Share

-6-

Fajar mulai berpendar kemerahan. Endaru tiba di batas Kademangan Jetis setelah berjalan hampir semalaman. Bibirnya membiru dengan rahang yang terus-menerus bergemeletuk. Bebat luka di wajahnya sudah lembap karena darah yang terus saja merembas. Lukanya masih terasa menyayat-nyayat dan semakin perih setiap kali melangkahkan kaki. Dia berjongkok sambil bersedekap di bawah beringin tua untuk mengistirahatkan raga yang larat.

Dia harus segera tiba di Pesantren Tegalsari untuk meminta perlindungan kepada siapa saja yang berada di sana. Terlihat dua orang preman memanggul buntelan dari kain sarung berjalan meninggalkan gapura Kademangan Jetis. Endaru segera bangkit dan mengadang salah satu dari mereka.

Kulo nuwun,[1] Pak Lik.” Endaru memberikan tabik.

Partikelir itu tersentak melihat bebat kain di wajah Endaru yang memerah. “Kau terluka, Nak?”

Pria itu tiba-tiba berlari ke arah semak belukar untuk mencari sesuatu. Endaru menunggu dengan rasa sakit yang menjadi-jadi. Tak lama preman itu kembali dengan membawa beberapa lembar daun berwarna merah dan hijau pada masing-masing sisi yang berbeda. Dia berjongkok dan menumbuk daun-daun tersebut hingga lumat menggunakan batu.

“Kemarilah!” perintahnya pada Endaru. Dilepasnya bebatan pada wajah si bocah yang terlihat kesakitan.

“Kau harus bisa menahannya karena akan terasa perih.” Lumatan daun tadi dia bobokkan pada luka Endaru yang menganga lalu membebatnya kembali dengan selembar kain baru yang biasa digunakan untuk udeng.

Endaru menggigit bibir menahan perih yang menjadi-jadi.

“Ini adalah daun sambang getih. Jika kau menumbuknya bisa digunakan untuk menghentikan pendarahan. Namun, aku tidak yakin matamu akan baik-baik saja karena sepertinya luka itu cukup dalam.” Pria itu bangkit dan memanggul kembali buntelannya.

“Tunggu, di mana letak Pesantren Tegalsari?” tanya Endaru seraya turut bangkit.

“Ada di batas sisi selatan. Kau mau ke sana? Aku harus meneruskan perjalanan dan semoga kau baik-baik saja.” Preman itu berlalu meninggalkan Endaru yang masih memaku diri di depan gapura.

Paman itu sudah pergi dan aku belum menyampaikan terima kasih.

Bocah bercawat itu baru melangkah beberapa hasta ketika sebuah dokar menyusul dari belakang. Dia menepi untuk memberi jalan. Di belakang dokar berdiri seorang jongos pria yang menandakan sang penumpang dokar adalah perempuan dari keluarga terpandang. Akan tetapi, dokar itu berhenti tak jauh setelah melewatinya.

Endaru terus memperhatikan. Si jongos yang berdiri di bagian belakang dokar segera turun dan berlari ke depan untuk menghadap sang majikan. Entah apa yang penumpang itu perintahkan, tetapi si jongos melihat sekilas ke arah Endaru dan mulai berjalan menghampiri.

Bocah cilik itu merasakan ancaman segera datang. Dia berbalik dan bersiap lari ketika si jongos tiba-tiba mencengkeram dan menarik lengannya.

“Jangan takut! Ndoro Putri hanya ingin berbicara denganmu.”

Endaru berhenti meronta dan menatap tepat ke mata sang jongos. Apa ini tipuan? Kenapa semua orang perlu memburuku?

“Siapa namamu?” tanya si Jongos. “Mari bicara sebentar dengan Ndoro Putri!”

Endaru menurut ketika tangan sang jongos menariknya menghadap penumpang dokar. Seorang perempuan bertubuh sedang mengenakan kebaya putih dan jarik cokelat duduk di atas dokar dengan kipas terayun di tangan. Kepalanya tertutup selendang putih membiaskan paras yang teduh.

“Naiklah! Saya ingin berbicara dengan kamu,” perintah perempuan itu.

Endaru seperti tercucuk oleh kelembutan suaranya. Dia menurut dan duduk berhadapan dengan sang penumpang dokar. Sesaat dia lupa akan tujuannya datang ke Jetis.

“Kau terluka, Nak?” Dia ulurkan tangan menarik dagu Endaru agar mendongak lebih tinggi untuk mengamati bebatan luka di wajahnya.

Tangan itu begitu lembut dan wangi tak seperti tangan sang ibu yang selalu kasar penuh barut dan kapal. Endaru membisu, menunduk, bahkan merasa mengecil di hadapan sang nyai. Dokar mulai melaju tetapi mengambil arah yang berlawanan.

“Ikut ke rumah saya, ya!? Kita obati lukamu di sana. Cah Bagus, sungguh indah parasmu ....” Perempuan itu mengulurkan sekali lagi tangannya ke bagian wajah Endaru yang tak terbebat kain.

***

Alunan gending-gending Panaragan terdengar rancak meski mengalun dengan lembut. Telinga Endaru bisa menangkap bunyi-bunyian selompret yang nyompret, kempul yang ngungkung, permainan kendang yang begitu riyel, dan imbal-imbalan pada permainan ketipung. Semua nada-nada rancak dari perangkat gamelan itu disempurnakan dengan perpaduan slendro-pelog yang menyadarkan Endaru bahwa dia baru saja memasuki kawasan desa reog di Somoroto.

Kereta membelok dan memasuki sebuah regol yang di dalamnya terhampar halaman luas dengan rumah bergaya joglo berdiri megah di tengah-tengahnya. Sudah terlambat bagi anak itu untuk berbalik. Dia telah masuk ke dalam jerat sang warok yang sekaligus menjabat sebagai demang.

“Cah Bagus bisa belajar apa saja nanti di sini sama Romo seperti anak-anak itu.” Perempuan itu mengibaskan tangannya ke arah pendopo yang disesaki oleh anak-anak seusia Endaru.

Anak-anak yang semuanya laki-laki itu didampingi sejumlah pria dewasa yang melatih mereka memainkan gamelan Panaragan dan menari jatilan. Di pelataran anak-anak yang lebih besar tengah berlatih kanuragan. Mereka bersebelahan dengan beberapa pria muda yang berlatih menari warok. Di sisi yang berbeda para pembarong tengah berlatih memainkan dadak merak seberat lima puluh kilogram hanya menggunakan gigi.   

Kini perhatian Endaru tersedot pada rombongan pria bertubuh kekar yang baru saja datang dengan menandu macan Jawa yang sudah tak bernyawa. Macan itu akan diambil kulitnya untuk dijadikan topeng dadak merak

Grebeg Suro digelar tiga hari lagi. Mereka harus berlatih keras untuk menampilkan reog gebyog sebagai wujud syukur dan penolak bala,” lanjut sang nyai.

Endaru menoleh ke arah perempuan itu. Suara dan resam tubuhnya begitu mengesani seakan mengandung daya tarik yang tak bisa ditolak. Seorang jongos segera berlari menghampiri begitu dokar mereka berhenti di sayap kiri rumah utama.

“Karyo, gendong Cah Bagus ini dan bawa masuk ke dalam. Mandikan dan beri dia makan. Suruh orang untuk menjemput Dokter Schneider ke sini. Luka Cah Bagus harus segera diobati.” Perempuan itu turun dari kereta setelah memberi satu usapan lembut di puncak kepala Endaru.

Tubuh Endaru membeku. Dia kehilangan jati diri. Keberanian dan pemberontakan seakan tercerabut dari pedalaman jiwanya saat itu juga. Pengorbanannya dengan merusak wajah, tangisan sang emak yang tiada terkira, semuanya menjadi sia-sia. Jiwa dan raganya kini di dalam genggaman sang demang.

Dia biarkan jongos Karyo menggendong raganya yang serupa gombal nglumpruk. Endaru didudukkan oleh Karyo di sebuah bangku kayu di dekat sumur. Ketika jongos itu pergi untuk menyiapkan air mandi, Endaru berputar-putar mencoba mencari jalan keluar.

Malam Suro masih tiga hari lagi. Mungkin Demang Sastro masih melakukan tirakat. Pasti karena itu dia mengirimkan istrinya untuk membawaku ke sini.

Endaru benci sekaligus ketakutan setiap bertemu dengan laki-laki yang bergelar warok. Bukan karena statusnya sebagai pimpinan rombongan kesenian reog, melainkan lelakunya yang lebih banyak sewenang-wenang dan menyimpang.

Bocah laki-laki itu terlalu disibukkan dengan pikirannya sendiri sehingga tak menyadari ada seorang anak perempuan berkebaya putih yang terus memperhatikan dari bawah bulu matanya yang panjang.

“Siapa kau?” pekik Endaru terkejut.

“Sebaiknya kau pergi sebelum semuanya terjadi,” kata anak perempuan itu acuh tak acuh.

“Terjadi, apa, maksudmu?” tanya Endaru dengan gelisah.

“Kau akan tahu. Malam itu pasti akan tiba juga,” lanjut sang anak perempuan.

“A-pa maksudmu? Malam a-pa?” Endaru mulai ketakutan di kursinya.

“Aku tahu kau datang ke sini karena dipaksa dan mantra itu belum juga mengenai pedalamanmu.”

Endaru mulai dijalari rasa nyeri di tengkuk dan wajah. Entah karena luka atau ketakutan yang mendera.

“Selama tiga hari ini Romo akan berada di tempat semedi. Jadi ambil peluang ini atau tidak sama sekali!” Bocah perempuan itu berlari dan menghilang di balik gebyok jati berukir.

[1] Permisi

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status