Share

6. Ungkapan Kekesalan

"Hanya itu yang bisa kusampaikan, Paman. Sampai saat ini pun orang-orang suruhanku masih melakukan pencarian. Semoga saja secepatnya kita mendapatkan kabar baik," ujar Revan setelah menjelaskan semuanya tentang Dimas pada orang tua sahabatnya.

Tidak ada yang bisa dikatakan Adrian selain terima kasih pada Revan yang telah berbuat banyak untuk Dimas, putranya. Bahkan lebih dari mereka yang merupakan orang tua dari Dimas sendiri.

Revan hanya membalas ucapan terima kasih Adrian dengan seulas senyum. Ia melirik ke arah Sarah yang masih terisak di bahu suaminya. Andai air mata dan kekhawatiran itu ada sebelum Dimas kecelakaan, mungkin Dimas masih berada di sini bersama mereka. Namun, semua sudah terjadi sekarang, tidak akan ada yang berubah. Yang bisa mereka lakukan sekarang adalah berdoa agar Dimas baik-baik saja.

"Aku akan terus mengabari paman mengenai pencarian Dimas," tukas Revan setelah beberapa saat terdiam mengamati dua orang di hadapannya. "Jika tidak ada yang ingin paman bicarakan lagi, aku pergi." 

Revan sudah melangkahkan kakinya keluar dari rumah sahabatnya sebelum suara pria paruh baya yang tadi merangkul istrinya itu menghentikan langkahnya di depan pintu. Sepertinya ayah dari sahabatnya itu mengejarnya ingin mengatakan sesuatu.

"Revan tunggu!"

"Ada apa, Paman? Apa ada yang ingin paman bicarakan lagi?"

Adrian menatap ragu ke arah Revan, tapi keinginannya untuk mengatakan hal yang harus ia katakan. Tadi memang ia sempat mengatakan terima kasih. Namun baginya itu belumlah cukup. Masih ada hal yang ingin ia sampaikan pada Revan.

Melihat Adrian yang belum mengatakan apa pun, membuat Revan menghela napasnya. Ia mengulangi pertanyaannya tadi dan baru setelahnya Adrian menanggapi pertanyaannya. "Tidak! Paman hanya ingin berterima kasih padamu untuk semua yang kau lakukan. Paman juga akan mengerahkan orang-orang paman untuk membantumu agar pencarian bisa dilakukan lebih cepat dan luas."

"Lakukan apa pun yang paman inginkan. Aku tidak masalah dengan hal itu. Bukankah itu yang selalu paman lakukan? Terlebih pada Dimas! Ah ya, satu lagi! Paman tidak perlu berterima kasih padaku. Dimas sahabatku. Aku dan Dimas sudah seperti saudara, sudah seharusnya aku melakukannya. Paman pun tahu itu. Lagi pula siapa yang akan peduli padanya jika bukan aku? Tante? Atau Paman? Aku sudah cukup melihatnya sendiri, tidak satu pun dari kalian yang peduli padanya. Kalian hanya peduli pada diri kalian sendiri. Menganggap reputasi kalian nomor satu dibandingkan anak kalian sendiri. Kalian tidak pernah peduli pada perasaan Dimas. Apa yang dia inginkan tidak pernah kalian dengar."

"Kami melakukannya semuanya untuk Dimas, untuk kebaikan Dimas," bantah Adrian. Masih berusaha memberi pengertian pada Revan yang tampak salah paham atas apa yang ia dan istrinya lakukan selama ini.

Melipat kedua tangannya di depan dada, Revan tersenyum meremehkan, tatapanya menajam mendengar perkataan Adrian. Rasa ibanya hilang entah ke mana. Emosi yang tadi coba ia tahan, menyeruak begitu saja mendengar pembelaan Adrian. "Oh! Apa benar untuk kebaikan Dimas? Atau hanya untuk kebaikan kalian?"

Adrian terdiam mendengar pertanyaan Revan. Tidak mampu untuk menjawab pertanyaan sederhana yang dilayangkan Revan padanya. 

Tidak mendengar tanggapan dari Adrian membuat Revan mengulas senyum sinis, semakin memandang penuh cemooh pada Adrian. "Lihat? Bahkan paman tidak bisa menjawab pertanyaan sederhanaku."

Adrian masih dengan ego dan harga dirinya tidak bisa menerima perkataan Revan. Bagaimanapun Dimas adalah putranya. Tidak salah bukan ia dan istrinya menginginkan yang terbaik untuk Dimas? "Mungkin yang kau katakan benar. Namun sebagai orang tua, paman dan tante berhak juga atas hidup Dimas, termasuk memilihkannya pasangan yang terbaik untuknya."

Revan tertawa hambar mendengar perkataan pria paruh baya yang ada di hadapannya. "Yang terbaik paman bilang? Oh ayolah!" ujarnya dengan sinis. "Yang terbaik menurut kalian, belum tentu terbaik untuk Dimas."

Tidak habis pikir dengan pria paruh baya di hadapannya. Bisa-bisanya di saat keberadaan Dimas masih menjadi misteri, Adrian masih mementingkan harga diri dan ego serta membicarakan haknya sebagai ayah dari Dimas. "Aku akui kalian adalah orang tuanya Dimas. Meskipun begitu, bukan berarti kalian bisa melakukan semua kehendak kalian. Dimas juga punya hati. Dia memiliki perasaan dan keinginannya sendiri. Sedikit saja, apa paman tidak pernah memikirkannya? Tidak bukan?" ujar Revan diikuti dengan dengkusan kasar. "Kalian para orang tua sama saja! Selalu mengekang dan mendikte hidup anak-anak kalian!"

"Mungkin ini salah alasan kenapa persahabatan kami bertahan hingga sekarang. Dimas dan aku sama. Kami harus terkekang dengan berbagai hal karena lingkungan kami. Namun, setidaknya aku lebih beruntung karena orang tuaku tidak memaksakan perjodohan yang mereka ajukan padaku. Mereka tetap memberikanku kesempatan untuk memilih. Tidak seperti paman dan tante yang selalu menekan Dimas untuk menerima wanita yang kalian pilihkan untuknya. Tanpa peduli Dimas suka atau tidak."

Revan menghela napas pelan dan memandang kecewa pada ayah sahabatnya ini. "Paman tahu? Kenapa Dimas suka pergi ke Lembang disela kesibukannya? Itu karena dia ingin merasakan sedikit saja udara kebebasan yang tidak pernah ia dapatkan di sini. Mungkin kalian memenuhi kebutuhannya, memberinya kemewahan dengan semua yang kalian miliki, tapi tidak dengan kebebasan. Andai saja kalian tidak menyuruhnya untuk kembali saat itu juga, mungkin Dimas masih ada di Lembang menikmati liburannya. Dan setidaknya kita tahu dia baik-baik saja. Namun, sekarang kita tidak tahu bagaimana keadaannya. Kita tidak tahu apakah Dimas baik-baik saja atau tidak, dan itu semua karena keegoisan kalian. Kalian yang membuat Dimas pergi. Kalianlah penyebabnya. Jika nanti Dimas kembali aku harap kalian menyadari kesalahan kalian pada anak kalian sendiri. Jangan sampai kalian menyesal setelah dia benar-benar pergi dari hidup kalian. Berdoa saja itu tidak akan pernah terjadi."

Tanpa menunggu tanggapan Adrian, Revan benar-benar meninggalkan kediaman keluarga Ardiantara. Ia sudah tidak tahan lagi dengan keluarga sahabatnya yang memuakkan. Lebih baik ia menyelesaikan pekerjaannya agar memiliki waktu lebih untuk mencari keberadaan sahabatnya. Revan meneruskan langkahnya yang sempat terhenti tanpa peduli pada pria paruh baya yang hanya bisa menatapnya sendu dan penuh sesal.

Sementara Adrian masih bergeming di tempatnya. Terpekur memikirkan perkataan sahabat putranya. Bahkan ia tidak sadar Revan sudah pergi dari hadapannya. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Dimas, putranya. Kenangan demi kenangan sang putra berputar dalam kepalanya. Yang dikatakan Revan benar, mereka memang memenuhi setiap kebutuhan Dimas tapi tidak peduli pada keinginan Dimas sendiri. Yang mereka lakukan justru selalu menuntut putranya untuk menjadi seperti yang mereka inginkan. Dan kini semuanya sudah terlambat, putranya hilang entah ke mana. Sesal itu mulai memenuhi hati. Sesal yang ia baru rasakan setelah putranya pergi. Masih adakah kesempatan untuknya menebus semuanya. Masihkah?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status