Raymond menghentakkan kakinya. Jemarinya mengetuk pahanya, mengenyahkan kegelisahannya sambil melirik ke arah Hazel yang sibuk menonton serial drama yang tidak ia kenal di saluran TV kabel. Wanita ini sengaja mengeraskan volume suaranya setiap kali ia mencoba untuk membuka percakapan, membuat suasananya menjadi lebih canggung dari sebelumnya. Ia tidak mengerti apa yang membuat wanita ini marah padanya. Ia pikir, setelah kemarin malam ia meminta maaf, ia akan dimaafkan. Nyatanya tidak sesederhana itu. Lebih parahnya lagi, Hazel terus merespon singkat semua perkataannya. Semua upayanya agar Hazel tidak marah gagal total. Bukannya membaik, justru semua yang ia lakukan malah semakin memperburuk keadaan.
Contohnya pagi ini. Karena hari ini hari libur mereka berdua, ia sengaja bangun lebih awal dari biasanya, meluangkan waktuny
Raymond berjalan gontai meninggalkan rumah kediaman Umberbridge. Seluruh tubuhnya gemetar akibat kilas balik ingatannya yang masih tidak sanggup ia hadapi. Berada di samping Amanda yang justru mengingatkannya akan Arnold karena kemiripan wajah dan gerak-gerik mereka semakin memperparah gejala PTSD-nya. Ia tahu, cepat atau lambat, keadaannya akan semakin memburuk jika ia terus membiarkannya. Psikiater yang menanganinya dulu juga sudah mengingatkan resiko yang akan ia hadapi jika ia menghentikan sesi terapinya di pertengahan. Tapi, apa dia punya pilihan, sementara kini ia mengetahui bahwa adik mendiang temannya berada dalam bahaya? Kondisinya benar-benar terjepit. Setidaknya, ia menganggap apa yang ia lakukan sekarang bagian dari upayanya untuk menebus kesalahan yang telah ia perbuat. Dadanya terasa nyeri, sampai ia memukul dadanya agar rasa nyerinya hilang. Rasa sakit menghantam nyaris
Raymond bisa merasakan seluruh tubuhnya yang seakan membeku. Ingin rasanya ia berlari menghindari orang-orang berpakaian resmi yang dari perawakannya bukan orang biasa, menghindari semuanya. Serangan panik yang tadi ia alami itu sudah menghabiskan seluruh energinya. Tapi di belakangnya ada Edward, dan ia tidak ingin manajer kafe yang tidak tahu apa-apa itu terlibat dalam urusannya. Ia menelan ludah. Ya, tidak ada cara lain selain menghadapi orang-orang ini, dengan kemungkinan menangnya hanya tiga puluh persen berdasarkan dari observasinya akan kemampuan orang-orang ini. Ia mendekat ke arah Edward yang berdiri di belakangnya, terlihat sedikit cemas.“Dengar. Dalam hitungan ketiga, lari dari tempat ini. Mengerti?”“Terus kamu?”
“Apa ada yang salah, mengantarkan karyawanku pulang ke rumahnya saat kondisinya sedang tidak baik, Nona Hazel Skylar?”“Nggak. Justru aku minta maaf karena sudah mengorbankan waktu Anda yang berharga, Manajer.”“Aku sama sekali nggak merasa repot, kok.”Sampai kapan mereka akan terus berdebat di depan gedung apartemen? Ia mulai gelisah. Bagaimana tidak, lima belas menit berlalu sejak Edward mengantarkannya pulang dengan taksi dan tiba di depan gedung apartemennya, di mana ia mendapati Hazel berdiri di depan pintu masuk gedung apartemen sambil menggosok kedua tangannya untuk menghalau hawa dingin. Lalu begitu wanita itu melihat ia pulang bersama Edwa
Raymond menutup berkas terakhir yang diberikan Thyme padanya sambil merenggangkan tubuhnya yang kaku karena terus duduk di kursi selama hampir enam jam. Matanya terasa perih akibat terus membagi konsentrasinya membaca berkas cetak dengan layar komputer di meja kerjanya. Ia menoleh, mendapati atasannya tampak sedang menikmati permen lolipopnya yang ukurannya sudah mengecil seperti anak balita sambil memandangi layar komputernya dengan antusias, seakan anak itu bukan sedang mengerjakan pekerjaannya, namun asyik bermain gim. Ia beranjak dari kursinya, menghampiri meja Thyme.“Sudah selesai?” tanya Thyme, kembali menikmati permennya.Raymond mengangguk.
Raymond mendongak, duduk di sandaran taman kota sambil memandang langit kota Cirillo yang dipenuhi awan putih. Butiran-butiran salju turun perlahan seperti kapas-kapas kecil, menutupi jalanan kota Cirillo. Matanya lalu tertuju pada seorang petugas yang setiap tiga jam sekali akan muncul untuk membersihkan sisa-sisa salju itu agar tidak mengganggu pengguna jalan, menggunakan alat pengangkut salju yang ukurannya setinggi orang dewasa. Ia tidak tahu bagaimana cara kerja alat itu, karena ukurannya yang ramping itu sanggup menelan banyak salju setiap kali hisap. Seperti lubang hitam di antariksa. Pria petugas kebersihan yang ia lihat sekarang memasang wajah datar sambil bersenandung saat menggerakkan alat itu untuk menghisap salju, tampak tidak peduli bahwa ia tengah mengamatinya. Kemunculan pria itu membuatnya sadar bahwa ia sudah menghabiskan waktunya di taman kota yang sepi itu selama enam jam.
Iya.Kemarin malam ia memang mengatakannya dengan lantang, meminta izin pada Edward agar membiarkan tinggal di apartemen pria itu. Ia butuh distraksi, setidaknya agar perasaannya pada Hazel benar-benar lenyap. Melupakan sejenak alasan kedatangannya ke kota Cirillo. Dan ia pikir, Edward bisa membantunya untuk membuat pikirannya teralih. Lalu keesokan harinya ia akan kembali menjalani aktivitasnya seperti biasa dengan beban masalahnya yang separuhnya terangkat. Walaupun Edward setuju membiarkannya menginap, namun pria itu sama sekali tidak berusaha untuk melakukan apa pun padanya, karena begitu mereka tiba di apartemen Edward, pria itu terus diam. Berbicara singkat padanya, lalu membuka matras cadangan yang disimpan di dalam lemari pakaian dan membiarkan ia tidur di tempat tidur Edward sementara pria itu tidur di matras. La
Raymond menjejalkan ponselnya ke dalam saku mantelnya setelah menerima pesan dari Thyme yang memberinya kesempatan untuk libur hari ini karena Verdict sudah mengurus segalanya. Di saat ia menginginkan distraksi, orang-orang di sekitarnya malah tidak memberinya kesempatan. Menyuruhnya untuk beristirahat—sesuatu yang dulu ia suka tapi kini ia benci. Justru di saat seperti ini, yang ia butuhkan itu kesibukan, agar pikirannya teralih walau hanya sesaat. Raymond mendesah panjang, lalu menutup lemari pakaiannya dan berjalan keluar dari ruang karyawan di kafe tempatnya bekerja. Jam kerjanya di tempat ini juga sudah selesai. Tidak mungkin ia meminta Edward untuk menambah jam kerjanya, karena sudah ada beberapa orang baru yang dipekerjakan oleh Edward, sehingga pilihan itu mustahil baginya.Sempat ia mengajak Mike yang biasa
Raymond menghisap rokoknya dalam-dalam, hingga memenuhi rongga paru-parunya, lalu mengembuskan asap rokok itu ke udara, yang segera menyatu dengan udara dingin kota Cirillo. Dari tempatnya berada saat ini—di balkon tempat ia biasa merokok, tampak gunungan salju yang menumpuk menutupi atap rumah penduduk dan beberapa fasilitas umum, sementara gedung perkantoran sama sekali tidak terganggu oleh salju karena memiliki fitur pembersih salju otomatis yang juga tidak ia ketahui bagaimana cara kerjanya. Ia hanya mendengarnya dari Rachel kemarin, saat ia terpaksa mengajak Rachel dan teman-temannya untuk makan di restoran setelah ia meninggalkan Martha. Di luar dugaan, Rachel tipe yang sangat tertarik dengan arsitektur dan teknologi, sehingga wanita itu menjelaskannya penuh antusias, dengan bahasa yang sederhana namun tetap sulit ia mengerti.