Share

Jonathan Deers

Untuk pertama kalinya, aku harus menghapus banyak rekaman dalam kurun waktu bersamaan. Beruntung beberapa toko dan rumah, penjaganya tak begitu memperhatikan hingga membantuku leluasa menyabotase hasil kamera pengintai. Sayanganya, dari beberapa rekaman, tak juga kutemukan di mana sosok ibu Rose berada.

Saat urusanku dengan segala tetek bengek kamera pengintai usai, kuarahkan langkah ke sebuah kafe di seberang jalan. Gadis kecil itu masih setia menanti di depan toko mainan tempat di mana ia percaya, ibunya akan kembali menemui. Ada rasa haru yang merebak dalam dada, saat mengingat hidupku yang tanpa orang tua.

Sebelum ke sini, ada keinginan untuk kembali mendekatinya, tapi urung kulakukan. Mengingat umur yang mungkin akan mempertemukan kami kembali suatu saat nanti. Lebih baik, aku tetap di sini. Mengamatinya dalam diam hingga sosok yang dipanggilnya ibu kembali menjemput pulang.

Tak terasa, mentari kian beranjak naik. Kupesan lagi sebuah minuman dingin demi mengisi ulang cairan badan agar tetap terhidrasi. Sembari terus menilik Rose hati-hati. Suasana kafe yang lumayan ramai, sedikit menguntungkan karena Rose tak menyadari keberadaanku dari balik jendela kaca. 

"Hai, sendiri?"

Suara bariton itu mengejutkanku, seolah-olah tengah tertangkap basah tentang apa yang hendak disembunyikan. Tanpa mengalihkan pandangan, hanya menatap pantulan bayangnya dari jendela, kuanggukkan kepala mantap. Sembari terus menetralkan degup jantung yang entah sejak kapan bertalu bak genderang perang. Tak seperti biasanya.

"Boleh aku duduk di sini?"

"Silakan."

"Sejak tadi, kurasa kau sedang mengamati gadis itu."

Lantas, kuraih gelas tinggi penuh embun dan menyesap isinya sejenak. Sebelum akhirnya, kutatap pria yang juga sedang memandang Rose. Kukerutkan kening sebentar, lalu kembali fokus pada objek di luar sana. 

"Namanya Rose. Dia bocah yang selalu berdiri di sana sepanjang hari, menatap jalanan atau mainan di balik jendela kaca."

Sontak, kupandang ia lekat-lekat. "Kau tahu banyak tentangnya?"

"Iya, dia tetanggaku. Bukan tetangga samping rumah, tapi rumah bibinya ada di sekitar kompleks perumahan yang sama denganku."

"Ke mana ibunya?"

"Kau mendekatinya tadi?" Mata pria itu menatapku tajam, seakan mengintimidasi. Kuanggukkan kepala perlahan, sembari kembali menyesap minuman dingin dalam gelas tinggi. "Kau yang membelikannya mainan?"

"Iya, aku. Tak tega rasanya melihat Rose tersesat seorang diri."

Lantas, ia terbahak lantang. Gema tawanya memecah keramaian, hingga beberapa pengunjung kafe menatap kami berdua. Dengan cepat kualihkan pandangan pada Rose di seberang jalan sana, berharap mereka tak memindai wajahku dengan cermat.

"Kaupikir, gadis manis itu tersesat, huh? Mana mungkin ada gadis tersesat yang tak menangis barang sekejap?"

Keningku berkerut, kupikir perkataannya benar. "Lantas?"

"Dia hanyalah sebuah maskot toko mainan, berharap ada orang asing yang lewat dan iba, lalu membawanya ke dalam dan membeli mainan di toko milik bibinya. Hingga petang menjelang, ia akan mengembalikan mainan itu ke tempat semula. Kau hanya korban penipuan, Nona."

"Aku tak mengerti." Aku menggeleng kuat, lalu kembali melirik ke arah gadis kecil di seberang jalan.

Kini, wajahnya memandangku serius. Iris cokelat hazelnya seakan-akan membuatku terpesona barang sekejap. Lalu sekali lagi ia mengembus napas kasar sebelum kembali menguntai kata. "Dia hanya gadis depresi yang dimanfaatkan oleh bibinya."

"Jadi yang membawanya ke sana adalah bibinya? Bibinya adalah ibunya?" Entah mengapa rasanya aku tak terlalu terkejut dengan pernyataan pria ini, seolah-olah tahu bahwa tak ada hubungan erat tanpa imbalan apa pun.

Pria itu menegakkan punggung, lalu bersandar pada bahu sofa. Tangan kirinya memainkan cambang di sekitar rahang, sedangkan tangan kanannya merentang di sandaran sofa. "Ibunya telah lama meninggal karena sebuah kasus pemerkosaan, sedangkan paras bibinya hampir sama dengan sang ibu. Membuat si bibi dengan mudah memanfaatkan si gadis kecil itu."

"Dramatis sekali." Ah, pantas saja wanita yang kulihat dari kamera pengintai tak kunjung ke luar dari toko mainan.

"Jika kau tak percaya, kau bisa tetap di sini hingga petang datang. Dan lihatlah, esok di jam yang sama, mereka akan kembali mengulang kejadian serupa."

Aku hanya manggut-manggut mengiyakan, sedangkan pria tadi mengulurkan lengannya dan menyimpul senyum ke arahku.

"Aku Jo. Jonathan Deers."

"Aku, Grace." Kusambut uluran tangannya yang kekar sebentar, sebelum akhirnya kembali menatap ke arah luar jendela. Berharap pria ini lekas pergi tanpa mengingat percakapan ini.

"Sepertinya kau masih belum percaya."

"Akan kubuktikan sendiri."

"Baiklah, ini kartu namaku. Mungkin lain kali kau hendak mengobrol bersama."

Setelahnya, tak lagi terdengar suara bariton itu. Kualihkan pandangan pada meja di depan, sepucuk kartu nama ada di sana. Lekas kurauih dan membuangnya tepat di bawah meja. Aku tak butuh mengobrol dengan siapa pun, bahkan berkencan dengan pria sekalipun.

Hari beranjak gelap, saat kulihat seorang wanita paruh baya keluar dari toko mainan. Ia tersenyum, lalu meraih tas belanjaan yang tadinya kubelikan untuk Rose. Setelah memasukkannya kembali dalam toko, sesuai dengan cerita Jo, ia menggandeng Rose untuk pulang.

Entah mengapa, hatiku seakan-akan sakit melihat kenyataan ini. Entah karena gadis kecil itu mengingatkan pada masa laluku, atau karena perlakuan sang bibi tanpa nurani membiarkan kemenakannya sendirian di tepi jalan. Seorang gadis kecil tanpa diberi makan dan minum selain dari beberapa pejalan kaki yang tampak kasihan. 

Entah wanita macam apa bibi si Rose. Bagaimana bisa ia begitu kejam pada anak saudarinya sendiri? Bukankah aku yang tiap tahun menjajakan tubuh ini sudah selayak bangkai yang hina? Lalu sehina apa mereka yang hidup tanpa nurani?

Lantas, kuteguk minuman yang tak lagi dingin di gelas kelima hingga tandas. Lalu dengan segera membayar semua tagihan dan lekas berlalu. Hingga suara Jonathan kembali terngiang tanpa raga. Suara baritonnya seakan-akan terdengar menggema dalam ingatan. Mengenai Rose, ibunya, bibinya, Deers. Semua masih terngiang jelas dalam benak.

Kuputar arah langkah untuk kembali ke kafe, sebelum akhirnya kuputar lagi haluan di langkah kelima. Begitu seterusnya hingga petang benar-benar merajai hari. Haruskah aku kembali untuk mengambil kartu nama itu di tong sampah? Ah, tidak-tidak! Aku pasti sudah gila! 

Kuderap langkah cepat hingga sampai di depan pintu apartemen. Kubuka anak kunci dan lekas berbenah diri. Di bawah guyuran air hangat, kurasakan sensasi yang menghunjam dada. Seakan-akan mampu melepas penat setelah seharian mengamati gadis kecil di depan toko mainan.

Kupejamkan mata sejenak sembari terus merasakan sensasi pijatan lembut pada seluruh wajah. Tiba-tiba saja, kedua mata tajam berwarna cokelat hazel itu kembali menatapku lekat. Kubuka kedua mata, tetapi tak ada apa pun. Kembali kupejamkan mata, bukannya gelap yang menyergap, melainkan sepasang iris mata menawan yang menatapku tajam tanpa jarak.

Lekas kusudahi pancuran air dan bergegas keluar mencari sumber energi. Baru teringat, bahwa seharian ini tak kutemukan perbuatan asusila sepasang manusia di sepanjang jalan. Setelah mengenakan pakaian, perlahan tapi pasti kususuri lorong-lorong tengah kota yang mungkin menjadi tempat bercumbu para pasangan muda. Sayangnya, malam ini tak satu pun kutemukan mereka.

Terpaksa, kulangkahkan kaki menuju area pinggiran kota tempat beberapa motel murahan menjajakan kamar durjana. Kini, semerbak aroma pergumulan itu kian tercium lekat. Tanpa basa-basi, lekas kumasuki satu per satu motel murahan. Berusaha mengajak beberapa karyawan untuk membawaku berkeliling kamar. Bukan untuk menyewa bermalam, tetapi lebih untuk mereguk segala energi pergumulan malam para pasangan tanpa ikatan.

Tanpa mereka ketahui, sebagian besar berat badan mereka akan terserap mengikuti aroma penyatuan yang kuhisap diam-diam. Beberapa ilmuwan mengatakan, bahwa pergumulan sama halnya dengan berolah raga selama hampir tiga puluh menit di bawah sinar mentari. Faktanya, akulah yang menyerap sebagian energi mereka hingga hampir seperdelapan dari berat badan mereka menghilang. 

Akulah yang menyebabkan mereka letih sepanjang malam setelah menuntaskan hasrat. Akulah penyebab habisnya energi mereka setelah asyik bercumbu dan bermain-main walau sekejap. Fakta yang paling mencengangkan, jika saja mereka tahu, bahwa monster cantik sepertiku bebas berjalan-jalan ke mana langkahku membawa.

Ira Yusran

Ohiya, Gaes, jadi nanti si Grace ini bakal dilock ya,meski belom tau mau dikunci bab berapa. Jadi mulai sekarang, yuk beli koin. Atau bisa ngumpulin koin dengan log on tiap hari. Mayan kan kalo tiap hari bisa ngumpulin 10koin. Jan lupa tinggalin jejak, ya, salam hisap 💚

| Sukai

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status