"Seminggu. Ada apa?"
"Berarti satu minggu ini kau hanya berdua dengan kakakmu itu dong?" Claire menampilkan wajah mesum yang membuat Rosie ingin mencekik gadis itu.
"Iya. Terus?" Rosie mengangkat alis.
"Tidak, hanya bicara. Kakak tirimu sangat tampan, awas suka."
"Tidak akan pernah."
Nampaknya Claire belum mengerti juga bahwa Rosie sangat, amat membenci Edward Quin. Rasa bencinya hingga ke sumsum tulang. Segala sesuatu yang ada pada pemuda itu ia benci. Ketampanannya yang selangit juga tidak bisa menawar rasa benci Rosie.
Pokoknya Rosie sangat benci pemuda yang bernama Edward Quin.
***Kedua sahabatnya pulang sekitar dua jam kemudian. Rosie baru kembali dari ruang tamu setelah mengantar mereka ke pintu depan. Suasana rumah sangat sepi. Jelas saja. Hanya ada dirinya dan Edward yang sejak tadi tidak kehilatan batang hidungnya.Ibu Rosie memang bersikeras mengerjakan semua pekerjaan rumah sendiri. Memang akan ada Bibi Tuti yang membantu, tapi wanita paruh baya itu hanya datang seminggu dua kali. Kalau taman, dikerjakan oleh Paman Edy yang juga hanya datang seminggu dua kali.
Rosie mendengar derap langkah kaki seseorang. Pasti Edward. Pemuda itu masuk ke ruang tamu. Menatap Rosie dengan tatapan misterius. Lalu berkata, "Kita harus bicara." Dia berbalik, melangkah ke ruang keluarga tanpa menunggu Rosie.
Mereka sudah di ruang keluarga. Edward duduk di single sofa dan memberi sinyal untuk Rosie juga duduk.
"Mulai sekarang kau harus patuh padaku." Kalimat Edwar sedikit mengejutkan Rosie yang bahkan pantatnya belum menyentuh sofa.
Gadis itu membeku sejenak tapi akhirnya berhasil mendaratkan pantat tegangnya dengan selamat.
Sang adik tiri tertawa mengejek, "Omong kosong apa itu?"
"Sebelum berangkat tadi pagi Ibu secara khusus memintaku menjagamu. Itu artinya kau berada di bawah tanggung jawabku sampai orang tua kita kembali. Itu artinya lagi aku punya kuasa penuh atas dirimu."
Edward berkata dengan tenang. Mata hitamnya menatap lurus ke manik hazel Rosie. Sorot tajam milik Edward untuk sesaat membuat Rosie gentar tapi gadis itu buru-buru menutupinya.
"Masa bodo dengan perintah dari Ibuku! Aku tidak akan peduli! Sudah kukatakan aku benci orang suka ikut campur urusan orang lain, kan?! Sekarang kau malah mau mengaturku?! Cih! Dasar gila!" Rosie menyilangkan kakinya dengan santai saat menyemburkan kalimat kasar itu.
Edward menghirup nafas pelan lalu mengeluarkannya perlahan. Edward tidak pernah marah. Orang bilang Edward itu tidak punya syaraf amarah di otaknya jadi dia tidak bisa marah. Bahkan kalau ada orang yang merampoknya, merenggut seluruh harta yang dia miliki, Edwar mungkin hanya akan mengikhaskannya saja.
Tapi, sekali lagi kukatakan, Rosie Wilkins itu pemantik bagi Edward.
Pemuda dua puluh dua tahun itu bisa langsung terpancing emosi karena ulah konyol si gadis remaja. Masalahnya karena Edwar baru pertama kali merasakan emosi yang disebut kemarahan, dia masih belum pandai menghadapinya. Sama ketika kau pertama kali pergi ke suatu tempat asing, kau bisa saja mengambil jalan yang salah dan menyesatkanmu. Dan itu lah yang sedang dilakukan Edwar sekarang. Mengambil jalan yang salah dan membuatnya tersesat.
Edward tertawa. Bukan tawa hangat nan mempesona yang biasa dia tampilkan, melainkan tawa mengejek yang sudah sering dia lihat dari Rosie. Itu membuat Rosie menyernyit heran juga terkejut karena dia seperti melihat pemuda lain yang bukan Edward Quin.
"Kau itu narsis sekali, Rosie Wilkins. Menyimpulkan aku melakukan semua ini karena aku ingin ikut campur urusanmu? Awalnya mungkin itu benar. Tapi, bukan karena aku peduli. Aku hanya merasa sebagai saudara kita harus akur. Dan, bersikap baik padamu adalah salah satu cara. Lalu kau bilang membenci orang yang suka ikut campur? Asal kau tahu, aku juga membenci orang yang kasar. Yang tidak punya rasa hormat pada yang lebih tua. Yang bertindak seenaknya. Yang tak lain adalah seperti kau!" rasanya puas melepaskan perasaan yang selama ini dia pendam.
Bukan hanya Rosie yang punya keluhan, dia pun punya. Jujur saja Edward belum pernah sekalipun bahkan dalam mimpinya melontarkan kata-kata seperti itu pada seseorang. Tapi, hal yang sudah Rosie lakukan terhadap Edward juga belum pernah dia terima dari orang lain. Makanya Edward merasa tidak salah sama sekali mengatakan hal buruk barusan.
Kepuasan yang dia rasa semakin menjadi tatkala melihat lawannya bungkam. Namun, dia belum selesai. Edward mencondongkan tubuhnya ke arah Rosie, sikut bertumpu pada masing-masing pahanya, dan jemarinya terjalin di antara lutut. Pemuda itu menyunggingkan seringai-lagi-lagi untuk yang pertama kalinya-mencemooh untuk adik tirinya.
"Dengarkan kakakmu ini baik-baik, adikku. Kau akan menuruti semua perintahku mulai sekarang. Tidak ada pesta. Tidak ada keluar sampai larut malam. Tidak ada menginap di rumah Claire. Kau hanya boleh keluar sampai jam sembilan malam dan itu pun harus mengabariku dulu. Jangan coba menyelinap, karena pintu rahasia yang suka kau gunakan itu aku yang membuatnya. Dan, aku bisa kapan saja menutupnya kalau kau masih berani memakainya. Kau mungkin terbiasa bertingkah urakan dan nakal, tapi ingat sekarang kau bagian dari keluarga Quin. Kau harus menjaga nama baik keluarga kita. Jangan melakukan hal yang bisa mencoreng nama keluarga. Paham?"
Nah. Mungkin kalimatnya yang terakhir agak berlebihan. Tapi, Edward sama sekali tidak peduli. Anak nakal macam Rosie harus diberi pelajaran.
Manik hazel milik Rosie agak bergetar namun ia tidak melepaskan tatapannya pada pemuda itu. Sejujurnya agak menyakitkan mendengar kalimat Edward. Rosie merasa terhina meskipun itu benar. Bibir ranumnya membentuk garis tipis berbahaya.
"Apa maksudmu aku harus mencontoh sikapmu? Ramah, penyabar, penurut, dan selalu baik pada semua orang? Aku harus mengikuti sikap teladanmu? Anak yang tanpa cela. Cih! kau makin membuatku muak, Edward!" Rosie membuang muka setelah menyelesaikan serangan balasannya.
Dia beranjak dari sofa dan mulai berjalan menuju tangga spiral. Edward pun bangkit. Menyusul sang adik tiri. Pemuda itu meraih tangan gadis pembangkang, menariknya mendekat, lalu mengunci tubuh ramping gadis itu supaya Rosie tidak bisa lepas.
Perkiraan Edward tepat. Rosie berusaha melawan dengan melepas kuncian Edward di lengan dan pinggangnya.
Sang kakak tiri menunggu Rosie untuk menatapnya, lantas menyunggingkan seringai jahat baru bicara, "Terserah kau mau bicara apa. Aku melakukan ini juga bukan atas keinginanku. Yang jelas kau akan menuruti peraturan ini mulai sekarang. Coba saja melawan. Kakak akan memberi pelajaran untuk adiknya ini."
Rosie mendengus murka. Deru nafas cepat miliknya bisa Edward rasakan menerpa kulit wajahnya. Posisi mereka teramat dekat tetapi tidak ada yang mau mengalah untuk memalingkan muka. Jika, kau berpaling itu artinya kau takut.
"Kalau sudah mengerti, Kakak pergi dulu ya adikku yang manis." Edward mengulangi adegan yang Rosie lakukan beberapa hari lalu. Persis sama. Dia menepuk-nepuk pucuk kepala Rosie seperti gadis yang tingginya hanya sebahunya itu adalah anjing perliharaan lalu keluar dari ruang keluarga.
"Wah, tidak jauh dari rumah. Kapan-kapan main ya ke rumah." Lidya terkekeh di akhir kalimatnya. Angel meringis dan Damian tersenyum kecil."Iya, Tante.""Siapa tahu, bisa menjadi menantu. Belum punya pacar, 'kan?"Angel sontak menatap Lidya dengan wajah terkejut namun setelah itu kembali melunak, terkekeh lalu menunduk. Kedua tangannya terkepal hingga jari kukunya kian memutih.***"Ella."Ella menoleh saat Samuel sudah berada di hadapannya dengan sekotak susu pisang."Ini, untukmu." Samuel menyodorkannya dan Ella dengan ragu mengambilnya."Terima kasih." cicit Ella pelan.Samuel tidak menjawab, anak itu langsung mengambil posisi di samping Ella seraya melanjutkan meminum susu pisangnya. Kini, sudah lima belas menit berlalu sejak bel istirahat berbunyi. Ella dan Samuel sedang duduk di santai di bangku taman seray
"Angel, kau apa kabar? Sudah lama kita tidak bertemu. Ada waktu luang? Bisa kita bicara sebentar?"Angel yang tidak tahu ingin berkata apa hanya mampu tersenyum kecil dan pasrah ketika tangannya di tarik begitu saja oleh Ibu Damian. Diam-diam, Damian merasakan tatapan tajam Angel yang siap membunuhnya.***Ella menghela napas lelah selepas turun dari mobil Rere. Padahal, niatnya hari ini dia tidak ingin masuk sekolah mengingat hal mengerikan lain yang mungkin saja bisa terjadi. Kemarin, seperti biasa dia selalu mendapat perlakuan yang menjengkelkan."Ella, tidak boleh cemberut begitu. Anak cantik harus tersenyum." Rere berujar dari balik kaca mobil.Ella hanya meliriknya sekilas lalu mengangguk. "I go to school, Aunty."Rere mengangguk, "I wiil pick you up later."Setelah Ella mengangguk barulah mobil Rere melesat menuju jalan ibu kota yang padat
"Aku berangkat dulu, ya." pamit Edward pada Rosie. Mengecup kening sang istri lalu beralih ke perut buncitnya."Sayang, jaga Ibu baik-baik, ya. Jangan nakal." Setelah itu, Edward juga meninggalkan kecupan untuk si jabang bayinya."Ayo, Ayah!" Rosie kembali terkekeh menyaksikan wajah lelah Edward."Aku sudah di tunggu Kak Eros di sekolah!" Samuel kembali bersuara, kali ini dengan menunjukkan jam tangan yang memiliki fungsi seperti ponsel, hadiah dari kakeknya."Iya, sebentar sayang.""Ya sudah, kamu berangkat. Hati-hati di jalan."Edward mengangguk, melemparkan senyum. "Baiklah."Lima menit kemudian, mobil yang di kendarai Edward melaju pergi, tersisa Samuel yang melambaikan tangannya pada Rosie sampai sang ibu hilang dari pandangannya.***David melirik ke arah jarum jam yang melingkar di pergelangan tangannya, sudah setenga
"Kak Damian? Angel? Kalian saling kenal?" Rosie menatap sepasang pria dan wanita yang dia kenal di hadapannya. Edward sepertinya juga menatap heran keduanya dari pandangan mata.Damian yang semula berada berapa langkah di belakang Angel kini mulai berjalan hingga keduanya bersisihan."Ya, kami saling kenal. Kami pernah berpacaran semasa aku kuliah dulu." ungkap Damian secara gamblang dengan mudahnya. Sontak saja, itu memancing tiga pasang mata yang ada di sana menatap Damiam terkejut. Terlebih lagi Angel, rasanya bola mata gadis itu sebentar lagi akan melompat keluar jika tak sedetik kemudian Angel berkedip."Wah, kalian ternyata pernah berpacaran? Astaga, dunia ini benar-benar sempit." Edward berseru kalut, ikut mewakili Rosie yang juga terkejut mendengarnya.Damian hanya melemparkan tatapan tak berdosanya pada Angel seraya menampilkan senyuman terbaiknya. Sedan
"Kau masih menyukainya?"Angel membuang wajahnya tanpa sadar yang malah membuat Damian semakin yakin dengan persepsinya."Kau ada waktu sebentar di taman? Kebetulan, aku membawa makanan." Damian menunjukkan tentengan yang dia bawa, arah mata Angel mengikuti pergerakan tangan Damian.***"Kau sudah lama menjadi Dokter di sini?" Damian memulai pertanyaan seraya membuka bungkus roti yang dia bawa. Kebetulan, dia belum sarapan. Niatnya, dia ingin menjenguk Rosie dan Samuel, tapi saat dia ingin menjenguknya, dia malah menemukan sosok mantan kekasih yang sudah lama sekali tidak muncul di hadapannya. Sebuah kebetulan sekali.Ya, Damian dan Angel memang pernah memadu kasih bahkan Damian sudah mengenalkan Angel pada ayah dan ibunya. Kalian ingat saat hubungan Damian dan Rosie di tentang keras oleh kedua orang tua Damian? Bukan semata-mata hanya karena Rosie tidak memiliki Ayah dan latar bel
Pada awalnya, Rosie akan menduga bahwa Edward tidak bisa menerima Samuel sebagai anak pertamanya, tapi dugaannya salah ketika melihat senyuman Edward yang begitu tulus ketika kali pertamanya dia melihat Samuel. Hati Rosie juga ikut mencelos kala itu, merasa terharu dengan apa yang dia lihat.Edward yang merasa terusik dengan elusan di kepalanya kini perlahan mulai membuka matanya, dan langsung membeliak kaget ketika melihat wajah sang istri yang sudah kembali berseri."Kau sudah sadar? Bagaimana? Apa perutmu merasa sakit lagi?" Edward langsung mengecek keadaan Rosie, memutar tubuh sang istri, dia ingin memastikannya sendiri.Rosie tertawa geli menyadari sikap protektif Edward terhadapnya, "Aku tidak apa-apa, Edward. Aku baik-baik saja."Edward menaikkan satu alisnya, "Apa kau yakin?" Rosie tersenyum lalu mengangguk.Edward menghela napas lega, "Syukurlah
Rere berdehem dengan salah satu telunjuknya menyentuh dagu, terlihat berpikir. "Menurut Aunty, Si Bully ini seperti racun yang semakin lama akan semakin menggerogoti tubuh kita. Jadi, kita harus menghilangkan racun-racun itu. Jika, Ella merasa di rugikan maka Ella harus menjauh, Ella tidak boleh diam saja itu akan semakin membuat Ella meras lemah. Ella menjauh saja, tidak usah pedulikan apa yang dia bicarakan. Toh, mereka semakin lama akan bosan dan tidak akan mengganggu Ella lagi."Rupanya, ucapan Rere tadi belum berhasil mengundang senyuman di wajah Ella. "Tapi, aku tidak memiliki teman. Aku ingin memiliki teman seperti yang lain, Aunty."Rere mengelus punggung belakang Ella, "Ella tahu, 'kan? Kalau Ella belum lama ada di sini? Jadi, Ella memang harus beradaptasi dengan lingkungan Ella yang sekarang. Lingkungan Ella yang sekarang ini jauh berbeda dengan lingkungan Ella yang di Sydney. Aunty juga yakin pasti suatu saat Ella ak
"Kau sedang melihat apa?" tanya David yang setelah itu menegak minumannya."Aku sedang melihat anak-anak, Samuel dab Eros terlihat nampak dekat. Bahkan, Samuel sudah seperti adiknya sendiri. Apa kau tahu? Eros tidak seperti itu pada Zea dan Zelo, hanya pada Samuel dia seperti itu."David mengangkat kedua bahunya lalu bersandar pada senderan kursi di belakangnya seraya melebarkan kakinya, "Kurasa, Eros benar-benar sangat menyukai Samuel, dan Samuel juga sebaliknya. Dulu, Eros selalu bilang padaku, katanya seperti ini, aku juga ingin menjaga adikku tapi Zea sudah bersama dengan Zelo, selalu. Padahal, dia juga ingin seperti Zelo. Sedangkan, Zelo sepertinya juga bisa tanpanya. Mungkin, itulah yang menyababkan Eros sangat menyayangi Samuel."Alice mengangguk seraya tersenyum, "Kurasa begitu. Setidaknya, aku lega karena permasalahan harus berakhir seperti ini. Untung saja, takdir memang sudah di gariskan da
"Edward, kakiku lemas. Aku tidak bisa berjalan." lirih Rosie pelan tapi masih bisa di dengar oleh semua pasang telinga."Ibu! Ibu kenapa?" Samuel langsung menyeru ketika melihat wajah sang ibu yang pucat tapi masih bisa memaksakan senyum.Edward dengan siaga langsung menggendong tubuh Rosie, "Alice sebentar ya, tolong jaga anak-anak aku akan membawa Rosie ke ruangannya dan memanggil Dokter." Setelah itu, langkah Edward menghilang di balik pintu."Aku kasihan melihatnya." ujar Alice lirih. Sungguh, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia berada di posisi Rosie. Kandungannya yang mengalami flek dan anaknya yang habis terjatuh dari mainan bola dunia, benar-benar membuat Alice prustasi melihatnya."Tak apa, Rosie adalah gadis yang kuat." Alice mengangguk."Bibi Alice, Paman David. Ibu kenapa? Kenapa wajahnya sangat pucat sekali?" Samuel berkata dengan nada khawa