"Sekarang katakan! Di mana Dimas sekarang? Dia mengatakan akan kembali, tapi sudah empat hari berlalu dia belum juga pulang. Tante tahu, Dimas sudah kembali ke Jakarta. Biasanya jika tidak pulang, Dimas akan berada di apartemennya tapi kali ini Dimas tidak ada di sana. Sebenarnya di mana Dimas?Tante yakin kau tahu di mana Dimas. Kalian pasti bersekongkol."
Revan memutar bola matanya malas sebelum memandang sinis ke arah ibu sahabatnya. "Bukahkah memang itu gunanya sahabat. Terlebih Dimas sudah seperti saudaraku sendiri. Bagaimana aku tidak membantunya jika dia minta tolong kepadaku?" balasnya dengan sinis.
Ibu dari Dimas ini benar-benar memancing emosinya. Jika tidak ingat ia sedang berhadapan dengan orang yang lebih tua, terlebih dengan ibu dari sahabatnya, ia mungkin sudah meninggikan suaranya untuk membalas perkataan Sarah. Namun, ia masih punya sopan santun dan menghormati wanita yang sedang memandang angkuh ke arahnya sehingga berusaha menahan diri. Lagi pula bukan saatnya untuk melampiaskan kekesalan saat ini. Ada hal lebih penting yang harus katakan sekarang pada dua orang di hadapannya.
"Terserah tante mau mengatakan apa, aku tidak peduli. Aku datang ke sini bukan untuk meladeni perkataan tante yang tidak berdasar itu. Apalagi berdebat dengan tante. Aku datang ke sini karena Dimas ..."
"Nah! Terbukti bukan perkataan, Tante?Kau datang ke sini karena Dimas," seru Sarah menyela perkataan Revan. "Jangan mengelak lagi."
"Ma!"
Adrian yang sedari tadi terdiam mulai angkat bicara saat sang istri mulai keterlaluan melayangkan tuduhan pada sahabat putranya. Dengan tegas ia menegur Sarah hingga wanita yang berstatus istrinya terdiam. "Biarkan Revan bicara dulu, jangan menyelanya," ujarnya pada sang istri lalu beralih menatap Revan yang juga sedang menatap ke arahnya. "Nak Revan, maafkan perkataan tantemu ini. Dia terlalu mencemaskan Dimas hingga tidak mampu menahan diri."
Revan mendengkus pelan mendengar perkataan Adrian. 'Mencemaskan Dimas? Atau mencemaskan reputasi di hadapan koleganya?' batin Revan meragukan perkataan pria paruh baya di hadapannya ini. Selama ini, yang ia tahu Sarah hanya mementingkan keinginan dan ambisinya, Bahkan tak jarang Sarah mengabaikan perasaan Dimas untuk mencapai tujuannya itu. Sekarang ia dengar Sarah mencemaskan Dimas? Oh! Ia sangsi akan hal itu. Mengingat Sarah hendak mengenalkan Dimas pada putri dari Tuan Alfandy sebelum sahabatnya itu memutuskan pergi ke Lembang. Pasti Sarah tidak ingin malu karena Dimas tidak datang ke pertemuan itu. Hal itu juga yang menjadi alasan mengapa Dimas memutuskan untuk pulang lebih awal dari liburan singkatnya hingga kecelakaan tidak terelakan itu terjadi.
Revan memaksakan senyumnya. "Tidak apa-apa, Paman. Aku mengerti! Tante Sarah pasti mencemaskan Dimas," balasnya dengan menekankan kata mencemaskan pada perkataannya, menyindir Sarah dan Adrian.
Tatapan Revan berubah serius. Memandang lekat pada orang tua dari sahabatnya. Hela napas berat terdengar dari bibirnya sebelum kembali membuka suara. "Maafkan aku harus mengatakan ini pada paman dan tante. Kedatanganku ke sini membawa kabar buruk mengenai Dimas," ujar Revan. Setelahnya ia terdiam sebentar, menatap bergantian ke arah dua orang yang menatapnya penasaran sebelum melanjutkan perkataannya. "Aku ... aku ingin memberi tahu jika Dimas kecelakaan saat akan kembali ke Jakarta. Sampai sekarang Dimas belum ditemukan, hanya mobilnya saja yang ditemukan di lokasi kecelakaan." Dengan satu tarikan napas ia mengatakan kabar buruk yang memang menjadi tujuannya datang ke kediaman sahabatnya.
"Apa kau bilang?"
"Dimas kecelakaan, Tante."
"Bohong!"
Raungan Sarah itu menggema di ruang tamu kediamannya setelah ia mendengar penuturan Revan. Wajahnya memerah menahan emosi. Perasaannya berkecamuk. Rasa khawatir dan takut mulai menghampirinya. "Kau pasti bohong! Tante tidak percaya. Kau pasti berbohong agar bisa menyembunyikan keberadaan Dimas sehingga kami tidak bisa bertemu dengannya. Tante tahu bagaimana persahabatan kalian, kau dan Dimas selalu saling mendukung dan berbagi. Jadi bukan tidak mungkin kau membantu Dimas untuk menghindar dari kami."
Sarah menoleh ke arah suaminya yang belum menunjukkan reaksi apa pun atas pernyataan yang baru saja mereka dengar. Tangannya mengamit dan meremas lengan suaminya. "Katakan, Pa! Katakan jika yang dikatakan Revan itu hanya kebohongan belaka. Katakan!" ujarnya memohon. "Katakan!Putraku pasti baik-baik saja dan sedang bersembunyi sekarang karena tidak ingin menurutiku," pungkasnya. Air mata mulai membasahi pipinya. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
Revan hanya mampu menghela napas mendengar penyangkalan Sarah. Jika boleh jujur, rasa iba itu tetap ada melihat Sarah menitikan air matanya, meski ia tidak menyukai sikap wanita di hadapannya ini. Bagaimanapun Sarah seorang ibu, pasti wanita paruh baya ini terkejut mendengar perkataannya tadi. "Aku tidak berbohong, Tante. Terserah tante mau percaya atau tidak, tapi itulah kebenarannya."
Sementara Adrian juga tidak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Bahkan ia tidak memedulikan Sarah meremas tangannya. Di pikirannya saat ini hanya ada sang putra. Berbagai pertanyaan terus terngiang di kepalanya. Bagaimana keadaan Dimas? Apakah putranya baik-baik saja? Di mana putranya sekarang? dan masih banyak pertanyaan yang ada di kepalanya mengenai keadaan Dimas hingga ia menyadari satu pertanyaan mungkin bisa menjadi petunjuk untuk mengetahui keberadaan putranya.
"Di mana lokasi kecelakaannya, Van?"
"Daerah perbatasan Bogor dan Cianjur. Orang-orang suruhanku menemukan mobil Dimas di sana. Ini buktinya," jawab Revan sembari menyerahkan beberapa foto mobil Dimas yang hampir hancur di atas meja.
Adrian mengambil foto yang diletakkan Revan. Tanpa sadar tangannya meremas foto tersebut. Ini benar foto mobil Dimas. Jadi putranya benar-benar ....
Adrian kehilangan kata-katanya. Masih shock menerima kenyataan ini. Netranya kembali memandang Revan. Berharap ini hanya sebuah lelucon, tapi ia tidak menemukannya. Hanya keseriusan yang ia lihat dalam tatapan Revan. Sikap sahabat putranya ini pun demikian. Tangannya terkepal erat, mencoba kuat dengan kabar yang baru saja diterimanya. "Sejak kapan kau mengetahui hal ini?"
"Sejak empat hari yang lalu. Aku mulai curiga karena Dimas tidak bisa dihubungi beberapa jam setelah ia mengatakan jika akan kembali ke Jakarta. Saat itu aku langsung menyuruh orang-orangku untuk mencari keberadaan Dimas. Akhirnya dengan melacak ponsel milik Dimas, mereka berhasil menemukannya. Namun, yang mereka temukan hanya mobil Dimas yang sudah hampir hancur. Ponsel milik Dimas pun ditemukan di sana, sementara Dimas sendiri menghilang entah ke mana."
"Apa orang-orangmu sudah menyusuri lokasi?"
"Sudah, Paman. Mereka memang menemukan jejak kaki di sekitar mobil Dimas, tapi itu hanya beberapa langkah saja. Dari analisis mereka, Dimas kemungkinan terjatuh karena tanah di sekitar tampak lebih tertekan dari tanah di dekatnya. Namun setelah mencari dan menyisir di sekitar lokasi tersebut, mereka tidak menemukan Dimas di sana."
Dari penuturan Revan, kemungkinan memang benar Dimas terjatuh setelah berusaha keluar dari mobilnya. Pun melihat foto mobil Dimas yang hampir hancur, bisa dipastikan juga jika Dimas terluka cukup parah. Jika perkiraannya benar, seharusnya Dimas sulit bergerak dari tempatnya terjatuh, tapi kenyataan yang ada putranya tidak ada di sana. Pertanyaannya sekarang adalah ada di mana Dimas sekarang?
Sementara itu, Sarah yang mendengar percakapan antara Revan dengan suaminya, tidak mampu menahan tangisnya. Air mata semakin deras membasahi pipinya. Tubuhnya melemas. Terkulai di bahu sang suami. Masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Tidak mungkin ini terjadi pada putranya. Dimas pasti baik-baik saja. Iya, 'kan?
***
"Kalian beristirahatlah! Pasti lelah setelah mengikuti rangkaian prosesi pernikahan.""Benar yang dikatakan oleh pamanmu. Kalian istirahat saja, sisanya biar kami yang mengurusnya," imbuh Ratih menimpali perkataan suaminya.Dimas dan Andrea saling berpandangan sebelum mengiyakan perkataan paman dan bibi mereka. Tidak dipungkiri, mereka lelah setelah seharian mengikuti prosesi pernikahan. Terlebih mereka juga menerima kehadiran warga desa yang datang untuk memberi selamat dan doa untuk mereka. Keduanya beranjak menuju kamar masing-masing tapi baru beberapa langkah, celetukan Ratih menghentikan niat mereka."Kalian sudah menikah, apa kalian sudah lupa?"Baik Dimas dan Andrea berbalik dan menoleh. Keduanya tersenyum malu sembari menggeleng. Tentu saja mereka tidak lupa.Ratih bersedekap sembari menatap geli ke arah pasangan pengantin baru di depannya. Senyumnya mengembang melihat sikap malu-malu yang ditunjukkan oleh Dimas dan Andrea. "Lantas? Jika begitu kenapa kalian menuju ke kamar y
"Kau sudah siap?"Andrea sempat tertegun sebelum mengangguk. Danu yang bertanya hanya mampu memberikan senyumnya melihat reaksi Andrea. Sekalipun Andrea mengatakan baik-baik saja, tapi ia yakin itu hanya di bibir saja. Jauh dalam hatinya, gadis yang sudah seperti anaknya ini pasti merasa sedih. Siapa pun akan merasakannya saat harus menikah tanpa kehadiran orang-orang terkasih yang mendampingi, terlebih untuk Andrea yang seorang gadis.Danu mengulurkan tangannya dan disambut oleh Andrea. Keduanya keluar dari ruang tunggu, berjalan perlahan menuju ruangan tempat pernikahan akan dilaksanakan. "Kau cantik, Andrea. Sangat! Andai tuan dan nyonya besar masih ada, mereka pasti akan bahagia melihatmu menikah," ujar Danu pelan diiringi dengan hela napas. "Dan seharusnya bukan paman yang berada di sampingmu kini, tapi tuan Keenan."Andrea menghentikan langkahnya mendengar perkataan Danu. Tidak dipungkiri ada rasa sedi
"Kau sudah mendengarnya sendiri bukan? Andrea teguh dengan keputusannya untuk menikahimu. Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakan kami, terlebih Andrea," tutur Aruni sembari menatap lekat ke dalam mata Dimas. Awalnya ia ingin meninggalkan suaminya dan Andrea bicara berdua, tapi saat hendak pergi dari ruang keluarga, ia mendapati Dimas masih berdiri di lorong yang menghubungkan ruang makan dan ruang tamu. Pada akhirnya ia pun mengurungkan niat untuk pergi. Memilih tetap tinggal dan mendengar pembicaraan suaminya dengan Andrea.Dimas yang sedari tadi memperhatikan Andrea dan Danu, mengalihkan pandangannya ke arah Aruni. Membalas tatapan wanita paruh baya di hadapannya. Ia akui ia sempat ragu akan keputusannya, tapi setelah mendengar pembicaraan antara Danu dan Andrea membuatnya lebih yakin. Jika Andrea bisa seyakin itu untuk menghadapi konsekuensi dari pilihannya di masa mendatang, ia pun bisa. Ia tidak boleh goyah lagi, terlebih keputusannya ini menyangkut hidup seseorang.
Aruni menghela napas panjang setelah Dimas pergi. Mengalihkan seluruh atensi pada suaminya dan Andrea. Danu sudah berjalan mendekati gadis yang sebenarnya adalah nona muda mereka. Gadis malang yang sudah tinggal bersama mereka di desa ini lebih dari tiga tahun lalu. Gadis malang yang terpaksa tinggal di desa ini karena keegoisan dan keserakahan beberapa orang. Netranya terus mengamati dua orang yang berdiri menghadap jendela itu.Tidak berniat untuk mendekat ataupun pergi. Memilih menjadi pendengar dengan duduk di tempat yang tadi diduduki Dimas. Ia tidak ingin mengganggu pembicaraan keduanya. Dibandingkan dengan dirinya dan Ratih.Danu dan Galang yang lebih dekat dengan Andrea. Mengingat Danu dan Galang-lah yang tetap bekerja pada keluarga Chandrawijaya dan mengikuti keluarga majikan mereka itu pindah ke Jepang lima belas tahun yang lalu, sedangkan ia dan Ratih memilih kembali ke desa mereka bersama anak-anak. Awalnya ia dan Ratih mengira semua baik-
"Kau yakin dengan keputusanmu ini, Andrea?"Andrea tidak urung berbalik dari depan jendela. Manik bulatnya tetap mengarah ke luar jendela, menatap pemandangan di luar rumahnya seakan pemandangan itu lebih menarik daripada yang lainnya. Pertanyaan dari Dimas pun tidak kunjung membuatnya mengalihkan perhatiannya. "Apa yang bisa kujelaskan lagi, Kak?Aku sudah menjelaskan semuanya di balai desa, tidak ada alasan lainnya lagi," jawab Andrea dengan tidak acuh berusaha mengabaikan kegusaran yang ia rasakan. Tangannya yang berada di kusen jendela terkepal erat berusaha menahan perasaannya yang berkecamuk. 'Aku takut sendiri lagi, Kak. Semua meninggalkanku sendiri. Papa, mama pergi, dan Kak Keenan? Dia meninggalkanku di desa ini sendiri. Bahkan dia tidak pernah sekalipun mengunjungiku. Aku takut sendiri lagi jika kakak pergi. Dan hatiku juga yakin jika Kak Dimas adalah pria yang tepat untukku dan menginginkan kakak selalu ada di sisiku,' batin Andrea sendu
Semua orang bebas untuk memilih. Begitupun dengan Andrea dan inilah pilihannya. Menikah dengan Dimas bukan pilihan mudah yang bisa ia putuskan dalam sekejap. Namun jika dihadapkan pada pilihan tersebut, maka ia yakin ini keputusan yang tepat. Terlepas dari ia yang tidak ingin pergi dari desa ini dan tidak tahu harus ke mana jika pergi dari desa ini, ia memutuskan ini karena hatinya memang menginginkan Dimas dan menyakini pria itu memang yang terbaik untuknya."Kau yakin dengan keputusanmu itu, Andrea?"Pertanyaan dari Pak Wira menyadarkan Andrea, ia menegakkan tubuhnya dan kembali menoleh ke arah Dimas yang masih menatapnya. Wajah pria itu masih tampak syok dan Andrea mengerti hal itu. Siapa yang tidak terkejut dengan jawaban yang ia berikan tadi? Tidak ada, bahkan dirinya sendiri pun terkejut, tapi ia tidak menyesal dengan pilihannya."Aku yakin Paman," jawabnya sekali lagi lalu kembali menghadapkan ke arah depan. Menatap para perangkat desa yang menunggu jawab