Warok Sastro menyesap kembali pipa tembakaunya dengan pandangan menerawang jauh.
“Suatu malam bapakmu datang ke sini dan berkata bahwa dia merasa gagal menjadi seorang bapak. Nak, Gus, maka kubawa kau ke sini untuk kudidik dan kusiapkan sebelum menempuh jalan yang sunyi untuk menjadi warok sejati. Oleh karena itu, belajarlah apa saja yang bisa kau ambil di sini.”
Tubuh Endaru semakin bergetar hebat. Dia berusaha mengendalikannya dengan mengepalkan tangan sekuat tenaga dan mengalirkan segala kecamuk rasa itu ke dalam genggaman tangannya.
“Nyai, bagaimana persiapan menjamas[1]?”
Terdengar suara gesekan kain jarik dan tapak selop Nyai Larsih yang mendekat, “Sudah semua, Kangmas. Mari saya bantu bersalin baju.”
Warok Sastro berjalan diiringi Nyai Larsih menuju ke biliknya. Endaru berjalan gontai di belakang mereka menuju ke bangsal para babu. Endaru memperlambat langkah saat terdengar teriakan dan keributan dari batas antara rumah dalem dan luar.
“Hei, Gadis ingusan, kenapa kau berkeliaran di sini? Tempatmu di pondok pingitan! Jangan berani menyentuh keris-keris itu!”
Endaru menyaksikan seorang pemuda tengah menghardik putri Nyai Centini dengan sangat kasar. Gadis kecil itu melawan dan membalas dengan melempar segenggam pasir.
“Dasar Wandu!” teriak gadis kecil itu dengan lantang.
Wajah pemuda itu memerah dan siap melayangkan pukulan, tetapi Endaru segera meghalaunya. Keributan terjadi saat tanpa sengaja Endaru menabrak seorang anak yang datang membawa bokor mas berisi air kembang untuk menjamas. Bokor terpental menimbulkan bunyi kelontang. Air kembang membasahi sebagian keris dan tombak keramat yang ditata berjajar di sebuah meja.
“Hei, Anak baru, kau mau merusak segalanya?” teriak pemuda yang lain.
Sontak para gemblak yang lain berdatangan dan melerai mereka, “Hentikan! Bagaimanapun gadis itu adalah putri Romo sedangkan anak baru itu adalah calon pewaris padepokan ini.”
Endaru menarik gadis kecil itu menjauh meninggalkan para gemblak yang menghujani mereka dengan lirikan tajam dan bisik-bisik permusuhan. Setelah lepas dari kepungan para gemblak, gadis kecil itu menarik tangannya dari cengkeraman Endaru.
“Aku bisa melindungi diriku sendiri! Kau tak perlu ikut campur, Anak baru!”
Endaru menatap kepangan rambut gadis itu yang terburai sambil menyeringai, “Benarkah kau seorang perempuan? Berkepang saja kau tak mampu.”
“Sialan, kau!” Gadis kecil itu memberengut dan pergi meninggalkan Endaru.
Endaru tergelak dan berlari menyusulnya, “Kenapa mereka memusuhimu? Bukankah para Raden Ayu biasanya selalu dihormati dan disanjung?”
“Perempuan menduduki posisi paling belakang di bumi Panaragan ini, apalagi di rumah para pembesar yang bergelar warok. Kata ibundaku, perempuan harus cukup hanya mengabdi sampai di sumur dan dapur. Selamanya gemblak yang menduduki posisi tertinggi setelah waroknya, merekalah yang harus mengabdikan diri di kasur!”
“Aku tidak mengerti!”
Gadis itu memutar mata, “Mereka menganggap perempuan sebagai pantangan yang harus dihindari, ‘kan? Kehadiran perempuan bisa melesapkan kekuatan dan kesaktian para warok.”
Gadis itu tiba-tiba berbalik dan hampir bertabrakan dengan Endaru. “Sebentar lagi mungkin kau juga akan membenciku,” tatapannya tertunduk dan sedih.
“Hei, aku tak punya teman di sini! Anak-anak laki-laki itu tampaknya mereka juga membenciku. Bukankah, musuh dari musuhmu adalah temanmu?” Endaru menyeringai memamerkan deretan gigi putihnya yang gingsul.
Gadis kecil itu membeliak menatap satu mata Endaru yang tak terbebat kain, “Kau tak mengerti rupanya. Meski kau tak membenciku, tapi mereka akan memaksamu untuk menjauhiku!” Gadis itu berlari sambil menarik lengan Endaru lagi, “Mari aku antar ke tempat emakmu!”
“Namaku Enes ... kau?” teriak Endaru dengan napas terengah di antara larinya.
Gadis kecil itu menoleh sambil menggerakkan bibirnya tanpa bersuara. Endaru mengikuti gerak bibir itu dan merapal sebuah nama, “Dasi? Nama yang indah.”
***
Sesuai arahan dari Dasi, dia menunggu di sungai tak jauh dari Padepokan Bantarangin. Tak lama kemudian Dasi muncul bersama Gandari sambil membawa ebor berisi pakaian kotor. Endaru menerjang ingin memeluk sang ibu, tetapi perempuan itu menahan dan mendorongnya.
Plak! Tangan kanan Gandari mendarat di pipi kiri Endaru. Baik Endaru maupun Dasi sama-sama terperangah.
“Sudah kukatakan untuk pergi ke Tegalsari, bukan?” Gandari memekik sambil berurai air mata.
Endaru masih mematung menahan nyeri pada pipi. Kedua tangan bocah itu terkepal dan tiba-tiba bersimpuh di hadapan ibunya. Gandari mendongak dan mengusap wajahnya yang basah dengan kasar.
“Bagaimana lagi aku bisa melindungimu dari para warok itu, Nak? Larilah! Selamatkan dirimu!” pekik perempuan itu.
Endaru merangkak dan memeluk lutut ibunya, “Bagaimana bisa aku meninggalkan Emak di sini? Apa yang sebenarnya Emak takutkan? Apa yang akan mereka lakukan padaku?”
Gandari mundur dan melepas pelukan Endaru pada kakinya, “Jauhkan dirimu dariku! Jika Demang Sastro tahu, aku tak bisa menanggung penderitaan melihat kau terluka! Pergilah sebelum semua terlambat. Pergilah pada malam perayaan satu Suro nanti ke Tegalsari!”
Endaru berusaha mengejar ibunya, tetapi Dasi menarik dan menahan bocah itu.
[1] Upacara mencuci senjata di malam satu Suro
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan