“Maaf, jika saya mengganggu obrolan Pak Kim dengan Nona Sasi, tapi saya datang ke sini hanya ingin memberikan pesanan dari Pak Kim,” ucap Win yang menghentikan kedua orang yang sedang bertatapan lekat, seperti seorang pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara.
Mendengar suara Win, baik Kim mampun Sasi kembali menormalkan keadaannya seperti semula, seolah tidak terjadi apap-apa.
Win masuk begitu saja ke dalam ruangan Kim dengan penuh senyuman, sembari menatap ketidakpercayaan ke arah Kim dan juga Sasi. Win merasa heran, karena baru perempuan yang terlihat sederhana inilah yang dapat masuk dan bercengkerama dengan atasannya. Mungkinkah jika perasaan atasannya ini memang benar adanya, dan bukan hanya kepura-puraan semata.
Antara Kim dan Sasi tampak serempak menoleh ke arah Win yang sudah berdiri, dengan wajah yang masih menyiratkan senyuman. Sasi yang sebentar menatap Kim dan langsung dibalas tatapannya oleh Kim yang tersenyum aneh. Bahkan, di dalam posisi seperti ini Sasi-lah yang merasa malu, mungkin saja ucapan Kim terdengar jelas oleh Win, ketika pria itu mengatakan perasaan kepadanya.
Kim mengarahkan matanya kepada Win yang masih setia berdiri. “Kamu dengar dengan yang saya katakan tadi, Win?” tanya Kim.
Win menganggukkan kepalanya sembari tersenyum bahagia, “tentu saja, Pak. Saya mendengar dengan jelas ketika Pak Kim mengungkapkan perasaannya kepada Nona Sasi,” jawab Win yang tak kalah bodohnya dengan Kim.
Sasi benar-benar seperti orang bodoh di dalam posisi seperti ini, bahkan ketika melihat kedua pria itu tersenyum tak jelas. Dirinya hanya bisa mengeluarkan napasnya kasar dan terus menggerutu dalam hati.
“Baguslah, jika kamu mendengar karena itu bisa menjadi saksi kalau saya memang tidak pernah bercanda dengan perkataan yang keluar dari mulut saya. Lalu, bagaimana Sasi, kamu masih belum percaya dengan perasaan saya ke kamu?” tanya Kim yang kembali menatap Sasi dengan keadaan perempuan itu yang belum siap saat ditatap oleh Kim.
Sasi sedikit gelagapan ketika Kim kembali menegaskan akan perasaannya itu kepada dirinya, dan sekali lagi Sasi benar-benar tidak menganggap jika ungkapan perasaan Kim itu serius. Mungkin saja jika antara Kim dengan sekretarisnya itu yang sama-sama bodoh, memang sudah merencanakan ini semua, bahkan ketika untuk pertama kalinya bertemu di restoran kala itu. Sasi terus memperhatikan sikap kedua pria itu yang memang tak bisa dianggap serius, bahkan Sasi sedikit tak percaya jika keduanya adalah orang kaya dan terkenal.
“Hem ... saya ingin mengganti pakaian, Pak Kim,” ucap Sasi yang sama sekali tak menjawab ucapan Kim.
Kim tersadar jika dirinya menahan Sasi di ruangannya, karena memang menyuruh perempuan itu harus mengganti pakaiannya terlebih dahulu, sebelum pergi dari ruangannya.
Pria yang memang begitu tampan tak ada tandingannya itu terlihat sedang menormalkan keadaannya kembali. “Baiklah, kamu bisa menggantinya di kamar pribadi saya,” ucap Kim yang menunjukkan sebuah pintu di seberang sana. Sebuah kamar khusus untuk Kim mengistirahatkan tubuhnya setelah lelah bekerja.
Kedua mata Sasi pun mengikuti arah telunjuk Kim, perempuan itu merasa heran dengan sebuah kamar di dalam ruangan yang sedikit mencurigakan, bahkan otak Sasi sudah berpikiran ke mana-mana dengan kamar itu. Mengingat jika Kim adalah pria kaya dan terkenal yang banyak diidolakan oleh banyak perempuan, dirinya tak bisa melupakan dengan kehadiran Kim di restoran kala itu, yang disambut histeris oleh para pengunjung perempuan, bahkan dengan rumor yang beredar jika Kim adalah pria berengsek. Namun, bagaimana dengan tanggapan orang-orang yang mengatakan jika Kim adalah pria tak normal. Sasi dibuat pusing sendiri.
“Pergilah, Win. Nanti akan saya kabari lagi,” titah Kim yang menyuruh Win untuk pergi meninggalkannya berdua dengan Sasi.
“Itu salah satu ruangan Pak Kim?” tanya Sasi yang belum beranjak pergi.
“Iya, kamu benar. Tempat istirahat saya ketika saya lelah bekerja,” jawab Kim dengan santai.
Melihat keterdiaman Sasi yang belum pergi, dengan kedua mata yang masih menatap lurus ke arah kamarnya, membuat Kim ingin menggodanya lagi. “Kenapa lagi? Apa kamu ingin saya membantu mengganti pakaianmu, Sasi,” sahut Kim yang menggoda Sasi.
Sasi langsung menolak dan berjalan cepat menuju ruangan yang ditunjuk oleh Kim, tanpa membalas ucapan Kim. Sedangkan Kim hanya tersenyum melihat sikap Sasi yang ketakutan setelah dirinya digoda. Pria yang sedang jatuh cinta kepada Sasi, segera kembali ke meja kerjanya dengan kedua mata yang masih menatap lekat ke arah pintu. Kim mendudukkan bokongnya untuk beradu dengan kursi kerjanya meneruskan pekerjaannya yang sempat tertunda setelah kedatangan Sasi. Bahkan, dirinya terlupa belum mengatakan tujuanya memanggil Sasi untuk apa.
Kim mengusap-usap pelipisnya, mengingat kejadian demi kejadian yang terjadi pagi hari ini dengan Sasi. Bahkan dengan yang dilakukannya saja tadi sudah membuang waktunya saja.
Lima menit lamanya Sasi berganti pakaian, perempuan yang memiliki ciri khas selalu mengikat rambutnya itu segera keluar dari kamar Kim dengan kemeja yang begitu pas di tubuhnya, tidak membentuk lekukan tubuhnya. Sehingga dirinya bisa bebas pergi keluar tanpa harus dihentikan lagi oleh pria yang tak jelas itu.
“Oh, iya berapa perempuan yang telah dibawa Pak Kim ke kamar itu?” tanya Sasi dengan berani, sedangkan tangannya sedang sibuk melipat kemeja putih yang sempat dipakainya tadi.
Kim membulatkan matanya begitu mengerti dengan yang dikatakan oleh Sasi. Kim pun kembali beranjak bangun dari kursi kerjanya, berjalan mendekat ke arah Sasi yang masih tampak sibuk.
“Oh ... saya mengerti. Jadi maksud kamu kalau saya sering membawa perempuan ke kamar itu!” seru Kim yang mempertegas ucapannya di hadapan Sasi.
Dengan berani Sasi saling pandang kembali di depan Kim, dengan jarak yang dekat. “Memangnya perkataan saya salah, ya? Pak Kim ‘kan pria berengsek? Bukannya Pak Kim memang selalu berganti-ganti perempuan, bahkan saya masih ingat kok dengan pelecehan verbal yang telah dilontarkan oleh Pak Kim kepada saya waktu itu.” ungkap Sasi.
“Maka wajar jika saya nggak percaya dengan ungkapan perasaan Pak Kim ke saya, bahkan saya pun nggak percaya kalau Pak Kim ...” ucap Sasi yang mengarahkan jari telunjuknya ke arah samping dada Kim. “Bukanlah pria berengsek yang selalu melecehkan perempuan, seperti yang Pak Kim katakan ke saya tadi,” tukas Sasi yang masih berani, walaupun Kim sudah menatapnya dingin.
Kim melengkungkan sudut bibirnya mendengar pernyataan Sasi. “Kamu nggak bisa membedakan ucapan seseorang yang penuh kejujuran, dengan hanya sebuah candaan. Saat saya melecehkan kamu malam itu, saya hanya bercanda, Sasi. Akan tetapi dengan perasaan yang sering saya ucapkan ke kamu, itu sebuah tanda kejujuran. Seharusnya kamu mengamati kedua mata seseorang yang sedang berbicara ke kamu, kamu tatap kedua matanya lekat. Disitulah kamu akan tahu, apakah dia sedang berbohong atau berkata jujur.”
Sasi langsung terdiam mendengarnya, entahlah kali ini dirinya memang tidak bisa menganggap jika ucapan Kim tadi hanya sebuah kebohongan. Bahkan, Sasi melakukan apa yang Kim katakan barusan, yaitu menatap kedua matanya.
“Ketika seluruh kata-kata mencoba mendustakan seluruh isi hatinya, maka lihatlah matanya, karena mata tidak pernah berdusta. Mata adalah jendela hati, Sasi. Mungkin lidah bisa berbohong, akan tetapi tidak dengan mata. Kamu bisa melihat kejujuran dan ketulusan dari mata seseorag yang sedang bicara denganmu.”
“Tapi jika kamu ingin memakai kamar itu untuk pertama kalinya, sangat dengan senang hati saya berikan,” goda Kim yang terkekeh ketika melihat pipi Sasi yang mulai berubah merona karena godaannya.
To be continued...
“Nggak!” jawab Sasi singkat. “Mantan kekasih?” tanya Kim kembali yang begitu penasaran dengan kehidupan Sasi sebelum ia bertemu dengannya, tidak mungkin juga bagi perempuan itu tidak pernah berpacaran selama hidup, karena Sasi memiliki wajah yang cantik namun terasa sedikit pendiam dan mungkin kejadian di masa lalu yang tidak diketahui oleh Kim, membuat perubahan di sikap perempuan itu. Sasi begitu malas untuk membicarakan mengenai mantan kekasih, baginya setelah dikhianati oleh cinta pertamanya yang bernama Dave, ia sudah benar-benar mengubur ingatan dan kenangannya dengan Dave. Bahkan sekarang karena perasaannya yang masih digantung oleh Linggar tanpa ada kepastian, membuat Sasi pun sudah tidak memperdulikan lagi akan perasaan Linggar kepadanya, walaupun di dalam hatinya masih ada sosok pria itu. Sasi sudah benar-benar membuang kenangan dan menganggap keduanya sudah mati bak ditelan bumi, dan tidak penting harus dibicarakan kepada orang lain.
Sasi sedang berdiri menunggu taksi online yang sudah dipesannya tadi sesaat dirinya bergegas untuk segera pulang, karena melihat awan yang sudah mulai mendung membuat Sasi memilih untuk menumpangi taksi saja kali ini, daripada ia kehujanan karena harus menempuh perjalanan lagi menuju halte untuk menunggu bus. Karena jarak perusahaan dengan halte bus tidak terlalu dekat dan membutuhkan sedikit waktu.Sesekali Sasi mengarahkan matanya ke arah jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya, perempuan itu terlihat was-was ketika taksi online yang sudah dipesannya tak kunjung datang. Dirinya harus segera pulang untuk menyiapkan makan untuk sang ayah, karena ia tidak bisa mengharapkan banyak kepada ibu tirinya itu. Setelah menyiapkan makan untuk ayahnya, Sasi akan kembali bekerja di restoran sampai malam. Bukankah, hal itu begitu melelahkan fisiknya. Namun, tak ada yang dapat dilakukannya lagi selain bekerja untuk kesembuhan ayah tercintanya. Diberikan kesempatan untuk bekerja d
“Maaf, jika saya mengganggu obrolan Pak Kim dengan Nona Sasi, tapi saya datang ke sini hanya ingin memberikan pesanan dari Pak Kim,” ucap Win yang menghentikan kedua orang yang sedang bertatapan lekat, seperti seorang pasangan kekasih yang sedang dimabuk asmara.Mendengar suara Win, baik Kim mampun Sasi kembali menormalkan keadaannya seperti semula, seolah tidak terjadi apap-apa.Win masuk begitu saja ke dalam ruangan Kim dengan penuh senyuman, sembari menatap ketidakpercayaan ke arah Kim dan juga Sasi. Win merasa heran, karena baru perempuan yang terlihat sederhana inilah yang dapat masuk dan bercengkerama dengan atasannya. Mungkinkah jika perasaan atasannya ini memang benar adanya, dan bukan hanya kepura-puraan semata.Antara Kim dan Sasi tampak serempak menoleh ke arah Win yang sudah berdiri, dengan wajah yang masih menyiratkan senyuman. Sasi yang sebentar menatap Kim dan langsung dibalas tatapannya oleh Kim yang tersenyum aneh. Bahkan, di dalam posisi sepert
Sasi ingin segera keluar dari ruangan atasannya yang memang dirasa tidak waras. Bahkan dengan tatapannya yang semakin menggila, membuat jantung Sasi terus berdegap dengan kencang dan berpikirannya sudah ke mana-mana, karena ucapan dari Kim yang melantur.“Saya permisi, Pak Kim,” pamit Sasi yang akan segera pergi. Namun, langkah kakinya kembali dihentikan ketika Kim mencekal pergelangan tangannya mencegah Sasi untuk pergi.Antara Sasi dengan Kim saling pandang, Sasi yang tanpa sadar terus menatap wajah atasannya dari jarak dekat, membuatnya sedikit terbuat. Tersadar, Sasi pun langsung menurunkan pandangannya. Sudah dua kali bagi pria itu dengan berani menyentuh anggota tubuhnya, walaupun hanya tangannya saja tidak lebih. Namun, hal itu mampu membuat jantungnya terus berdetak tak karuan.“Lepaskan tangan saya, Pakm” pinta Sasi dengan sopan dan mencoba melepaskan diri dari cekalan Kim.Pergelakan Sasi tidak mampu membuat Kim melepaskan tangannya dengan begit
Sasi sudah berada di depan pintu ruangan Kim, ketika salah satu kepala divisi ruangannya memberitahukan kepada Sasi jika sang atasan memanggilnya. Dengan cepat Sasi segera menghentikan pekerjaan untuk menemuinya. Bahkan sekarang terpampang dengan jelas papan nama dari sang presdir yang bertuliskan Kim Andersean Bharaswarra ketika ia masih berdiri di depan pintu ruangannya. Begitu bodohnya bagi Sasi tidak mengenal sosok pria itu, yang Sasi tahu hanyalah nama depannya saja Kim saat di restoran. Namun ternyata nama panjangnya adalah Kim Andersean.Sasi masih berdiri dengan tatapan kedua bola matanya yang tampak lekat menatap papan nama itu. Perasaannya sedikit was-was ketika ia harus berhadapan dengan pria menyebalkan di hari pertamanya bekerja, dan posisinya hanya ada ia dengan Kim.
Hari pertama bagi Sasi untuk memulai pekerjaannya sebagai Graphic Designer di Perusahaan TBC milik Kim Andersean Bharaswarra. Terlihat Sasi yang mengembuskan napasnya secara pelan jika mengingat dirinya akan berhadapan lagi dengan pria menyebalkan seperti Kim. Sasi mencoba menyemangati dirinya untuk bekerja pagi ini, dirinya harus bersikap profesional dalam bekerja tidak boleh memasukkan urusan pribadi ke dalam pekerjaannya, terutama urusan dengan sosok Kim, walaupun ia begitu malas harus bertemu dengan pria aneh yang pertama kali ditemui di muka bumi ini.“Semangat Sasi, gue yakin kalau Pak Kim nggak mungkin berbuat yang macam-macam sama lo, jika dia nggak mau reputasinya hancur di perusahaan karena kelakuannya itu,” lirih Sasi yang kembali menatap penampilannya yang sudah rapi di depan cermin, walaupun begitu terlihat sederhana tidak mencolok dan menonjol apapun. Mana ada pria yang mau melirik kepadanya.Sasi segera mengambil tas kerjanya yang tergeletak di atas nakas
“Apa yang sedang dilakukan Pak Kim di sini, hah? Pak Kim nggak bosan-bosannya menggangu hidup saya,” ujar Sasi dengan nada suara sedikit ketus di hadapan Kim, bahkan Sasi mengerutkan keningnya ketika harus berhadapan lagi dengan Kim, pria yang sudah menjadi atasannya sekarang.Diperhatikannya sikap Kim yang tampak santai seperti tidak merasa bersalah, karena Sasi yakin kedatangan pria itu hanya ingin mengganggunya saja, tidak lebih yah seperti itu. Sementara Kim hanya tersenyum simpul dengan wajah keterkejutan Sasi. Kim begitu suka dengan raut wajah Sasi yang ditampilkan seperti itu. Dalam pandangan matanya jika Sasi tampak lucu.“Pertanyaan kamu itu bodoh banget, Si. Saya di sini sebagai tamu, dan kamu harus melayani saya,” balas Kim yang mengubah posisi duduknya dan membuka maskernya sebentar untuk menyesap kopi buatan Sasi yang dirasa begitu menggoda matanya.Sasi hanya dapat menggerutu dalam hati, bisa-bisanya ia bertemu lagi dengan pria menyebalka
Kim menyemprotkan parfum kesukaannya di setiap ruas pakaian yang dikenakannya malam ini, aromanya begitu maskulin. Bagi perempuan yang menghirup aroma parfum Kim pasti akan langsung terpincut. Bahkan rambut yang sudah dioles pomade tampak berkilap, bibirnya yang sedikit kemerahan melengkung bebas sembari menatap wajah tampannya di depan cermin.Sebelum pergi, Kim memperhatikan kembali penampilannya yang memang sudah terlihat rapi. Jam tangan mewah buatan Swiss yang melingkar di pergelangan tangannya. Tak menunggu lama Kim berjalan keluar menuju mobil mewahnya yang sudah terparkir di halaman rumahnya yang begitu luas.Kim hidup seorang diri di rumah miliknya dan ada beberapa pelayan yang bekerja di rumahnya, setiap pelayan sudah diberikan tugas masing-masing, sikap Kim kepada para pelayannya pun terbilang baik dan ramah, walaupun wajahnya sering menampilkan tatapan dingin. Bahkan Win sang sekretaris Kim pun tinggal dengannya, kemanapun Kim pergi pasti Win akan ikut dengan
Kim menyimpan cangkir kopi buatan Win ke atas meja, karena setelah kepergian Sasi tak lama sang sekretarisnya itu tiba dengan membawa secangkir kopi. Padahal Kim tidak memerintahkannya namun atas inisiatif Win sendiri.“Apa interviu-nya berjalan lancar, Pak Kim?” tanya Win karena melihat gelagat Kim yang tidak biasa. Karena Win menyadari jika salah satu karyawan yang diinterviu-nya oleh Kim adalah perempuan semalam, perempuan yang telah membuat sikap Kim sedikit berubah dan mengenal dengan yang namanya cinta lagi, setelah melupakan pengkhianatan yang dilakukan oleh cinta pertamanya. Dan baru sekarang jika atasannya itu mengenal cinta lagi. “Tentu saja berjalan lancar, tidak banyak yang saya tanyakan kepada Sasi. Karena saya sudah sangat percaya dengan kinerja perempuan itu yang memang seorang pekerja keras,” balas Kim yang menatap ke arah layar laptopnya yang menyala. Tanpa diketahui oleh Win, jika sejak tadi Kim sedang mengamati foto-foto Sasi yang di