Share

Pusaka Kalimedeni

Sesosok makhluk yang tak Barata kenali muncul dari balik debu yang berterbangan, dengan tubuh yang mencengangkan seperti makhluk mitos. Bagian bawah seperti tubuh laba-laba, sedangkan tubuh bagian atasnya berupa manusia. Ia nampak cantik.

Penampilannya begitu menggoda, bahkan seorang putri kerajaan akan menciut ketika berada di sampingnya. Dua gunung penuh nan besar menjulang dengan bangganya, saat makhluk itu melihat Barata dengan sebuah senyuman. Jari telunjuknya yang lentik menunjuk ke arah Barata.

Mata makhluk itu begitu indah dan memikat, seperti ada pesona yang tak dapat ditolak. Auranya tidak hanya kuat, ada sebuah keseksian dan godaan yang begitu mendominasi darinya.

Makhluk itu berada di belakang benda yang tadinya Barata sentuh. Makhluk itu terlihat seperti seorang pelindung, hawa keberadaannya begitu besar, dan dia tampak menjadi pusat dari seluruh kekuatan yang ada di dalam ruangan itu.

Barata terdiam dan tak bergerak. Dia hanya bisa memperhatikan makhluk itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Barata merasa tak bisa menggerakkan tubuhnya seolah-olah dia mematung, meski matanya masih bisa bergerak.

Barata menantikan apa yang akan dilakukan makhluk tersebut. Ketika Barata berada di dekatnya, ia sudah kelelahan. Dia merasa lelah bukan hanya karena tekanan fisik yang tidak bisa ia tahan, akan tetapi tekanan mental yang secara tiba-tiba menyerang dirinya.

Barata berusaha untuk menyadarkan dirinya sendiri sembari melihat makhluk di depannya ini. Entah mengapa, makhluk itu tampak sedang menanti dirinya. Makhluk itu diam dan melihat Barata.

Mata makhluk itu menusuk dan merasuk ke dalam hati. Tatapan itu membuat Barata terpesona. Di pandangan mata Barata, makhluk di depannya itu tidak lagi terlihat seperti makhluk yang tadinya ia lihat, melainkan sosok wanita yang sangat ia rindukan dan ia cintai. Barata seperti melihat istrinya sedang menunjukkan jari lentiknya sembari memintanya mendekat.

Perlahan-lahan, Barata mendekati makhluk itu meski ia harus menyeret tubuhnya. Lelaki itu terus berjuang untuk sampai di depannya. Rasa sakit yang terus menjalar di sekujur tubuhnya ia abaikan beserta bercak darah yang menetes di lantai ketika ia menyeret tubuhnya.

Barata membiarkan luka yang ia terima semakin terbuka. Dia tidak peduli lagi dengan kondisinya sendiri. Dia hanya ingin sampai di sisi istrinya. Mata Barata memerah, dan air mata darah keluar dari matanya. Pada saat Barata berada tepat di depan benda itu serta istrinya, ia menjulurkan tangannya.

Tatapan mata Barata begitu tegas dan penuh tekad, meskipun sesekali terlihat melankolis. Dengan sisa tenaganya, dia menjulurkan tangannya ke arah jari lentik istrinya, sembari tersenyum manis. Lantas, senyum manis itu berubah menjadi senyum dingin, dan matanya menjadi tegas.

Tangan yang tadinya menjulur ke arah sang istri, lantas berbalik menuju ke benda di sisi istrinya . Dengan sisa tenaga yang dia miliki, Barata dengan paksa mengambil benda berbentuk belati itu.

“Uhuk !!! Uhuk !!!” Darah memuncrat keluar dari mulutnya.

Sesaat setelah Barata menggenggam benda itu, dia merasa seluruh tubuhnya di hantam ratusan benda tumpul, lantas ditusuk dengan ribuan jarum. Dia merasakan penderitaan itu selama setengah jam lamanya.

Barata tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Dia hanya terbaring sembari menggenggam kuat-kuat belati itu, walaupun darah masih mengalir dari mulutnya. Dia benar-benar tidak bisa bergerak.

Setengah jam setelah itu, dia merasa ada yang aneh dengan tubuhnya. Dia pun masih mengingat jelas apa yang terjadi beberapa waktu lalu. Siksaan itu masih tertanam jelas di ingatannya termasuk pengulangan kenangan pahit, melawan monster aneh, dan lagi bertemu sesosok makhluk yang tak biasa yang kemudian menjelma menjadi istrinya.

Namun, saat ini, saat dia membuka matanya, dia mendengar sebuah suara yang entah dari mana bergaung..

“Menarik, manusia rendah tanpa kekuatan sepertimu mampu menghapus ilusiku dan menaklukkannya. Melihat penderitaan dan ketakutanmu, itu menyenangkan. Kau mampu berdamai dengan pengalaman itu? Aku rasa tidak. Kau berusaha melupakannya. Namun, tidak bisa. Beruntungnya kau, jika di saat-saat terakhir kau tidak bisa menahannya, aku tidak akan pernah bisa kau taklukkan!”

Suara itu bergaung dengan keras di telinganya. Barata tidak tahu dari mana asal suara yang sombong dan merendahkan dirinya sendiri. Kesan superioritas terasa sangat jelas dari suara itu, dan lagi suara itu merupakan suara wanita.

Tidak butuh waktu lama untuk dirinya mengetahui siapa yang berbicara. Entah benar atau tidak, dia merasa suara itu merupakan suara dari makhluk setengah laba-laba.

Barata berusaha tenang, dan mencerna semuanya kembali. Dia mengamati area sekitarnya, dan dia hanya menemukan altar, tempat tertancapnya belati yang ada di tangannya itu hancur. Dia sama sekali tidak melihat mayat-mayat monster, dan dia hanya melihat bekas darah di jalur yang tadi ia lewati saat menyeret tubuhnya sendiri.

Pada saat Barata memeriksa tubuhnya, ia melihat ada banyak bekas luka, dan darah segar mengalir dari luka-luka itu.

“Bagaimana bisa? Jika semua itu ilusi, mana mungkin luka ini ada? Apakah semua kata-kata tadi hanya perasaanku semata? Namun, dia juga mengatakan jika dirinya merupakan roh dari belati ini yang merupakan sebuah pusaka bernama Kalimedeni. Apa artinya ini?” Barata masih bingung dengan keadaan saat ini.

Barata berusaha untuk berdiri. Beruntungnya, dia bisa melakukan hal itu, padahal belum lama ini dia tak bisa bergerak. Hal itu makin memastikan jika semua kata-kata yang tadi ia dengar itu benar adanya.

Selain menyatakan kekuatannya, suara itu juga menjelaskan jika ada banyak makhluk seperti dirinya, dan juga tempat seperti ini di seluruh penjuru dunia. Ketika mendengarnya, Barata hanya bisa menelan ludahnya sendiri, dan dia tidak tahu akan seberbahaya apa dunia saat ini.

Monster, ada begitu banyak makhluk semacam itu berkeliaran di dunia luar. Barata menggenggam belati di tangannya, dan menyarungkannya. Lalu, dia meletakkan belati itu di pinggangnya, dan dia berjalan meninggalkan altar serta ruangan itu. Sepanjang Barata berjalan keluar, dia sama sekali tak menemui halangan apapun.

Setelah ia pikir-pikir kembali, semuanya terasa aneh. Barata merasa seperti memasuki sebuah tempat yang keji serta penuh akan ingatan buruk yang hendak dia lupakan, tapi tak pernah bisa ia lupakan.

Saat-saat terakhir sebelum dia memilih menyentuh benda itu ketimbang istrinya, ia memikirkannya yang sempat ia lupakan. Di mana ingatan terakhir adalah tentang istrinya dengan wajah muram dan penuh penderitaan, bukan senyum indah itu.

Dia merasa berterima kasih dengan kejadian tadi. Dia bisa melihat kembali senyum istrinya yang indah yang membuatnya sadar jika dia harus bertahan hidup, walaupun itu semua hanyalah ilusi.

Seandainya mati sekalipun, dia harus bisa membuatnya bangga seperti janjinya pada mendiang putrinya dulu. “Sepertinya, aku tidak diperbolehkan mati. Dewa, entah kau ini ada atau tidak, aku hanya ingin mengatakan jika situasi saat ini tidak akan membuatku mati. Demi janjiku pada putri tercintaku, aku akan tetap hidup.”

Barata keluar dari bangunan itu. Tak lama kemudian, sebuah suara semacam gempa bumi terdengar. Dia melihat bangunan itu runtuh dan menghilang tak berbekas, seolah-olah semua itu tidak ada.

Seperti halnya ada dari ketiadaan dan menghilang saat berwujud. Barata menghela nafas saat tangannya menggenggam kuat-kuat belati di pinggangnya. Dia tahu pasti ada alasan kenapa semua ini terjadi, dan dia perlu mengetahuinya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status