Share

Kecewa

Bukannya melajukan mobilnya ke jalan pulang. Pasha malah mengarahkan kendaraanya ke daerah setu babakan. Karin yang sejak tadi diam, sontak bertanya. "Ngapain kesini? Katanya kamu tadi buru-buru karena ada meeting dadakan." 

"Aku mau ngajak kamu makan disini. Biarin lah, kan aku bos-nya." Karin seketika memutar bola mata malas ketika Pasha bicara demikian sambil cengengesan. 

"Aku pingin makan di rumah aja."

"Udah terlanjur kesini, ya harus temenin aku makan lah." 

"Idih ... pasti maksa."

"Biarin, kamu sebenernya suka, kan?" 

Pasha tersenyum karena merasa menang dan membuat Karin mau menuruti keinginannya lagi. 

Pasha memarkirkan kendaraan dan segera turun. Dengan sangat terpaksa Karin turut mengekor di belakangnya. Sebenarnya Karin benci tempat ini. Karena itu akan mengingatkannya pada seseorang. Cowok dari masa lalu yang membuat tikaman terdalam di hatinya. 

Dada Karin tiba-tiba bergetar saat menatapi tempat duduk yang akan mereka duduki. Pasalnya di sanalah semua kenangan indah, sekaligus menyakitkan itu bermula. 

"Hei ... kok bengong. Ayo duduk sini. Apa perlu duduk di pangkuan aku?" Ucap Pasha yang seketika membuyarkan lamunan Karin. 

"Apaan sih, modus mulu, deh." Karin cemberut dan segera mendaratkan pantatnya di bangku panjang kayu itu. 

Bir pletok, kerak telor, selendang mayang, hingga soto betawi tersedia di sana. Pasha memperhatikan Karin yang begitu menikmati soto betawinya. Pasha memberikan tetelan daging ke mangkuk Karin. Gadis itu akhirnya menoleh. "Kenapa di kasih ke aku? Enggak suka?" 

"Buat kamu aja, aku senang liat kamu makan banyak gitu." 

Karin mendengus. "Huh ... enggak usah ngerayu, enggak mempan." 

"Udah dong, jangan marah-marah mulu, emang kamu enggak capek apa? Aku kangen kamu tau."

"Kangen kenapa?" 

"Kangen kamu yang dulu, enggak suka marah-marah kayak gini. Kangen mesra-mesraan sama kamu juga." Pasha melebarkan senyum inocent-nya.

Karin melengos tak peduli. "Huh ... maunya." 

"Jangan marah lagi dong, yang tadi cuma becanda kok. Aku tuh beneran kangen sama kamu, kangen senyum kamu, segala candaan kamu, kamu inget enggak? siapa duluan yang mulai deketin aku? Kamu duluan kan?" Pasha menatap Karin, berharap gadis di hadapannya itu bisa mengintip ke dalam hatinya dan mengetahui kalo saat ini dirinya sedang berkata serius. Dia sedang rindu dengan gadis itu. "Kalo alasan kita putus hubungan hanya karena masalah kemarin, aku rasa itu enggak adil buat kita, Karin."

Karin segera menghindari tatapan Pasha dan menikmati soto betawinya dalam diam. Seusai menyantap kuliner, Pasha mengajaknya naik ke perahu naga. "Dulu, juga pernah ada cewek yang aku ajak kesini. Dan aku ajak naik perahu ini juga."

"Cie ... terus? Kamu lagi inget mantan gitu." Sahut Karin pura-pura tak peduli. Sedangkan Pasha hanya tersenyum simpul.

"Cie ... ada yang cemburu, tapi enggak mau bilang."

"Dih ... GR, siapa yang cemburu!" Karin mendengus dan membuat Pasha semakin ingin menggodanya. 

"Enggak apa kali kalo cemburu, kamu kalo suka aku, ya bilang aja. Enggak usah pake malu-malu gitu."

"Dih ... Ogah, cewek kamu aja banyak."

"Masih aja itu yang di bahas."

"Denger, ya, Pasha. Enggak ada satu cewek pun yang mau di duain, di tigain, apalagi di limain. Cewek itu pasti pingin cuma dia yang ada di hati pasangannya. Sedangkan aku, aku enggak yakin sama kamu bisa ngelakuin itu. Jadi, sebelum aku terlanjur jatuh hati dan akhirnya patah hati lebih dalam. Lebih baik hubungan kita yang enggak jelas ini berakhir aja sampai di sini."

"Kamu kenapa sih keras kepala banget, ya emang aku deket sama banyak cewek, tapi aku ngerasa nyaman cuma sama kamu."

"Udah, deh, Pasha. Stop buat ngeyakinin aku. Aku tuh orangnya posesif, cemburuan. Jadi aku enggak mau nyakitin diri aku sendiri dengan punya hubungan sama kamu. Ngerti enggak sih?" 

Pasha terdiam dan hanya bisa membatin. Kenapa Cewek yang ada di hadapannya ini begitu rumit dalam berpikir. Harus nya suka ya suka. Tinggal jalanin saja. Masalah patah hati urusan belakangan. Kenapa Karin selalu memikirkan segala sesuatunya. Bukankah patah hati sudah menjadi resikonya jika dua orang menjalin sebuah hubungan cinta.  

Tapi Karin malah memilih jalan yang berbeda, ia ingin dekat tapi tanpa ikatan dan perasaan. Dia pikir itu mudah. Tetap saja kan, jika benih-benih cinta itu tumbuh di hatinya seiring berjalanya waktu, perlahan luka juga akan turut menyusup dalam hatinya. Kenapa Karin tak memilih melewatinya saja dan memperjuangkan perasaan itu bersama-sama. Pasha benar-benar tak habis pikir dengan jalan pikiran Karin. 

"Pasha ...." Karin membuka suara, pria di hadapannya pun langsung mendongak menatapnya. "Kamu ingat enggak? Apa yang pernah kamu bilang ke aku dulu. Padahal dulu aku yang sering godain kamu, terus kamu ingetin aku kalo hidup ini bukan soal cinta-cintaan aja. Dan kamu nyuruh aku fokus untuk menata masa depan aku. Tapi sekarang, kenapa kamu malah kayak gini ke aku? Di saat aku ingin berjuang, di saat aku ingin mulai mengepakkan sayapku yang udah patah ini. Tapi kamu malah ingin patahin lagi. Emang kamu seneng? Kalo liat aku udah mulai baper sama kamu, terus kamu bisa dengan mudah nyakitin aku seenaknya. Terus aku terpuruk lagi. Apa kamu pingin aku kayak gitu?" 

Mata Pasha sontak terlihat berpikir. Kemudian menggeleng ragu. "Aku enggak bermaksud begitu. Aku cuma enggak pingin kita berhenti berhubungan, itu aja."

"Oke ... tapi aku cuma pingin kita temenan biasa aja. Kita saling jaga jarak." 

"Kenapa?" Pasha seolah belum ingin menyerah.

"Karena ini cuma cara satu-satunya buat ngelindungin perasaan aku sendiri, supaya enggak terlalu berharap."

"Kalo gitu kita mending enggak usah punya hubungan sama sekali."

"Enggak apa-apa, itu lebih bagus." Pasha terhenyak, dia tidak menyangka Karin akan setuju begitu saja dengan usulnya. 

Pasha tak bisa menurunkan ego nya lebih rendah lagi. "Oke ... kalo gitu. Nanti aku bakal blok semua sosmed kamu. Anggap aja kita enggak pernah kenal."

Karin menggigit bibir bawahnya sedikit khawatir. "Yaudah, terserah!" Keadaan pun mendadak hening. Mereka hanya saling diam dalam pikiran mereka masing-masing. 

Ponsel Pasha berdering, saat cowok itu kembali mengayuh perahu naganya. Dia segera merogohnya di dalam saku celana dan melihat ada panggilan telepon dari Andrea. Pasha mendesah panjang dan kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Kenapa enggak di angkat? Siapa tahu penting." Karin menyadari kegelisahan Pasha dan membuat Pasha mau tidak mau akhirnya mengangkat panggilan teleponnya. 

"Halo ... udah aku bilang kan, nanti malem aku pasti dateng, kenapa masih nelpon juga?"

Mendengar Pasha bicara di telepon, Karin segera membuang muka dan menggeleng miris. Baginya, pria playboy akan tetap menjadi pria playboy. Baru saja tadi Pasha berusaha meyakinkannya, tapi sudah ada wanita lain yang menghubunginya. Itu lah sebabnya Karin tidak mau menjalin hubungan yang lebih dari teman dengan pria itu. Atau dia akan makan hati setiap harinya. Karin bukanlah type wanita yang memandang segala sesuatu dari perasaanya saja. Tapi pengalaman pahit telah mengajarinya, untuk melihat segala sesuatunya bedasarkan pertimbangan logika. Untuk mengantisipasi rasa sakit hati yang bisa saja terjadi. Tekadnya sudah bulat, hidupnya bukan lagi untuk cinta, dia harus membuang seluruh perasaanya itu demi sebuah impian. 

"Udah, enggak apa-apa kalo kamu mau nemuin cewek itu sekarang. Aku bisa pulang naik ojek online, kok." Karin berkata dengan nada sebiasa mungkin. Sedangkan Pasha berharap gadis itu mau menunjukkan rasa cemburunya. Pasha yang merasa keki akhirnya mengangguk setuju. 

"Sebenernya, perasaan kamu ke aku itu gimana sih, Karin?" Pasha terus bertanya-tanya dalam hatinya sembari memandangi wajah Karin yang tampak santai melambaikan tangan mengiringi kepergiannya. "Aku harus ngapain lagi supaya kamu yakin sama aku?" Pria itu akhirnya menghilang dari pandangan Karin dengan perasaan kecewa yang ia pendam sendiri. 

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status