden penyerangan itu terjadi. Lukanya sudah pulih seperti semula, dan tidak ada alasan baginya untuk tidak kembali bekerja di kafe Hazel, dan mendatangi rumah Thyme setelah waktu kerjanya di kafe ini selesai. Menjalankan dua pekerjaan sekaligus sangat sulit, sehingga harus ia akui, ia kagum pada Hazel yang bisa bekerja di dua tempat yang berbeda tanpa pernah mengeluh sedikit pun. Kalau dipikirkan lagi, ia sama sekali tidak pernah mendengar Hazel mengeluh soal pekerjaannya. Sulit untuk menggambarkan apakah Hazel benar-benar menikmati pekerjaannya atau tidak, karena wanita itu selalu memasang wajah lesu setiap kali berangkat ke tempat kerja, dan malah terlihat bersemangat setiap kali pulang kerja. Bahkan wanita itu menyempatkan diri untuk membawa pulang makanan-makanan manis yang wanita itu buat di waktu senggangnya saat kafe sepi untuknya. Selalu memastikan untuk memberitahunya bahwa semua ma
Raymond meletakkan dokumen terakhir di atas meja kerja Thyme, mendapati Thyme tengah tertidur lelap—entah sejak kapan—meniduri tumpukan dokumen yang seharusnya ditanda tangani anak itu.“Thyme?” Raymond mencoba membangunkan Thyme dengan mengguncangkan sedikit bahu Thyme. Gagal. Sekali lagi ia mencoba membangunkannya, dan syukurnya berhasil. Bisa repot kalau Thyme sampai tidak bangun juga, karena itu berarti ia harus mengorbankan jam pulangnya untuk menunggu hingga anak itu terbangun.“Ah, maaf ketiduran,” kata Thyme.“Tidak apa. Tapi sebaiknya kamu pindah ke kamarmu. Bakal sakit kalau tidur di sini.”
Raymond menghentakkan kakinya. Jemarinya mengetuk pahanya, mengenyahkan kegelisahannya sambil melirik ke arah Hazel yang sibuk menonton serial drama yang tidak ia kenal di saluran TV kabel. Wanita ini sengaja mengeraskan volume suaranya setiap kali ia mencoba untuk membuka percakapan, membuat suasananya menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat wanita ini marah padanya. Ia pikir, setelah kemarin malam ia meminta maaf, ia akan dimaafkan. Nyatanya tidak sesederhana itu. Lebih parahnya lagi, Hazel terus merespon singkat semua perkataannya. Semua upayanya agar Hazel tidak marah gagal total. Bukannya membaik, justru semua yang ia lakukan malah semakin memperburuk keadaan.Contohnya pagi ini. Karena hari ini hari libur mereka berdua, ia sengaja bangun lebih awal dari biasanya, meluangkan waktuny
Raymond berjalan gontai meninggalkan rumah kediaman Umberbridge. Seluruh tubuhnya gemetar akibat kilas balik ingatannya yang masih tidak sanggup ia hadapi. Berada di samping Amanda yang justru mengingatkannya akan Arnold karena kemiripan wajah dan gerak-gerik mereka semakin memperparah gejala PTSD-nya. Ia tahu, cepat atau lambat, keadaannya akan semakin memburuk jika ia terus membiarkannya. Psikiater yang menanganinya dulu juga sudah mengingatkan resiko yang akan ia hadapi jika ia menghentikan sesi terapinya di pertengahan. Tapi, apa dia punya pilihan, sementara kini ia mengetahui bahwa adik mendiang temannya berada dalam bahaya? Kondisinya benar-benar terjepit. Setidaknya, ia menganggap apa yang ia lakukan sekarang bagian dari upayanya untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat. Dadanya terasa nyeri, sampai ia memukul dadanya agar rasa nyerinya hilang. Rasa sakit menghantam nyaris