Kulangkahkan kaki dengan tergesa, sembari melirik sesekali ke arah belakang. Entah sudah berapa lama aku menjadi objek penelitian para bedebah di rumah pesakitan. Satu hal yang kutahu pasti, sedikit banyak mereka mengerti akan diri ini yang berbeda dari manusia lain.
Beruntung, luka pada wajah akibat ekorku sendiri masih basah. Setidaknya, mereka tak akan mengetahui wajahku seutuhnya. Terlebih, mereka akan terkecoh dengan luka yang bertolak belakang dengan lainnya.
Beruntung, rumah sakit itu tak terlalu dijaga dengan ketat. Tangga darurat yang tampak tak pernah dilewati menjadi tempat tujuanku yang pertama.
Kuhancurkan semua kamera pengintai sebelum akhirnya melesat secepat kilat ke lantai teratas. Dari sana, aku bisa ke luar tanpa terdeteksi siapa pun.
Sayangnya, rencanaku tak semulus sebelumnya. Ada seseorang di halaman atas. Tak mungkin rasanya jika tiba-tiba kubentangkan sayap dan melesat begitu saja. Apalagi, wanita itu melihatku saat langkah ini baru sampai di anak tangga teratas.
Napasku terengah. Lelah. Ia menoleh, lantas tersenyum hampa. Binar pada kedua matanya tak bisa kuartikan maknanya.
"Kau putus asa juga?" tanyanya sembari mendekat.
Aku menggeleng, lantas mencoba membuang muka. "Aku hanya ingin cari udara segar."
Ah, aku lupa. Luka pada wajahku masih belum kering dan sembuh sempurna. Ia tak akan mampu menamatkan wajahku nantinya.
Kulewati ia dengan cepat, lalu melongok pada ketinggian yang tercipta di pangkal pagar. Lumayan tinggi.
"Jangan pernah berpikir untuk bunuh diri. Kau tak akan sanggup."
Aku mengernyit, lantas menatapnya lekat. Tahu apa dia mengenai kesanggupanku?
"Kita baru bertemu, tak elok rasanya jika sok tahu dan sok peduli."
Kulihat, ia menatap langit gelap. Tak ada bintang malam ini. Bulan pun hanya sebagian.
"Kita selalu ada dalam kapal yang sama, Nona," jawabnya.
Aku mulai kesal, lalu berkacak pinggang sembari memelototinya. "Kau tak tahu apa pun tentangku, Nona!"
Tangan kanannya diangkat, menunjukkan secangkir kertas yang entah isinya apa. Namun, menilik dari caranya yang elegan, mungkin itu adalah cokelat panas.
Ia melangkah, mulai mendekat. Manik kedua matanya hitam pekat. Bahkan, tak terlihat seberkas cahaya di sana.
"Kau mau?" tanyanya sembari menyodorkan minuman.
Aku menggeleng, lalu melipat kedua tangan di dada. "Kenapa kau di sini? Kau pasien atau kerabat?"
Ingin rasanya aku melesat, meninggalkan tanya dalam benak jika saja ini adalah rumah pesakitan bagi jiwa-jiwa yang lemah. Sayangnya, itu tak mungkin terjadi.
"Aku terluka begitu dalam. Bukan pasien ataupun kerabat."
Aku makin tak paham apa yang dikatakan wanita berambut lurus ini. Ia terlalu banyak minum, atau mungkin dia terlalu banyak menenggak obat?
"Aku akan kembali, kau bisa menikmati kesendiriamu di sini."
Hampir saja aku berbalik arah hendak pergi, saat ia kembali berkata, "Aku yang seharusnya pergi. Sudah cukup bagiku untuk sekadar melepas penat dan memintal harap pada penguasa malam. Selebihnya, kubiarkan angin-angin berlalu dan menyampaikan rindu pada pemiliknya."
Aku mengangguk, lantas tersenyum ke arahnya. Hanya sebentar hingga ia tak lagi terlihat.
Anehnya, entah mengapa ucapannya barusan membuatku mengingat sosok Jonathan. Mungkin, wanita tadi tengah dirundung masalah pelik hingga membuatnya begitu bijak.
Atau hanya aku yang hidup terlalu lama tanpa belajar banyak hal mengenai arti dan makna kehidupan dan sebagainya?
Lekas kubentang sayap dan segera melesat. Menjauhkan diri dari segala ancaman pada bedebah rumah pesakitan.
Sekarang, di sinilah aku. Terbirit-birit berlari hendak menghindari para pemburu manusia setengah dewa. Meski mereka tak benar-benar tahu, tetapi mereka tetap penasaran hendak menjadikanku objek penelitian.
Baju telah kuganti, bersamaan dengan perban luka pada wajah yang kubuka dengan paksa. Setidaknya, dengan begini aku tak akan dikenali sebagai pasien buronan.
Brakk!!
"Kau tak punya mata, hah?!"
Aku yang jatuh terduduk, lantas dengan cepat bangkit. Betapa terkejutnya diri ini saat melihat siapa yang telah menabrakku hingga terjatuh. "Deasy?"
Wanita berambut keriting itu ternganga, lalu menutup mulut yang seolah-olah tengah tertawa miris. Aku mencebik.
"Kenapa wajahmu jadi sehancur ini? Hartamu telah habis? Lalu kau pindah ke daerah terpencil seperti ini?"
Aku mulai berkacak pinggang, lalu tersenyum hampa padanya. "Kau dendam padaku, 'kan?"
Tangannya membentang, lalu menepuk-nepuk bahuku keras. "Kau tahu itu dengan pasti, Grace. Karenamu, aku kehilangan kesempatan untuk dipromosikan. Andai saja ... ah, sudahlah. Yang jelas, kali ini aku merasa puas setelah beberapa bulan mengejarmu tanpa hasil yang berakhir dengan pemutusan kerjaku di kota besar!"
Aku menyeringai, lantas melipat tangan di dada. "Kau tahu pasti, Deasy, aku memang berantakan di sini, tapi uangku masih banyak. Bahkan untuk membelimu saja bisa kulakukan dengan mudah."
Sontak, tawanya membahana, bersamaan dengan suara gemuruh tepukan kedua telapak tangan. Mengapa?
"Bicaramu terlalu besar, Grace. Kuakui kau memang anak orang kaya, tapi jika orang tuamu bangkrut, apakah kau akan tetap sekaya itu?"
Kuraih tangannya yang masih bersatu dan bersandar di dada, dengan pelan kuremas tangannya kuat. Terlihat dari raut wajahnya, ia merasa kesakitan. "Sakit?"
"Kau gila, Grace? Kau akan mematahkan tanganku hanya karena tepuk tangan?" tanyanya. Wajah itu penuh ketakutan. Aku suka.
"Bukan begitu, Deasy, aku hanya ingin mengingatkan. Jangan samakan hidupku dengan hidupmu. Kita mungkin memang terlihat sama, tapi percayalah, kau akan takjub jika tahu yang sebenarnya."
Deasy mengangguk lemah, lantas kedua matanya menatapku penuh permohonan. Tanpa bicara, aku tahu pasti ia ingin dilepas. Tak semudah itu, Kawan.
Sekali lagi, kuremas tangannya perlahan. Ia memekik, wajahnya mendongak mungkin hendak menatap angkasa. Lengkingannya kian terdengar pilu tatkala kulepas genggaman tangannya.
"Kau harus ingat ini Deasy, ini bukanlah penyerangan. Tapi pembelaan diri dari aksi yang tidak menyenangkan. Sudah lama aku ingin merobek mulutmu yang seenaknya berucap. Jangan samakan sepatumu dengan sepatuku. Camkan itu!"
Aku beranjak pergi setelah melihat anggukan kepala Deasy. Wanita itu, memang harus diberi sedikit pelajaran. Meski ia tak melakukan aksi kejahatan, tetapi ia adalah perantara para aktris majalah untuk menjajakan tubuh mereka pada banyak politisi dan aktor papan atas. Setidaknya, ia mendapat sedikit hukuman atas apa yang dibalutnya cap model, padahal hanya pilihan para pekerja pemuas gairah penggilan.
Demi menyamarkan jejak, aku harus segera menghisap darah manusia. Dengan begitu, luka yang diakibatkan oleh ekorku akan segera menutup.
Malam kian larut saat kujelajahi pinggiran kota yang temaram. Lantas, ketika ada seorang pria tua hendak mendekat dengan aroma gairah yang telah memuncak, aku menyeringai.
Malam ini, si tua bangka akan membantuku pulih dengan cepat. Membuat kecantikanku kembali utuh layaknya gadis dengan kulit wajah kencang.
Ia tersenyum dengan kerlingan mata hendak menggoda. Kugerakkan jemari agar ia mendekat bersamaan dengan mata yang menelisik tiap sudut jalanan lengang. Tak ada kamera pengintai, pun jendela dengan lampu menyala.
Cepat kubawa ia ke sebuah jalan kecil dan menghisap darahnya hingga tandas. Setelah luka menutup dalam sekejap, aku melesat, menembus langit malam dalam kesunyian, meninggalkan jasad manusia yang tak lagi berdaya.
Salam Hisap, efribadih 💚 selamat menikmati 💚
Kubuka mata pelan sembari memecing berulang. Seberkas cahaya putih membuatku harus menutup mata lagi untuk beradaptasi."Kau sudah sadar?"Suara Jonathan terdengar begitu dekat nan cemas. Aku mengangguk meski belum tahu pasti di mana diri ini merebah."Kau pingsan dua hari."Aku menanap. Dua hari katanya? Saat membuka mata itulah aku melihat sosok Jonathan dan Jean. Aku .... "Di mana Hard? Bagaimana dengan Nathalie?"Jean mendekat, lalu menggenggam jemariku kuat. "Tenang, Grace. Semua sudah berakhir sesuai rencana kalian."Kulihat Jonathan juga tersenyum ke arahku. Senyum yang membuatku merasa tenang dan aman. "Mana Hard?""Kita tak melihatnya selama ini. Mungkinkah dia kembali ke dunia bawah tanah?"Aku memberengut. "Lalu bagaimana bisa diriku ada di sini? Siaap yang membawaku kemari?""Seorang p
Udara dingin merasuk hingga ke tulang belulang saat kami telah saling berhadapan. Jarak kami masih sangatlah jauh, tetapi melihat kekuatan para iblis itu tak begitu menyusahkan. Sepertiku, pasti tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana.Mereka terlihat banyak, menggerombol di ujung padang pasir dekat dengan pintu masuk ke dunia bawah tanah. Aku mulai gusar, tapi Hard makin terlihat kian membara."Jangan pikirkan jumlah, Grace. Kita menang banyak. Bahkan, Pangeran dari Neraka pun memihak."Kulirik para jenderal perang. Mereka telah siap dengan wujudnya masing-masing. Lekas, kuubah diri menjadi jati diri yang sebenarnya. Sementara Hard, tiba-tiba jubahnya bersinar seterang bulan yang menguasai malam. Aku bahkan tak pernah tahu jubah itu bisa menyala dalam gelap.Hanya dalam sekejap mata, Nathalie telah berada di hadapan Hard. Ia melirikku sebentar. "Kau akan meneruskan ini atau akan memberikan Grace s
Hari telah tiba. Matahari di ujung peraduan tampak malu-malu untuk menerik, menghangati bumi. Atau, bisa jadi ia enggan untuk sekadar melihat kerusakan yang akan terjadi.Ini hari terakhir, sebelum esok tiba. Malam nanti, bulan purnama akan bersinar terang untuk yang ke 6500 usai pertempuran pertama.Aku dan Hard masih di dalam mobil, menunggu seseorang yang katanya akan segera datang. Sayangnya, sudah lebih dari dua jam ia tak kunjung menampakkan batang hidungnya."Ke mana pangeran itu?"Hard menggeleng. Aku mengalihkan pandang ke arah luar. Lantas, tercium aroma gairah yang begitu lembut nan menggoda, tetapi juga kuat nan tajam. Entahlah, aku tak bisa mendeskripsikannya.Jauh di ujung jalan sana, kulihat ada seorang pria yang tampaknya melihat ke arahku. Ia mengulas senyum. Ah, bukan. Seringai, ia melempar seringai padaku. Salah satu tangannya diangkat, telunjuknya melambai.
"Sabarlah. Kita hanya harus menyelesaikan ini agar semua usai."Aku mengangguk. Ya. Kita sudah sejauh ini setidaknya harus usai setelah ini. Lima hari lagi. Dan semua akan berhenti. Entah aku atau Nathalie yang mati."Kalian tak perlu ikut bersama kami. Cukup diam di sini. Lindungi aku dengan cara melindungi kalian sendiri. Jangan pergi ke mana pun seorang diri."Akhirnya Jonathan mau mendengarkanku. Begitu pula Jean. Beruntung aku punya keterikatan yang mematikan. Jika saja tak ada ikatan itu, mungkin mereka masih akan bersikeras untuk ikut."Turki adalah negara yang aman. Tak ada iblis murni di sini. Jangan pernah menyahut saat ada yang memanggil kalian. Tak ada yang mengenal nama kalian di sini. Jadi, jika ada yang memanggil nama kalian dengan sangat jelas, bisa kupastikan mereka suruhan Nathalie."Jonathan dan Jean mengangguk, lantas saling berpandangan dalam diam. "Haruskah
Perempuan ini, dia terus menatapku tanpa henti. Tatapan yang mengunci, seolah-olah akulah mangsanya yang terakhir. Sedangkan pria di sampingnya, ia malah menatap nyalang, seakan-akan akulah musuh bebuyutan."Aku tau, masing-masing dari kalian punya motif tersendiri. Jadi aku meminta bertemu hanya untuk meyakinkan, bahwa Grace memanglah gadis yang diramalkan."Keduanya mendesis bersamaan. Pasangan ini memang tampak serasi. Satunya cantik dengan bagian bawah tubuhnya bak ular, sedangkan yang satu pun terlihat lebih tampan dari iblis kebanyakan. Tubuhnya penuh sisik dengan jambul di kepalanya. Perpaduan manusia dan ular yang menarik."Kalian tau, kekuatan kami tak sebanding dengan banyaknya pasukan yang telah disiapkan di barat gate. Banyak dari mereka punya kekuatan yang lebih daripada kami," ucap Damballa."Aku tak meminta kalian untuk bertarung berdua. Kita bersama. Ada banyak, mungkin lebih dari dua
"Kau yakin, mereka aman di sana?"Hard mengangguk. Diembuskannya asap sisa pembakaran sigaret yang terjepit di antara kedua jemarinya. Ia tampak tenang, seperti biasa."Kalau mereka berontak? Menyusul ke Turkmenistan, apa yang bisa kita lakukan?"Kali ini, tatapan teduh Hard menatapku dalam nan lekat. "Kau tau, Grace. Meski Jonathan punya kekuatan sepertimu, dia tetap manusia biasa seperti pada umumnya. Sedangkan yang akan kita hadapi nanti adalah peperangan sesama iblis yang tak punya belas kasih. Jika Jonathan mati di sana, tak berguna lagi peperangan ini tercipta.""Lantas, untuk apa separuh kemampuanku ditransfer padanya?"Hard terdiam. Ia meraih bahuku setelah meletakkan sigaret di asbak. "Itu bukan keinginan kita. Itu kerja alam. Timbal balik dari penyatuan kalian berdua."Aku menghela napas panjang, lantas melihat ke sekitar. Lantas, tersentak saat sad
Hari sudah gelap saat pesawat yang kami tumpangi baru saja mendarat dengan mulus. Penerbangan dari Miami ke London memakan waktu lebih dari delapan jam. Terhitung, sudah seminggu aku dan Hard mengumpulkan banyak sekutu.Menurut perhitungan dari laporan seluruh iblis yang menerima persekutuan, sudah ada sekitar 18 iblis murni yang mengulurkan tangan. Belum iblis turunan yang memang mereka ikut sertakan."Itu bahkan sebelum seperempat dari total iblis murni yang memihak Nathalie, Hard."Ucapan Jonathan memang benar adanya. Namun, hampir semua iblis yang telah rela mengubah haluan itu adalah para barisan makhluk tertua. Bahkan, terkuat pada eranya.Terlebih Jersey. Ia tak akan mati semudah itu. Tak ada yang tahu apa kelemahannya, kecuali aku. Pukulannya mampu membelah bebatuan besar. Jika ia masih memegang janjinya, aku tak perlu khawatir pada musuh yang mungkin tubuhnya lebih besar.
"Kau beruntung tanduknya bisa tumbuh lagi, Grace."Aku membuang muka. Bukan salahku jika harus meladeni amarahnya, 'kan?""Memang bukan salahmu karena membela diri. Hanya saja, kau lupa bahwa ada peraturan mengenai hak wilayah perburuan. Bukan hanya manusia yang punya dasar-dasar aturan. Kita juga punya."Kuhela napas panjang, lantas kembali menatap titik-titik cahaya di dekat telaga. Mungkin, para manusia itu sedang mencari sumber suara geraman yang tercipta tadi. Aku tak yakin, mereka akan menyimpulkan ini ulah hewan buas. Kerusakan yang terjadi di luar nalar dan batas binatang."Biarkan mereka dengan opini masing-masing. Setidaknya, jangan sampai manusia tahu banyak iblis berada tak jauh dari mereka."Aku bergeming, lantas menatap Hard dan Jersey bergantian. "Ia tak kembali ke wujud manusia?"Hard mendekat, lalu duduk bersisian denganku. "Dia bukan iblis s
"Beraninya kau melanggar batas!"Suara berat itu menggelegar, membuatku sedikit terguncang. Ia melompat, dalam sekejap saja sudah berada di hadapan. Seluruh tubuhnya yang merah, serta tanduk yang memanjang membuatku ngeri menatapnya lebih lama.Tubuhnya yang gempal langsung membekap dan membawaku bersamanya. Dari ketinggian, kulihat Jonathan yang bergeming di bawah sana. Pun Hard yang juga mematung di tempat.Cepat kubentang sayap hendak meloloskan diri dari cengkeraman tangan besarnya yang kuat. Sayangnya, untuk bergerak seidkit pun aku tak mampu. Apalagi hendak membentangkan kedua sayap."Kau tak akan bisa lepas!"Sekali lagi, suara itu menggema bak lindu yang mengguncang. Kulihat sekeliling, mengabaikan embusan angin. "Hard!"Brak!Tubuhku dibanting, aku terpelanting hingga menabrak bebatuan di pinggiran danau. Kepalaku pusing. "Tu ...