Pandu menyesap red wine di tangannya dengan senyum terkulum, laki-laki itu mendapatkan laporan dari orang kepercayaannya kalau hari ini Ghiana datang menemui Maira, Istri pertamanya itu jelas mengetahui kegiatan Pandu dan Maira kemarin malam dan Ghiana jelas sangat tidak menyukainya.
“Mas, kamu udah pulang?” Ghiana terkejut mendapati Pandu ada di dalam kamar mereka, ini baru pukul tujuh malam. Biasanya Pandu baru akan memasuki kamar mereka di tengah malam atau dini hari.
“Dari mana Ghi?” Pandu bertanya sembari memutar gelasnya pelan, Ghiana yang menolak terintimidasi melipat tangan di depan dada. Jelas menantang suaminya.
“Aku abis kasih peringatan sama istri ke dua kamu.”
“Pft! Kenapa, kamu merasa terancam sekarang?”
“Mas!”
“Kenapa sayang?”
“Aku minta kamu nikahin dia, bukan untuk berbagi kasih sayang. Kita cuma butuh dia ngelahirin calon penerus untuk keluarga kita, satu aja cukup. Setelah itu kita bisa pulangin dia ke kampungnya. Tapi kamu malah keliatan tertarik sama dia, kamu ajak dia belanja dan macem-macem.”
“Jadi itu alesan kamu dateng ke rumah Maira hari ini.” Pandu mengangguk-anggukan kepala sembari menyesap winenya sedikit.
“Dari mana kamu tau kalau aku pergi belanja sama Maira?”
“I.. itu , aku tau dari tetangga Maira. Ibu-ibu tambun yang cerewet.”
“Dari mana kamu tau kalau aku pergi sama Maira?!”
“Dari tetanggnya!”
“Jangan bohong Ghi, siapa orang yang kamu suruh untuk mata-matain aku?”
“Enggak ada. Aku sama sekali enggak mata-matain kamu.”
“Siapa!” Ghiana mundur selangkah, begitu Pandu membanting gelasnya dengan keras ke lantai.
“Siapa Ghiana?!” Desis laki-laki itu sembari melangkah maju, menghampiri Ghiana yang mulai ketakutan.
“Enggak ada mas, sumpah!”
“Kamu tau aku benci di usik, aku enggak suka di ganggu. Kamu yang minta aku untuk menikah lagi, jadi jangan mengeluh apa lagi berani ngatur aku.” Pandu mendekatkan wajahnya, laki-laki itu berbisik tepat di wajah istrinya yang sekarang keliatan pucat.
“Kamu keliatan enggak tertarik waktu aku minta kamu menikah lagi. Tapi kenapa sekarang kamu kayak peduli banget sama perempuan itu!”
“Ghiana… aku ini laki-laki. Kami suka bersenang-senang, aku hanya pura-pura enggak peduli supaya kamu enggak waspada. Kalau aku keliatan peduli, pasti kamu enggak akan pernah bikin pernikahan ke dua aku jadi nyata.”
“Kamu..”
“Iya, sayang. Aku memang kurang ajar, tapi kamu enggak bisa ngelakuin apa pun lagi. Setelah ini semua keputusan ada di tangan aku, termasuk menentukan seberapa lama Maira akan jadi istri aku.”
“Jangan macem-macem mas, aku bisa buat dia bernasib sama kayak perempuan tolol yang kamu pacarin dulu.”
“Silahkan sayang, coba aja. Kita liat kali ini siapa yang akan berhasil bertahan. Aku sama sekali enggak takut Ghi, karena sekarang udah enggak ada papa yang bisa ngelindungin kamu. Sekarang udah enggak ada siapa-siapa yang bisa bantu kamu, hahahahaha.”
“Mas!”
Pandu sama sekali tidak menoleh, laki-laki itu terus saja berjalan keluar dari kamarnya. Meninggalkan Ghiana menangis meraung sendirian di dalam sana.
Pandu langsung berjalan mengambil gelas anggur dan menuangkan wine begitu memasuki ruang kerjanya, perasaan laki-laki itu sedang senang sekarang karena berhasil membuat Ghiana kesal. Tidak pernah ada cinta di dalam pernikahan mereka, Pandu hanya mencintai satu orang wanita. Kekasih yang di pacarinya sejak duduk di bangku SMA, Laras namanya.“Laras..” Pandu mengeja nama itu di dalam hati, batas kesadarannya semakin menipis. Sesapan terakhir Pandu pada gelasnya menumbangkan laki-laki itu, Pandu merasa dirinya melayang kembali ke masa di mana Larasnya masih bisa ia genggam....“Laras?” pandu bertanya bingung.“Iya?”“Laras?”“Apaan sih ndu, hahaha. Kamu ngeliatin aku segitunya banget, kayak kita udah lama banget enggak ketemu.”“Laras!”“Hahahaha”Pandu memeluk ke kasihnya erat, laki-laki itu merasa lega jika apa ya
Pandu mengerjapkan mata, berusaha beradaptasi dengan keadaan sekitar. Melihat pakaian dan juga botol dan gelas wine yang berserakan di lantai membuat laki-laki itu yakin bahwa ia benar-benar sudah kembali ke dunia nyata. Dunianya tanpa Laras dan juga putri mereka.“Selamat pagi tuan, nyonya nyuruh saya mastiin tuan Pandu mau makan di meja makan atau di tempat lain pagi ini.”“Di ruang makan aja, siapin kopi saya.”“Baik tuan.”Pandu menganggukan kepala kepada pelayan yang membungkuk, kemudian Laki-laki itu pergi ke kamarnya untuk membersihkan diri. Padu membiarkan air dari shower mendinginkan kepalanya yang terasa panas.“Drt..drt..drt…”Pandu mengambil ponselnya sembari mengeringkan rambut, ada satu notofikasi pesan dari nomor asing. Orang asing itu juga tidak menggunakan foto sebagai tanda pengenal, tapi dari isi pesannya laki-laki itu bisa menerka-nerka siapa si pengirim pesa
“Loh, pak Pandu? Kok kesini enggak bilang-bilang dulu?”“Sejak kapan saya harus bilang dulu kalau mau datang ke rumah saya sendiri?”“Ini rumah saya, bu Ghiana yang minjemin.” Jawab Maira dengan bibir mengerucut maju.“Kamu masak?” Tanya Pandu, laki-laki itu jelas sama sekali tidak peduli dengan rajukan istri ke duanya.“Iya, tapi bapak enggak boleh minta.”“Siapa juga yang mau minta, saya bisa beli makanan di luar.” Jawab laki-laki itu dengan dingin.“Bagus deh, malam ini saya bener-bener masak cuma untuk satu porsi soalnya.”“Bikin apaan?”“Ramen. Hehehe.”Pandu mengikuti Maira yang berjalan ke dapur rumah perempuan itu yang sederhana, perempuan itu mengangkat tutup pancinya. Seketika Pandu bisa mencium aroma gurih makanan dan pedasnya bubuk cabai.“Itu ramen?” laki-laki itu pernah memesan rame
Pandu mengusap perutnya kekenyangan, sementara Maira sibuk mencuci piring. Istri rahasia Pandu itu sempat merajuk karena Pandu menghabiskan seluruh isi ramen di dalam panci, Maira baru berhenti merajuk setelah Pandu berjanji akan membawa perempuan itu pergi makan enak besok.“Mau kemana?” Tanya Pandu begitu Maira menenteng bantal dan selimut ke luar kamar.“Tidur.”“Tidur?”“Iya, tidur pak.”“Kamu mau tidur dimana?”“Tuh,” Maira menunjuk sofa ruang tamu dengan dagunya.“Yang bener aja! Saya enggak mau tidur di sofa.”“Emang siapa yang nyuruh bapak tidur di sofa, kalau bapak mau di kamar ya silahkan. Yang jelas saya mau di sofa aja, enggak kuat kalau tidur di kamar.”“Enggak kuat?”“Iya, kamarnya dingin banget. Yang kotak putih panjang itu loh pak, kayaknya itu rusak. Jebol jadi bikin kamar dingin bange
Pandu terbangun dengan seluruh tubuh yang menjeritkan kepuasan, di sampingnya Maira masih bergelung di dalam selimut. Mata laki-laki itu mengelilingi kamar yang sekarang dalam keadaan berantakan, Maira berhasil membuat laki-laki itu lepas kendali. Hal yang sama sekali tidak pernah di alami Pandu jika bersama Ghiana.“Ibu..” Maira bergumam sembari mengeratkan selimut yang menutupi tubuhnya dari ujung kaki hingga ujung kepala, perempuan itu hanya menyisakan bagian wajah yang tidak di tutupi selimut. Persis bayi dalam bedongan.“Mai.”“Eng.”“Maira, saya laper.” Pandu berdecak, karena bukannya membuka mata Maira justru memutar badan membelakanginya.“Mai.”“Pak, saya masih ngantuk ini.”“Tapi saya laper.”“Bapakkan orang kaya, beli aja.” Jawab perempuan itu setengah sadar.“Oke, saya beli tapi kamu enggak boleh minta.&rdquo
Rumah keluarga Sore kelihatan ramai, pelayan hilir mudik membawa hidangan ke meja makan yang kali ini di pindahkan ke halaman belakang yang luas. Ghiana sedang membuat perjamuan, tea time bersama teman-teman sosialitanya.“Ngomong-ngomong Ghi, kemaren aku kayak liat Pandu loh di mall.”“Mas Pandu?”“Iya, malem-malem.” Teman-teman Ghiana saling melirik, bersiap mengeluarkan bom untuk mengusik nyonya besar yang angkuh.“Oh, iya. Mas Pandu memang bilang mau belikan aku sesuatu di sana, hadiah kejutan katanya.” Jawab Ghiana sembari mengulum senyum, perempuan itu mencoba berkilah.“Iya? Eng, tapi aku liat Pandu sama perempuan Ghi, keliatan kampungan sih. Tapi mereka gandengan tangan.”“Wah!”Ghiana menipiskan bibir, semua teman-temannya saling berbisik. Sesekali mereka bahkan cekikikan sambil mencuri-curi pandang kepadanya.“Masih muda juga loh Gh
“Lama banget kamu!” Semprot Pandu langsung kepada Sam, asisten pribadinya itu hanya menggumamkan kata maaf sambil menggaruk rambutnya serba salah.“Maaf pak.” Sam sama sekali tidak melakukan pembelaan, karena hal itu hanya akan membuat Pandu kesal.“Ngomong-ngomong, ini barang-barang mau di taro di mana pak?” tanya Sam sambil mengulurkan berbagai macam makanan yang di pesan oleh Pandu sekaligus mesin cuci di luar.“Bawa ke dalem, ruang cuci di belakang. Itu kamu udah pastiin mesinnya paling canggih kan?”“Iya, pak. Produk keluaran terbaru dari electrolux.”“Yaudah, kamu bawa ke dalem. Besok kamu minta orang ke sini untuk pasang jaringan internet, sekalian tv kabel ya.”“Baik pak.”“Pak, makanannya udah dateng?” tanya Maira dengan mulut yang penuh dengan mie instan, Pandu melirik Sam yang jelas terkejut.“Sam, kenalin.
“Loh, lagi pada makan?” Ghiana muncul bersama salah satu pelayan dari rumah keluarga Sore, di ikuti oleh Maira yang tadi memang pergi sebentar untuk membukakan pintu.“Hai mas, baru mau dua malem loh aku di tinggal tapi udah kangen aja.” Pandu sama sekali tidak menghindar ketika Ghiana mengecup sudut bibirnya, laki-laki itu terus saja memakan makanannya sama sekali tidak peduli dengan kehadiran Ghiana.“Malam bu Ghiana.” Sapa Sam yang langsung menyingkir dari kursinya, dan membiarkan Ghiana duduk menggantikannya.“Duduk Mai.”“Oh, tapi..” perempuan itu melihat Sam dan perempuan yang bersama Ghiana tetap berdiri, karena itu ia merasa juga harus tetap berdiri mengikuti Sam dan perempuan dengan pakaian hitam dan apron putih tersebut.“Duduk Maira.”“I..iya pak.”“Gimana Mai, lancar sama mas Pandu?” Tanya Ghiana kepada Pandu, merasa itu adalah