Share

Sedih

Karin membuka pesan di ponselnya sesampainya di rumah. Seperti ada yang kurang. Tak ada satupun notif pesan dari Pasha. Bahkan bekas chat dirinya dan Pasha sudah bersih semua. Dan lebih parahnya lagi. Pria itu memblokir semua akun sosial medianya. Dan hanya ada satu pesan tersisa di What sapp. Sepertinya itu pesan terakhir sebelum akun-nya benar-benar di block.

"Aku seorang yang kejam soal perasaan. Aku pikir selama lima bulan ini cukup untuk aku bersabar. Menghadapi sikap egois kamu, moody-an kamu. Tapi kali ini tidak lagi. Terserah kalo kamu enggak bisa percaya sama aku lagi. Terserah kalo mau anggep aku cowok playboy atau apalah. Aku udah enggak peduli. Aku cuma mau bilang sama kamu. Kalo cara kamu kayak gitu terus. Selamanya kamu akan tetap sendirian. Udah, itu aja. Nanti kalo pun kita enggak sengaja ketemu di jalan. Aku juga akan pura-pura enggak kenal sama kamu. Dan jangan salahin aku kalo aku beneran lupain kamu, mungkin saat itu aku udah sama yang lain. Selamat tinggal, makasih untuk 5 bulan terakhir yang menyenangkan ini. Tapi kenyataanya kita memang harus berakhir sampe disini." 

Karin langsung terduduk di sofa setelah membaca pesannya. Hatinya sedikit bergejolak. Seperti ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Karin menepuk jidatnya sendiri seolah meratapi kebodohannya. Ia ingin membalas pesan itu dan menjelaskan semuanya, tapi itu tidak mungkin lagi. 

"Bodoh... bodoh ...." Rutuknya berkali-kali pada dirinya sendiri. 

Nyatanya, ia sebenarnya tak siap jika harus berpisah dengan Pasha secepat itu. 

Menurut Kubler-Ross, seorang dokter psikolog menyebutkan bahwa ada 5 tahapan manusia dalam menghadapi kesedihannya. Pertama, tahap Denial, fase awal dari sebuah penolakan atas kondisi yang terjadi. Kedua Anger, timbul kemarahan. Ketiga-bergaining, tawar menawar, timbul tanya dalam dirinya, kenapa terjadi pada dirinya, kenapa bukan pada orang lain? Ke-empat Depression atau frustasi. Kelima Acepptionce (penerimaan). Dan Karin masih ada pada tahap pertama. 

Masih meyakini dirinya sendiri bahwa semuanya tidak nyata. Hubungannya pasti masih baik-baik saja. Keesokan paginya ia terbangun dengan mata sembab, berniat mengetik sebuah chat.

"Pagi ... bangun ... bangun udah si--" 

Jari-jari Karin berhenti mengetik, menyadari sebuah kenyataan yang menamparnya dengan telak. Bahwa semua itu tak mungkin di lakukannya lagi. Karin memilih kembali bergelung di bawah selimut. Membenamkan wajahnya sendiri di bantal dan mulai terisak. Sampai-sampai ia tak ingin mempedulikan Tante Ria dan Sisil yang berteriak di bawah sana mencoba membangunkannya. Rasa sesal dan sakit seolah-olah bertubi-tubi menghantam hatinya. Padahal ia sudah mencegah perasaannya pada Pasha tumbuh. Tapi justru saat pria itu pergi darinya, ia seolah baru menyadari. Kenapa harus sesakit ini jika memang tidak cinta?

Karin benci jika harus merasakan seperti ini lagi. Harus mulai dari awal untuk bisa membuatnya langsung ada di tahap 5, Acceptionce. Pasti itu sulit. 

Semakin Karin ingin berpura-pura baik-baik saja. Ingatannya tentang kebersamaanya dengan Pasha malah makin bermunculan. Membuat Karin semakin tak berdaya. Seolah di manapun Karin berada. Bayangan Pasha selalu muncul di benaknya. 

Di hari kedua, semua masih terasa berat untuk Karin. Rasanya ini benar-benar sama seperti saat ia di tinggal orang tuanya lima tahun lalu. Dan sama seperti saat Agil mantan kekasihnya selama dua tahun memutuskannya tanpa sebab tepat di hari dua tahun mereka jadian. 

Sisil yang merasa khawatir dengan keadaan Karin pun akhirnya menemukan ide. Dengan kunci cadangan ruko yang pernah Karin berikan padanya. Akhirnya gadis yang lebih muda dua tahun darinya itu berhasil masuk ke dalam. 

"Kenapa Lo! Woi, Kak. Kenapa Lo?" 

Karin melirik jaket Pasha yang masih tertinggal di rumahnya. Dan segera meraihnya dan memukuli jaket itu sebagai pelampiasan. "Dasar resek, dasar bajingan," Katanya di ikuti uraian air mata. "Dia ninggalin gue, Sil!" 

Sisil menghembuskan nafas, kemudian turut duduk di sisi Karin. "Makanya,enggak usah pacaran, ribet kan? Mending kayak gue, single, jadi enggak perlu takut ada yang bikin patah hati. Lo tahu enggak kenapa sekarang Lo sedih? Karena Lo udah menggantungkan kebahagiaan Lo ke dia. Jadi pas dia pergi. Lo ngerasa sedih. Coba ngaca deh kak. Ekspresi Lo jelek banget tau!" Ejek Sisil yang memang suka bicara apa adanya.

"Aku enggak pacaran kok sama dia. Aku udah tahan mati-matian perasan aku supaya enggak ada keinginan untuk memiliki. Dan aku enggak tau kenapa jadinya malah kayak gini." Dada Karin benar-benar terasa sesak sekarang.

"Lah ... Aku kira kakak Pacaran sama dia. Ternyata belum. Itu namanya Kakak udah Baper sama dia. Tapi kakak enggak ngaku. Ribet banget. Terus kenapa tiba-tiba dia ninggalin Kakak?" 

Karin terdiam. Ia seolah tak ingin menjawab pertanyaan Sisil, dia terlalu malu untuk mengakui semua yang ia rasakan. 

***

Lima bulan yang lalu ...

Karin sedang berada di sebuah pusat perbelanjaan untuk membeli bahan kebutuhan membuat kue. Saat itu ia meletakkan keranjang belanjanya dan melangkah sedikit lebih jauh untuk mengambil sesuatu yang ia butuhkan. Dan saat ia hendak kembali. Ia melihat keranjang belanjaannya sudah tidak ada di tempat. Dia malah menemukan keranjang lain yang isinya jelas bukan miliknya. Kemudian ia mengedarkan pandangannya, seorang cowok dengan kemeja hitam di ujung lorong terlihat sedang mendorong keranjang belanjaan miliknya. Karin pun buru-buru mengejar dan ingin memberitahukan bahwa keranjang belanjaan mereka mungkin tertukar. 

"Mas ... mas ... tunggu!" Teriak Karin dan membuat cowok itu menoleh. "Keranjang kita ketuker deh kayaknya." Cowok itu pun langsung menepuk jidatnya sendiri saat menyadari yang di katakan Karin benar.

"Maaf ... ya, aku enggak perhatiin tadi." 

Karin mengangguk canggung. "Iya enggak apa-apa, kok." Dalam benak Karin saat itu, bahwa cowok di hadapannya itu lumayan keren juga. Akhirnya ia memberanikan diri untuk berkenalan. "Hai ... Aku Karin, kamu siapa?" Tangan Karin terulur di iringi senyum lebar yang menawan. 

Cowok di hadapannya tanpa ragu turut menjabat tangannya. "Aku, Pasha." 

Di tiga detik pertama, Karin sudah merasa cocok dengan Pasha. Akhirnya ia mencari cara bagaimana caranya agar obrolan mereka tetap berlanjut. Ternyata benar, Pasha seorang yang suple dan menyenangkan. Mereka pun lanjut makan bersama siang itu. Sampai pada akhirnya tukeran nomer handpone, meski tanpa rasa malu Karin yang memintanya duluan pada Pasha. 

Hubungan mereka pun berlanjut. Mereka jadi sering teleponan, chatingan dan ketemuan. Hubungan emosional mereka semakin hari terjalin semakin dekat. Hingga pertengkaran hebat itu terjadi dua hari yang lalu. Dan sekarang Karin menyesali tindakannya yang seolah keras kepala. Ia ingat betapa dulu ia yang sering menggoda Pasha. Dulu semuanya terasa manis. Namun kenapa sekarang semuanya seolah terasa pahit. 

BERSAMBUNG.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status