Share

Pertengkaran di Pagi Hari

Hampir satu jam lamanya bagi Sasi memasak dan menghidangkan makanan yang kini sudah tertata rapi di atas meja makan. Bahkan Sasi pun membuat bubur sehat atas saran sang dokter untuk ayahnya. Sasi masih berdiri dengan bibirnya yang melengkung simpul, ada rasa kebanggaan tersendiri di dalam dirinya ketika ia bisa bekerja di luar rumah sekaligus di dalam rumah.

“Seharusnya setiap hari kamu menyiapkan sarapan untuk kami,” gertak Lydia yang tidak tahu malu duduk begitu saja untuk memulai sarapannya bersama dengan Nadien, putri kesayangannya.

Sasi merasa dongkol dengan sikap ibu tirinya itu. Namun, ia berusaha untuk menahan amarahnya pagi ini, karena Sasi ingin memberikan kejutan kepada Ayahnya jika dirinya diterima bekerja di perusahaan elite dan terkenal.

“Seharusnya tugas rumah dan menyiapkan sarapan adalah tanggung jawab kamu, Lydia. Bukan Sasi, putriku sudah lelah bekerja seharian tapi juga harus memasakkan makanan untuk kalian,” sahut Rafi yang berjalan tertatih-tatih menggunakan tongkat untuk menopang tubuhnya. Rafi melakukannya agar tidak terlalu merepotkan putrinya.

“Ayah ... kenapa ayah berjalan sendiri. Sasi ‘kan bisa susul ayah  ke kamar.” Sasi segera membantu Rafi dan mendudukkannya secara perlahan.

“Ayah pikir cuma Sasi doang yang bekerja, aku juga kerja kok.” Langsung dijawab ketus oleh Nadine.

“Kamu bekerja hanya untuk diri kamu sendiri, bukan untuk keperluan dan kebutuhan rumah, Nadine. Kerjaan kamu cuma belanja yang nggak jelas, baju, alat-alat make up,” tukas Rafi yang terlihat kecewa dengan sikap putri tirinya itu. Namun bagi Rafi, jika Nadine sudah dianggap sebagai putri kandungnya sendiri.

“Aku ‘kan model, jadi wajarlah kalau aku membeli keperluanku,” kesal Nadine sembari menyewotkan wajahnya.

“Udah, udah, Sasi nggak mau ada keributan pagi ini. Lagi pula nggak apa-apa kok, yah. Sasi udah biasa juga, dan ... ada sesuatu hal yang ingin Sasi katakan sama ayah,” ucap Sasi  sembari tersenyum.

Sasi memberikan satu mangkuk bubur hangat kepada ayahnya dengan wajah yang berseri, membuat Lydia dan Nadine keheranan.

“Ada apa, Nak?” tanya Rafi yang juga penasaran.

“Pagi ini, Sasi dihubungi langsung oleh salah satu HRD Perusahaan TBC, Yah. Ayah ingat ‘kan beberapa bulan yang lalu Sasi melamar pekerjaan di perusahaan itu, Sasi pikir jika Sasi nggak diterima karena nggak ada kabar. Namun, pagi ini Sasi mendapatkan kabar jika Sasi diterima bekerja,Yah. Bahkan hari ini Sasi akan melakukan interview dengan Presdir Perusahaan TBC,” ucap Sasi memberitahu Riaf sembari tersenyum bahagia, memamerkan gigi-giginya yang berjajar rapi nan putih, dan tidak terkecuali gigi gingsulnya yang menambah manis saat Sasi tersenyum.

Rafi membulatkan matanya karena tidak percaya. Namun, tidak lama laki-laki itu tersenyum bahagia ketika putrinya diterima bekerja di perusahaan elite sekelas TBC. Sedangkan raut wajah tidak suka justru diperlihatkan oleh Lydia dan juga Nadine.

“Kamu serius, Nak. Diterima di perusahaan besar itu?” tanya Rafi mencoba memastikan.

“Iya, Yah. Sasi serius kok dan Sasi pun nggak menyangka.”

“Apa kamu benar-benar pure diterima atau pake cara lain buat diterima di perusahaan Pak Anders?” sahut Nadine yang tidak suka dengan kabar yang diucapkan oleh Sasi, dan sedikit mengecoh kebahagiaan Sasi dan juga ayahnya.

“Apa maksud kamu, Nadine? Aku pure diterima kok.” Langsung dijawab oleh Sasi dengan tegas.

Nadine mengerutkan dahinya seolah tidak percaya dengan jawaban dari Sasi, karena Nadine tahu betul orang-orang yang dapat bekerja di perusahaan yang memang terkenal itu, tidak mudah bagi orang biasa untuk bekerja di sana.

“Apa maksudnya perkataan kamu. Kenapa kamu seperti tidak percaya dengan diterimanya Sasi,” sahut Rafi. “Seharunya kamu senang dong, Nadine. Kalau saudaramu sendiri dapat bekerja di perusahaan elite itu, dan kamu dapat mencontoh kegigihan dan jerih payah Sasi.”

“Ayah, aku tahu banget dengan Perusahaan TBC (The Bharaswara Corporation) nggak sembarang orang bisa masuk atau dapat bekerja di perusahaan elite itu, banyak kok orang yang nggak diterima di sana. Terlebih Presdirnya sangat selektif banget dalam memilih karyawan, terutama karyawan perempuan. Dan aku nggak yakin kalau Sasi benar-benar diterima dengan hasil jerih payahnya sendiri, mungkin dia melakukan sesuatu di belakangnya yang kita semua nggak tahu, dan mungkin ... dia menggunakan cara yang nggak baik,” cecar Nadine dengan wajah kecutnya kepada Sasi.

Sasi tidak bisa tinggal diam dengan tuduhan yang tidak nyata dari Nadien.

“Aku ngelakuin apa maksud kamu, Nad? Selama beberapa bulan aku menunggu panggilan dari perusahaan itu, selama itu juga aku bekerja paruh waktu, kenapa kamu tega memfitnah aku kaya gitu. Lagi pula aku udah nggak bermimpi untuk bisa kerja di sana kok.”

“Aku nggak fitnah kamu kok, Si. Tapi mungkin aja kan, karena sulit banget untuk dapat bekerja di sana. Orang yang begitu intelek pun sulit, apalagi kamu yang hanya perempuan biasa.”

“Sudah, sudah!” tegas Rafi yang menghentikan pertengkaran antara Sasi dan juga Nadine. “Ini ruang makan, bukan untuk ribut.” Keduanya langsung terdiam sekaligus. Sasi menahan amarahnya kepada Nadine di depan sang ayah, walaupun ingin sekali ia meledakannya karena Nadien sudah benar-benar kurang ajar kepadanya.

“Sasi ... Ayah sangat percaya sama kamu, Nak. Kamu selalu bekerja keras demi keluarga ini, jadi wajar jika kamu bisa diterima di perusahaan elite itu,” ucap Rafi yang menyentuh lembut wajah putrinya yang terlihat kecewa dengan perkataan Nadine. “Dan kamu, Nadine. Apa nggak bisa sedikit pun kamu menghargai usaha dari saudaramu ini, kenapa kamu berpikiran yang nggak baik kepada Sasi.”

Nadine tidak diterima diperlakukan tidak adil oleh ayah sambungnya. “Belain terus anak ayah, karena aku emang anak tiri ayah jadi mana mungkin Ayah Rafi mau membela anak tirinya,  walaupun cuma sedikit,” ujar Nadine yang beranjak bangun dengan wajah yang kesal, sudah tidak berselera lagi untuk memulai sarapannya. Tak lama Nadien segera pergi, namun terhenti sebentar karena ada hal yang ingin dikatakan di depan ayah dan juga Sasi.

“Aku tahu kok spesifikasi karyawan yang dapat diterima di perusahaan itu, aku seorang model, bagaimana Presdir perusahaan TBC memilih karyawan perempuan, dan hal itu nggak sembarangan,” tegasnya yang langsung pergi meninggalkan ruang makan dengan sarapan yang belum disentuh sama sekali.

“Nadine,” panggil Lydia yang beranjak dari duduknya.  

“Dari awal aku nikah dengan kamu, kamu memang nggak pernah membela sedikit pun Nadine, kamu selalu saja membela anak kandungmu itu. Mungkin saja benar dengan yang dikatakan oleh Nadine, jika putrimu ini menggunakan cara yang nggak baik agar dapat diterima di perusahaan itu,” ucapan pedas terlontar dari mulut Lydia. Perempuan itu pun segera pergi menyusul kepergian putrinya, tanpa memakan sarapannya.

“Bu.” Sasi mencoba memanggil ibu tirinya. Namun pergelangan tangan Sasi langsung dicekal oleh Rafi.

“Biarkan dia pergi, Sasi. Sudah banyak kata-kata pedas dan menyakitkan yang ibu tirimu lontarkan kepadamu.

Sasi kembali mendudukkan tubuhnya karena apa yang diucapkan oleh ayahnya memang benar. Namun, tetap saja Sasi merasa tidak enak. Karena keributan ini dipicu olehnya, padahal Sasi tidak berniat sama sekali dan hanya ingin memberikan kabar bahagia. Namun, malah berakhir seperti ini.

“Jangan dengarkan perkataan menyakitkan dari Lydia dan juga Nadine. Ayah yakin Nadine mengatakan hal itu karena iri dengan pencapaianmu, Nak. Seharusnya Nadine dapat meniru kerja kerasmu bukan malah menyudutkanmu seperti ini,” ucap Rafi yang mencoba menenangkan putrinya.

Setelah selesai sarapan, walaupun diwarnai dengan pertengkaran kecil antara dirinya dengan Nadien. Yah, hubungannya memang tidak pernah akur dengan saudara tirinya itu, bahkan Nadien yang selalu berbuat yang tidak baik padanya. Namun, Sasi berusaha untuk menerima dengan perlakuan dari saudara tirinya, karena ia tidak ingin  bermusuhan dengan Nadine.

Sasi melirikkan matanya ke arah jam yang menempel di dinding, masih ada waktu untuk berbenah terlebih dahulu. Karena hari ini memang shift sore, jadi interview yang akan dijalankannya ini tidak mengganggu pekerjaan di restoran. Namun, sebelum berbenah atau membersihkan diri. Sasi mendudukkan tubuhnya terlebih dahulu di tepi ranjang. Perkataan dari Nadine benar-benar menghancurkan moodnya, padahal hari ini merupakan hari yang begitu bahagia. Namun, moodnya hancur seketika dengan perkataan Nadien. Bahkan Sasi benar-benar tidak mengerti apa maksud perkataannya itu. Apakah presdir dari perusahaan yang menerimanya adalah pria yang tidak baik, menerima karyawan perempuan dilihat dari fisik dan body.

Sasi memperhatikan keadaan dirinya dari atas rambut sampai mata kaki yang begitu jauh jika dibandingkan dengan para model yang memiliki body seperti gitar Spanyol. Lalu, mengapa dirinya dapat diterima? Bahkan hanya dirinya seorang yang dihubungi oleh Pak Hardy. Teringat dengan perkataan pak Hardy jika Prsdir di Perusahaan TBC begitu selektif dalam menerima pelamar, buktinya ia harus menunggu berbulan-bulan panggilan di perusahaan itu.

Sasi benar-benar merasa bingung, antara ucapan Pak Hardy dan Nadine begitu bertolak belakang. Daripada memikirkan hal yang belum pasti, lebih baik baginya segera membersihkan tubuh, jangan sampai ia terlambat di hari pertama interviewnya ini.

Selama dua puluh menit Sasi membersihkan tubuhnya, keadaannya sekarang terlihat fresh dengan handuk yang menutupi tubuhnya. Sasi segera mengambil kemeja putih yang akan dipakainya hari ini. Perempuan itu terlihat menggaruk-garuk kepalanya, karena masih merasa bingung dengan pakaian yang akan dipakainya hari ini. Apa ia harus memakai kemeja putih ini?

Melihat jarum jam yang terus berdetak, Sasi menghilangkan sikap inkonsistennya, ia segera memakai kemeja putihnya itu yang sudah lama tak dipakai setelah melamar di mana-mana, namun berakhir menjadi pelayan restoran.

Setelah rapi dengan penampilannya, Sasi masih berdiri di depan cermin sembari memperhatikan wajah, rambut yang hanya diikat dengan pita terlihat sederhana. Sudah terlihat rapi namun tetap saja jika penampilannya sedikit kuno.

“Baiklah, gue harap kalau perusahaan nggak mempermasalahkan dengan penampilan gue ini,” lirih Sasi yang sedikit membenarkan pita di rambutnya yang terikat.

Sebelum berangkat, Sasi meminta izin dan doa kepada ayahnya agar diberikan kemudahan. Namun tatapan berbeda dan sinis justru diperlihatkan oleh Lydia. Setelah mencium punggung tangan dan kening ayahnya, Sasi segera berangkat menuju perusahaan. Jarak Perusahaan dengan rumahnya cukup jauh juga, Sasi merasa bingung untuk naik kendaraan antara bus atau taksi. Bus ongkosnya relatif murah, sedangkan taksi begitu mahal. Namun, jika dirinya memaksakan untuk naik bus ia harus menunggu lama, karena tidak setiap menit bus datang.



To be contiued...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status