Share

Linggar Pradipta

Sasi berlari terengah-engah ketika ia ingin segera sampai di halte bus yang cukup jauh dari restoran tempatnya bekerja. Sesekali Sasi melirikkan matanya kembali ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya yang putih. Jarak antara restoran ke halte bus memang cukup jauh, beberapa kali pengendara ojek o****e dan taksi menawarkan diri meminta ditumpangi oleh Sasi. Namun, perempuan yang mengikat rambutnya secara asal itu lebih memilih untuk berjalan kaki untuk sampai ke halte bus. Sasi berpikir jika sisa uangnya dapat ditabung untuk keperluan sang ayah yang masih membutuhkan banyak biaya.

Tiba-tiba saja terbesit dalam ingatan Sasi dengan sosok Linggar. Pria yang begitu disukainya namun diantara keduanya tidak memiliki hubungan apapun. Dan sekarang, sosok linggar sedang berada di luar negeri, karena pria itu sedang menjalankan perusahaan ayahnya di Amerika.

Waktu yang sudah menunjukkan pukul 22.15 WIB. Jalanan masih terlihat ramai, dengan kendaraan mobil yang melaju santai di setiap ruas jalan. Ia harus segera sampai di rumah. Namun, ketika Sasi masih berjalan tertatih karena merasa lelah. Matanya mengarah ke sebuah mobil Alphard yang sedang berhenti karena lampu merah yang memaksanya harus berhenti.

Kedua mata Sasi membulat dan terus memperhatikan si pengemudi mobil yang tidak asing  baginya. Karena begitu jelas oleh penglihatan Sasi jika orang yang sedang mengemudi mobil adalah Linggar, laki-laki yang sangat dicintainya.

“L-linggar?!”

“Apa dia Linggar?” tanya Sasi pada dirinya sendiri yang berusaha melihat dengan jarak dekat.

Secara perlahan Sasi tercengang jika sosok laki-laki di dalam mobil sambil tersenyum ke arah perempuan yang berada di sebelahnya, memanglah Linggar. Namun yang membuat Sasi masih tidak percaya jika Linggar sedang mengecupi punggung tangan perempuan yang tidak dikenalnya.  Keduanya tampak begitu mesra, layaknya pasangan kekasih yang sedang memadu asmara.

“Nggak mungkin ... Linggar ‘kan lagi ada di luar negeri, dia sedang menangani bisnis papanya. Tapi ....” Sasi kembali mengucek matanya untuk memastikan agar apa yang dilihatnya salah.

“Deg ... Deg ....”

Detak jantung Sasi berjalan tidak normal ketika meyakini jika pasangan yang berada di dalam mobil itu benar-benar Linggar. Tak lama traffic light berubah menjadi hijau, para pengendara mobil yang lain termasuk Linggar segera melanjutkan kendaraannya kembali, dengan posisi tangan Linggar yang masih mengusap wajah perempuan di sampingnya itu dengan lembut.

“Linggar!” teriak Sasi dengan sekerasnya. Namun nihil teriakannya sama sekali tidak terdengar oleh laki-laki yang sudah berada dengan jarak yang begitu jauh dengan dirinya berdiri.

Ketika Sasi yang hendak mengejar mobil Linggar, bersamaan dengan datangnya bus. Sasi berusaha menormalkan keadaannya dan berpikir jika pria itu bukanlah Lingar, dan mungkin dirinya hanya salah lihat atau sedang berhalusinasi karena sejak tadi pikirannya memang dipenuhi oleh Linggar, karena rasa rindu Sasi terhadap pria itu.

***

Win yang sedang fokus menyetir sesekali melirikkan matanya ke arah Kim yang sedang terlihat memikirkan sesuatu, tatapan dan raut wajah pria itu tampak tak biasa di dalam penglihatan Win. Sikapnya sedikit aneh seperti seorang yang sedang jatuh cinta setelah bertemu dengan pelayan restoran tadi.

Perlahan, sudut bibirnya berkembang dengan sempurna, menyiratkan senyuman manis yang jarang dilihatnya dari sosok Kim Andersean.

“Dewi Sasikirana, bukankah itu nama yang sangat indah, Win?” tanya Kim tersenyum simpul ke arah Win.

“Ehm, iya Pak Kim. Namanya sangat indah,” jawab Win bingung dan hanya mengiyakan saja.

“Haha, kenapa wajah dan sikap dari perempuan itu terus terngiang di wajah saya, Win. Belum pernah saya merasakan jatuh cinta pada pandangan pertama seperti ini, bahkan sesaat saya berhadapan dengannya tadi, jantung saya ... terus berdetak dengan kencang.”

Win merasa lega, pada akhirnya jika atasannya ini memang benar-benar seorang pria normal yang menyukai perempuan, karena selama Win bekerja dengan Kim, belum pernah ia melihat jika Kim benar-benar menyukai seorang perempuan atau memikirkan seorang perempuan, sehingga banyak orang yang berspekulasi jika atasannya ini penyuka sesama jenis.  

“Ehm, apa Pak Kim benar-benar menyukai pelayan perempuan tadi?” tanya Win sekali lagi karena ia masih belum percaya.

Tatapan dari Kim mendadak berubah seketika. “Kamu pikir saya hanya bercanda jika menyukai seseorang? Tentu saja saya sudah memiliki perasaan kepada perempuan itu, Win. Saya begitu sulit untuk jatuh cinta. Namun, ketika saya sudah merasakan benar-benar jatuh cinta dan jantung saya bergetar ketika dihadapkan dengan perempuan yang saya sukai. Saya akan terus berusaha mendapatkannya dengan cara apapun.” Jawab tegas Kim.

Tidak ada yang dapat dikatakan lagi oleh Win, selain mengiyakan segala perkataan dari atasannya ini. Ada rasa bahagia dan rasa heran mengapa atasannya bisa jatuh cinta kepada seorang pelayan.

***

Setibanya di depan rumah, Sasi segera masuk ke dalam rumah. Namun kedatangannya ini justru langsung ditatap tajam oleg ibu tirinya yang sedang berdiri di depan pintu, sambil menyilangkan kedua tangannya di dada.

“Dari mana saja kamu, jam segini baru pulang?” tanya Lydia yang memelototkan matanya ke hadapan Sasi.

“Sasi habis pulang kerja, Bu,” jawabnya santai karena memang terasa lelah hari ini. Walaupun sudah terlihat wajah kelelahan dari perempuan itu.

“Kerja?! Nggak biasanya kamu pulang kerja selarut ini, Sasi. Kamu nggak usah bohong deh, pergi ke mana saja kamu? Apa kamu pergi kelayapan dulu, baru pulang?”

Sasi mengembuskan napasnya pelan, berusaha tidak terbawa emosi untuk meladeni setiap perkataan ibu tirinya yang memang menyakitkan.

“Sasi setiap hari bekerja, Bu. Nggak mungkin Sasi kelayapan nggak jelas, lagi pula malam ini memang pengunjung restoran begitu banyak, nggak seperti hari-hari biasanya. Makanya Sasi lembur.”

Terlihat wajah Lydia yang mengerti sekarang dengan penjelasan Sasi, tapi tetap saja perempuan itu tidak pernah suka dengan anak tirinya ini. Apapun yang diucapkan oleh Sasi selalu salah di matanya.

“Kenapa ibu nggak memasakkan makanan untuk ayah?” tanya Sasi lekat menatap wajah Lydia.

“Kamu ‘kan anak kandungnya dan kamu yang lebih berhak untuk menyiapkan makanan untuk ayahmu yang nggak berguna, karena saya sudah nggak mau melayani atau bahkan merawat ayahmu yang penyakitan itu,” ketus Lydia yang berlalu pergi begitu saja.

Saki hati yang dirasakan oleh Sasi, ketika laki-laki yang sangat dicintainya malah direndahkan oleh istrinya sendiri. Bahkan setelah sang ayah jatuh bangkrut dan menderita penyakit komplikasi, Lydia terus menghina dan merendahkan ayahnya. Anak mana yang tidak merasa sakit hati ketika ayah kandungnya diperlakukan seperti itu oleh istrinya sendiri. Dan yang dapat dilakukan oleh Sasi hanya bersabar, karena Sasi yakin dibalik ini semua, Tuhan sudah merencanakan sesuatu yang indah untuknya dan juga ayahnya.

Selang tiga puluh menit kemudian, Sasi sudah menyiapkan makanan dan sup sehat yang ia buat untuk ayah tercintanya. Bahkan Sasi tidak memperdulikan keadaannya yang lelah bekerja seharian, hampir seluruh tubuhnya pegal-pegal dan belum membersihkan tubuh. Wajahnya pun sudah terlihat semraut karena kelelahan. Namun, ia berusaha tegar demi sang ayah.   

Sasi menyimpan terlebih dahulu makanan di atas nakas, dan membantu sang ayah untuk bangkit dari tidurannya. “Sekarang ayah makan, yah. Maafkan Sasi yang telat menyiapkan makanan untuk ayah,” ucap Sasi yang mengambil makanannya kembali. Bahkan Sasi merasa tidak tega melihat keadaan ayahnya ini. 

“Kenapa kamu yang harus minta maaf, Nak. Kamu sudah bekerja keras demi keluarga ini,” ucap Rafi yang menyentuh wajah putrinya penuh kelembutan. “Wajahmu begitu kelelahan, Nak. Pasti kamu capek sekali setelah seharian bekerja, kamu pun harus menyiapkan makanan untuk ayah,” ucapnya kembali karena Rafi pun merasa tidak tega melihat keadaan putrinya yang harus bekerja paruh waktu demi membiayai pengobatan dirinya. 

“Nggak kok, Yah. Malah Sasi senang dan bangga bisa merawat ayah sedang sakit dan bisa membiayai pengobatan ayah, dengan uang hasil kerja keras Sasi sendiri, tanpa meminta-minta. Sasi akan melakukan apapun demi kesembuhan ayah, karena selama ini ayah selalu memanjakan Sasi dengan kasih sayang yang selalu ayah berikan kepada Sasi setelah ibu meninggal,” jawab Sasi sembari tersenyum, walaupun kedua bola matanya terus berkaca-kaca karena tidak tega melihat ayahnya yang terus direndahkan oleh ibu dan saudara tirinya.

Rafi begitu tersentuh mendengar perkataan penuh haru dari putrinya, bahkan sesaat mengatakan kalimat itu, Sasi berusaha menyembunyikan rasa lelah di dalam dirinya dan terus mencoba terenyum di depan sang ayah.

Rafi langsung mengusap wajah Sasi karena terlihat air mata yang keluar dari sudut mata putrinya. Tak lama Rafi memeluk putrinya erat. “Maafkan ayah, Nak. Kamu sudah berjuang keras demi ayah selama ini, kamu selalu berusaha tegar dan kuat di depan ayah. Padahal ayah tahu jika hatimu rapuh,” ungkap Rafi yang mengusap-usap punggung Sasi.

Tak lama Rafi melepaskan pelukannya dengan Sasi.  

“Ayah berjanji setelah ayah sembuh dari sakit. Kamu nggak harus bekerja paruh waktu lagi. Seharusnya kamu sudah bahagia dengan kehidupan pribadimu dan nggak terlalu dibebankan seperti ini,” lirih Rafi yang tidak dapat menahan rasa sayangnya kepada Sasi.

“Sasi nggak apa-apa kok, Yah. Karena sekarang  yang menjadi fokus kebahagiaan Sasi adalah ayah, ayah, dan kesembuhan ayah,” ujar Sasi sembari tersenyum.

Sasi menyendok satu suapan dan diarahkan ke mulut Rafi. “Sekarang ayah makan, yah. Karena Sasi ingin lihat ayah sembuh lagi, bisa ketawa seperti dulu,” ucapnya yang memasukkan satu sendok nasi yang sudah dikuah dengan sup ayam favorit ayahnya.

Rafi begitu menikmati makanan yang dibuatkan oleh putri tercintanya, membuat Sasi semakin senang dan ingin segera melihat ayahnya sembuh.

To be continued...


Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status