Share

Gratitude the opposite

"Kau perlu belajar menahan emosimu," komentar Annette datar setelah cerita selesai. Gadis enam belas tahun itu kembali berkutat pada game di komputer.

"AISH!"

Lemparan bantal tepat sasaran mengenai belakang kepala Annette membuat gadis itu berbalik lagi sembari menggaruk rambut ikal warna coklat gelap kebanggaannya.

"Annette lebih baik kau diam saja dari pada membuat Rosie semakin panas." hardik Claire melirik tajam. Dan, mau tak mau Annette kembali diam, padahal isi otaknya sudah menyusun kalimat untuk menyemprot Rosie. 

"Sudahlah, memang kebanyakan orang kaya seperti itu. Suka seenaknya dan memaksakan kehendak semua orang lain. Mentang-mentang berkuasa. Kamlu jangan terkejut, Rosie. Jika, mereka macam-macam padamu lagi, beri tahu aku. Biar Edward dan kekasihnya menjadi urusanku." Claire kompor mode on. Maka dari itu, Claire dan Rsoie itu cocok sampai ke DNA, cara berpikirnya persis sama.

"Claire, kau memang sahabat sejatiku. Aku menyayangimu." Dua gadis itu berpelukan erat, pipi mereka menempel seperti sandwich.

Di sisi lain, Annette memutar bola matanya sambil geleng kepala. Annette memang punya kepribadian l yang bertolak belakang bila dibandingkan dengan Rosie dan Claire. Annette lebih pendiam, cuek, dan walaupun ia yang paling muda, Annette adalah yang paling bijaksana dan dewasa di antara ketiga sahabat. Sedangkan Rosie dan Claire berbagi sel otak yang sama. Cerewet, kekanakan, egois, labil, kadang berpikiran pendek, intinya sifat yang umum di miliki anak remaja seusia mereka.

Claire dan Rosie berteman sejak sekolah menengah pertama, itu sebabnya mereka sangat dekat. Seperti soulmate. Sedangkan Annette baru dua tahun ini melengkapi kelompok itu.

Waktu itu tahun ajaran baru dimulai. Annette adalah murid program kelas akselerasi saat sekolah menengah pertama, makanya ia yangnusianya lebih muda setahun bisa satu tingkat dengan Rosie dan Claire. Namun karena Annette tidak punya teman di SMA Nusa, karena ia pindahan dari kota Bali, ada beberapa murid nakal yang merundungnya. Annette juga berasal dari keluarga yang cukup berada, jadilah dia sasaran sempurna para pem-bully.

Untung Rosie dan Claire melihat ketika Annette dikeroyok lima orang kakak kelas di belakang gedung sekolah. Dua gadis itu berteriak minta tolong dan mengundang guru yang sedang berjaga. Sejak saat itu mereka jadi dekat dan akrab seperti sekarang.

"Agar kau tidak kesal lagi bagaimana kalau kita makan lalu pergi menonton di tempat biasa?"

Claire menaik turunkan alisnya sambil pasang cengiran konyol. Dia tau ekspresi itu selalu bisa menaikkan mood Rosie.

"Aku mau, tapi aku juga bosan. Minggu kemarin kita sudah pergi ke sana. Cari tempat lain saja." protes gadis itu dengan bibir nge-pout.

Tempat yang Claire maksud yakni Mall Of Indonesia yang letaknya memang dekat dengan apartemen Bambam. Mereka hampir selalu datang ke sana kalau sedang ada waktu luang atau bosan. Minggu kemarin juga, Rosie dan Claire sarapan di sana sebelum berangkat kerja bersama.

"Minggu kemarin kapan?" tanya Annette penasaran. Kenapa dua gadis itu main tanpa mengajaknya?

"Sabtu kemarin." jawab Youngjae keceplosan. Lupa, kalau harusnya Annette tidak tahu acara tujuh hari lalu.

"Sabtu? Bukannya kau ada pertemuan keluarga sabtu kemarin? Claire juga ikut audisi, kan?" Annette makin penasaran bercampur curiga. Gadis jangkung itu menggeser kursi beroda mendekat pada kasur, memicingkan mata sipitnya untuk menelisik dua gadis lebih jauh.

Rosie dan Claire membeku sejenak. "M-memangnya tidak boleh kita makan bersama lebih dulu sebelum aku ke tempat audisi dan Rosie ke pertemuan keluarga? Annette, kau ini tidak percaya sekali? I-iya, kan, Rosie?" Claire menyilangkan telunjuk dengan jari tengahnya di balik selimut.

"Betul. Atau kau cemburu karena tidak diajak?"' sahut Rosie masih gemetar, gugup.

"Maaf, Annette,' batin dua gadis itu bersamaan.

Mahluk paling tinggi di kamar itu kembali ke tatapannya yang biasa sembari angkat bahu, "Ah, tidak. Aku kan hanya bertanya. Lagi pula tingkah kalian itu mencurigakan."

"Ya sudah kita berangkat sekarang saja, masih siang." Claire bangkit dari kasur, menarik Rosie juga untuk beranjak.

***

"Tenang saja, Edward. Aku tidak apa-apa." Ujar Alice untuk yang ketiga kali.

Edward masih memancarkan kecemasan sambil memandangi perban di lengan kekasihnya. Meskipun luka Alice sudah diobati, rasa bersalah karena insiden tadi

siang masih menghantui Edward. Biar

bagaimanapun Rosie adalah calon adik tiri Edward, memang belum resmi, dan ia merasa harus bertanggung jawab.

"Tetap saja, Alice. Aku takut lukanya akan berbekas." Keluh pemuda berbahu lebar yang kini berjalan dengan bahu menunduk.

"Dokter bilang karena segera diobati tidak akan ada bekasnya, kok. Kau jangan khawatir. Ini juga bukan salahmu." Alice tersenyum manis seraya mengusak rambut Edward untuk meyakinkan pemuda itu.

Mereka masih berjalan pelan keluar dari klinik tempat mengobati luka Alice.

"Aku yang salah. Harusnya aku tidak memaksa Rosie. Mungkin, ia masih kurang nyaman denganku, kan kami baru bertemu. Lain kali, aku akan lebih memahami perasaanya. Jangan khawatir." sambung Alice lagi karena melihat Edward masih lesu.

Edward tersenyum penuh syukur karena memiliki kekasih yang pengertian seperti Alice. Gadis itu seperti malaikat yang datang untuk menjaganya. Alice hadir di hidupnya membawa cahaya, menerangi sekaligus menghangatkan hatinya yang dingin dan gelap. Edward sungguh berterimakasih karena Alice sudi menerima lelaki serba berkekurangan seperti dirinya menjadi pendamping.

Alice merasakan jemari Edward terpaut dengan miliknya. Ia tersenyum malu kala Edward menariknya mendekat untuk menyandarkan kepalanya di sisi kepala Alice. Perbedaan tinggi mereka memang tidak terlalu jauh.

Sang pemuda dengan manik hitam kelam berpaling, menatap Alice ketika perempuan itu juga menoleh padanya. Ia mencium punggung tangan Alice, menghasilkan kikikan kecil dari gadis itu.

"Terima kasih, Alice. Kau terlalu baik." desahnya sambil tersenyum. 

Alice menggeleng pelan,"It was nothing, Edward. All I did because I loved you."

"Aku mencintaimu. Sangat."

"Tapi kenapa kau masih cemas?" begitulah perempuan. Bisa membaca perasaan orang yang dicintai dengan mudah. Bahkan ketika orang yang bersangkutan tidak menyadari apa yang dia rasa, insting perempuan selalu bisa menemukan kebenaran.

Kali ini pun Alice tepat. Edward masih memikirkan, meski ia berusaha melupakannya, Rosie. Gadis itu langsung pergi begitu saja setelah mengganti gaun dengan baju miliknya. Tanpa kata keluar dari butik dan menghilang. Edward bingung kemana harus mencari bocah pemarah itu.

Saat mereka berangkat Edwardlah yang menjemputnya, maka ia pula yang harus mengantarnya pulang dengan selamat. Pesan dari Bibi Eliza tadi siang juga membayangi benaknya. Ia merasa tidak sopan jika sampai Bibi Eliza tahu Rosie pulang sendiri. Ia tidak mau timbul ketidaknyamanan di keluarganya lantaran insiden ini. Ia benci menciptakan masalah untuk Ayah yang sudah begitu baik membesarkannya.

"Rosie?" tebak Alice ketika Edward hanya diam membisu.

Si gadis berambut panjang melihat sang kekasih mengangguk pelan, matanya masihbmenunduk takut, entah takut pada apa.

"Sekarang kau pergi cari Rosie." Edward lantas langsung mendongak untuk menatap Alice tidak percaya. Benarkah apa yang baru saja pendengarannya tangkap?

"Kau harus cari Rosie dan antar dia pulang. Aku akan pulang naik taksi dari sini." tutur Alice mulai melangkah ke depan untuk mencari taksi.

"Terima kasih, Alice." 

Edward menghentikan langkah Alice, memeluk gadis bertubuh langsing itu sebentar, lalu berlari kecil menuju parkiran.

Si gadis termenung. Memandang nanar pada satu-satunya orang yang ia cintai seumur hidupnya. Memperhatikan tubuh tegap itu menjauh pergi, mengecil, semakin jauh, dan menghilang di antara mobil yang berbaris rapih. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status