Gandari menuju ke gubuk bambunya setelah memasukkan kerbau ke kandang. Tangan telanjangnya terulur hendak membuka pintu, tetapi urung saat mendengar raungan dan kegaduhan dari dalam rumah.
Dia menghela. Perlahan disorongnya juga pintu bambu itu hingga terbuka. Terlihat Endaru tengah membungkuk mencangkuli lantai tanah rumahnya yang menjadi simbol kesabaran sang ibu dengan sekuat tenaga. Dia luapkan segala bentuk kemarahan, ketakutan, dan kebencian dengan terus merusak lantai tanah yang setiap hari Gandari sapu dan padatkan agar rata.
Gandari tak mampu berkata. Dia duduk bersimpuh di ambang pintu dengan nelangsa. Lantai tanah itu kini berlubang-lubang dengan sisa cangkulan yang terserak di setiap jengkal seperti raga dan perasaannya yang tak berdaya.
Setelah puas melampiaskan kemarahan, Endaru melempar cangkulnya hingga menghantam dinding gedek dan terpental. Tubuh berpeluhnya limbung ke lantai tanah yang berbenggol-benggol, “Jadi kepada siapa Emak akan serahkan tubuh ini?”
Gandari menggeleng lemah tak mampu menentang tatapan sang putra.
“Berapa imbalan yang akan emak terima untuk harga tubuhku?” Endaru memberontak dengan sangat kasarnya.
Hunjaman lidah sang putra membunuh jiwa Gandari sebagai seorang wanita dengan gelar ibunda. Dia bangkit dari ambang pintu dan mengambil belati yang terselip di samping pembaringan. Tangan kirinya menarik paksa Endaru keluar rumah hingga kedua kaki bocah itu terseret-seret, sedangkan tangan kanannya menggenggam erat belati yang bilahnya berkilat-kilat.
Endaru tak melawan. Dia serahkan tubuhnya untuk sang ibu. Dia rela bila harus meregang nyawa di tangan orang yang telah melahirkannya daripada harus menjadi budak warok mana pun di dunia ini.
Gandari menidurkan Endaru ke permukaan batu kali yang datar di samping rumah—tempat dia menggiling beras menjadi tepung. Pipi bocah itu menempel sempurna di permukaan batu yang halus dan hangat. Air bening meleleh dari sudut-sudut matanya meski terkatup dengan sangat rapat.
“Kau menangis? Kau tak menangis saat pertama kali aku lahirkan ke dunia ini! Kau tak menangis saat bapakmu pergi tanpa bicara dan menoleh kepada kita! Kau juga tak menangis saat para warok itu mencoba merebutmu dariku. Namun, kini kau menangis di hadapan belati ini?”
Endaru terisak untuk pertama kali. “Aku menangis karena Emak harus menderita seorang diri setelah aku mati.”
Belati terlepas dari genggaman Gandari. Dia mundur sambil membekap mulut. Bahunya melorot dengan punggung naik turun menahan gigil ketakutan.
Endaru mengambil belati itu dari tanah, “Jika Emak tidak bisa maka aku sendiri yang akan melakukannya!”
Bocah itu membalikkan mata belati menghadap ke lehernya. Tangan kecil Endaru gemetar sesaat sebelum mulai mengayunkan belati untuk menembusi batang lehernya sendiri.
Plash! Mata belati terayun. Darah segar menetes-netes dari ujung bilahnya. Tangan Gandari terlambat menahan ayunan tangan sang putra yang berusaha mengakhiri hidup.
“Tidak! Putraku, Endaru?” Gopah-gopoh sepasang telapak pucat Gandari merengkuh wajah sang putra yang bersimbah darah. Anyir menguar dan memelesak memenuhi penciuman.
Anak itu membeku tak bersuara. Kedua tangannya menekan wajah yang berdarah-darah. Belati meleset dari tenggorokan mengenai mata sebelah kanan.
Kraak! Gandari merobek ujung jariknya untuk membebat wajah Endaru.
Mereka saling mendekap. Gandari memangku dan menimang-nimang putranya seakan bocah itu masih bayi merah dalam buaian tangan. “Anak bodoh!”
Dagu Gandari menekan kuat puncak kepala Endaru. Tubuh mereka berayun-ayun maju mundur sambil duduk berpelukan di tanah. Dada mereka menganga karena luka jiwa. Pandangan mereka tersapu senja yang menyemburatkan warna merah, biru, dan ungu yang menjadi saksi bisu.
“Wajahku tak akan elok lagi, Mak. Mereka pasti tak akan menginginkanku!” bisik Endaru lemah di dalam dekapan sang ibu.
“Sungguh kau adalah putraku, bukan putra pria yang meninggalkanmu itu—yang menggadaikan dirinya untuk kesaktian para warok! Gusti Pangeran Sing Kuasa, dia ini adalah putra yang lahir dari peranakanku. Jadikanlah dia tetap putraku ....”
Tubuh Endaru menegang. Dia menolak diayun-ayun ke depan dan belakang lebih lama oleh sang ibu. Rasa sakit berdenyut-denyut di sekitar mata kanannya yang terluka. Risiko kebutaan seakan tak berarti daripada kenyataan tak tertanggungkan tentang riwayat kepergian sang bapak.
“Siapa bapak sebenarnya, Mak? Bagaimana para warok itu bisa mengenalnya?”
Gandari mulai menembangkan Gambuh. Wajahnya tenggelam dalam bayang kelimut malam.
“Ilang kasopanipun. Ora bayu weyane ngalumpuk. Sakciptane wardaya kang bebayani. Ubayane ora payu. Amung ketaman pakewuh ....”[1]
“Siapa bapakku, Mak?” Endaru menghentikan tembang sang ibu.
“Bapakmu adalah putra dari Warok Sentikno—pimpinan Padepokan Wengker di alas Jenangan. Suatu hari dia pergi ke Padepokan Bantarangin di Somoroto untuk ngelmu pada Warok Sastro. Di sana kami bertemu. Aku adalah putri dari babu keluarga Warok Sastro. Aku tidak tahu-menahu tentang kehidupan dan lelaku para warok karena para perempuan seperti kami dipisahkan dan dibatasi aktivitasnya hanya sampai di sumur dan dapur.” Mata Gandari menewarang.
“Suatu ketika bapakmu mendatangi dan mengajakku minggat. Dia bilang ingin hidup berdua denganku di dalam hutan yang jauh dari ingar-bingar kehidupan para warok. Aku pun jatuh cinta padanya sehingga setuju untuk mengikuti rencananya. Semua baik-baik saja sampai kau lahir ....”
“Apa aku menjadi beban dan kesulitan dalam kehidupan kalian?” Endaru meraba pipi ibunya.
Perempuan itu menatap Endaru dan menggeleng, “Bapakmu ketakutan dan menolak menyentuhmu saat tahu kau lahir sebagai bayi laki-laki. Bahkan setiap malam dia mulai dihantui mimpi-mimpi buruk. Hal itu membuatku sedih dan nelangsa. Beberapa kali bapakmu pergi untuk waktu yang cukup lama dan setiap kembali keadaannya seperti orang gila.”
“Apa bapak membenciku, Mak?”
Gandari menggeleng. “Dia berkata sangat mencintaimu, tetapi juga begitu takut jika menjadi penyebab kerusakan padamu. Aku tak paham apa yang dia ucapkan dan khawatirkan sampai kakekmu—Sentikno—dan Demang Sastro datang berebut ingin membawamu!”
“Apa yang mereka inginkan?”
“Aku tidak tahu! Semua menjadi serakah ingin merebutmu dariku. Tidak! Ibu mana yang rela menyerahkan anaknya kepada para warok itu?”
Endaru menunduk.
“Karena putus asa akhirnya bapakmu kembali ke rumah Demang Sastro tanpa berbicara dan menoleh lagi pada kita. Kerbau itu dia tinggalkan sebagai ganti bapakmu. Selamanya gemblak akan menjadi milik waroknya!”
Endaru lepas dari dekapan ibunya. Dia pandangi perempuan yang matanya melubangi awang-awang dengan raut tak terkatakan itu.
“Gemblak?” tanya Endaru lirih.
Gandari mengangguk lemah, “Baru kutahu selama tinggal di Padepokan Bantarangin bapakmu menjadi gemblak dari Demang Sastro!”
Perempuan itu mengguncang kedua bahu Endaru seakan baru ditampar kembali ke alam sadar. “Malam Suro tinggal beberapa hari lagi, mungkin besok Demang Sastro akan datang ke sini. Pergilah kau, Nak, malam ini juga ke Tegalsari. Mintalah perlindungan dari orang-orang saleh di sana. Semoga kau selamat, Nak.”
Dari kejauhan terdengar derap tapak kaki kuda, satu ... dua ... lebih banyak lagi yang tiba. Mereka mendekat dan semakin dekat. Gandari bangkit dengan pandangan berputar-putar. Dia raba-raba tanah mencari belati yang tadi terlepas.
“Pergilah, Nak! Pergilah! Carilah keselamatan dan ngelmu[2] pada orang-orang saleh di sana! Jauhi para warok itu ... Selamanya jauhi!”
Perempuan itu masuk ke rumah setelah melepas jabat tangan dan mendorong Endaru pergi seorang diri dengan wajah masih merembaskan darah. Gandari memasang palang dan mengunci diri di dalam gubuknya.
[1] “Hilang kesopanannya. Tidak mempunyai kekuatan serta lemah. Hal yang dilakukan selalu berbahaya. Sumpah serta janji yang hanya di mulut. Ujungnya hanya akan bertemu sesuatu yang tidak membuat hati senang ....”
[2] Mencari ilmu
Dada telanjang Endaru bersimbah darah Sastro. Hanya dengan memakai sarung batik dia melompati regol, mencuri salah satu kuda dari istal, dan memacunya kembali ke rumah pertanian Cornellis.Saat tiba di depan pagar sebuah peluru melesak menghentikan laju kudanya. Kuda itu meringkik ketakutan hingga membuatnya jatuh terpental ke tanah. “Rose, ini aku!” teriak Endaru ke arah lantai dua rumah itu sambil berusaha bangkit dari tanah.“Endaru?” Rose melempar senapannya ke tempat tidur dan segera berlari ke halaman, “Apa aku melukaimu?”Pemuda itu berjalan limbung menuju rumah. Rose menghambur ke arah Endaru tetapi pemuda itu menolaknya, “Tubuhku kotor!”Kilat dan guruh memecah langit pekat. Rose membeliak saat menyadari tubuh Endaru berlumuran darah. Perempuan itu menutup mulutnya dengan tangan yang gemetar.Pyaar! Suara petir menggelegar di udara yang dingin. Hujan deras berjatuhan dari langit meng
Endaru meraba-raba dalam kegalapan. Dia melepas bebatan pada matanya yang sudah tak lagi mengeluarkan darah tetapi yang terjadi malah penglihatannya menjadi semakin buram.“Dasi? Di mana kau?” bisik Endaru putus asa.“Kau masih menginginkan gadis itu, Enes?” suara serak Sastro terdengar bagaikan gong yang dipukul.Dengan kepala yang masih berdenyut-denyut Endaru berusaha bangkit dan mencoba keluar dari bilik Sastro. Dia seperti terkurung di dalam ruangan yang sempit dan pengap. Endaru merasai gigilan di tubuhnya semakin dahsyat. Baru dia sadari bahwa pakaian tak lagi melekat di raganya.Dalam remang cahaya sintir yang kekuningan Endaru mulai bisa melihat Sastro tengah bersila di tengah ruangan hanya mengenakan kain jarik. Matanya terpejam dengan bibir yang terus merapal mantra.Endaru berusaha bangkit dari dipan dengan tubuh sempoyongan. Kepalanya berdentam-dentam dengan sensasi tusukan-tusukan yang menyakitkan pada mata. Sa
Rombongan bupati tiba di Somoroto ketika bola api sudah tenggelam di langit barat. Di sana sudah ramai oleh para pendekar dan warok dari berbagai penjuru Panaragan. Semenjak Padepokan Wengker dikalahkan oleh padepokan milik Sastro para warok mulai berkiblat dan mempertimbangkan posisi Padepokan Bantarangin sebagai padepokan terkuat. Oleh karena itu sedapat mungkin mereka menjalin hubungan baik dengan Sastro untuk mencegah perselisihan sekaligus untuk memperoleh pos-pos jabatan penting di Panaragan.Upacara penentuan pimpinan Padepokan Bantarngin dihadiri oleh sejumlah perwakilan dari padepokan lain. Upacara penyambutan begitu meriah dengan adanya hiburan reog itu sendiri, atraksi pencak silat, dan jamuan beraneka ragam makanan.Warok Sastro yang kini menjabat sebagai bupati datang dalam iring-iringan yang meriah menuju kediaman lamanya di Somoroto. Sastro dalam pakaian kebesaran seorang warok duduk di pendopo yang sudah dihias sedemikian rupa. Para warok lain yang turu
“Tinggallah di sini bersamaku memimpin Padepokan Bantarangin dan satukan seluruh warok di bumi Panaragan ini di bawah kekuasaanku! Lima tahun aku bertarung dengan para warok lain untuk bisa menduduki takhta Bupati Panaragan. Jadi sudah sepatutnya jika aku menuntut pengakuan dari mereka, bukan?” Sastro menyulut kembali tembakau di dalam pipanya.Tanpa diduga Endaru bangkit dan berdiri tegak. Dengan perasaan berat dia mengucapan kalimat yang mungkin akan disesali seumur hidupnya, “Kau pikir aku akan menerima tawaranmu hanya karena menawan ibuku? Dia bahkan sudah memutuskan hubungan denganku!”Endaru mulai berjalan meninggalkan Sastro tetapi sekali lagi para opas itu menahan langkahnya. Salah satu dari mereka menunjukkan topeng bujang ganong yang semalam dikenakan Endaru saat menyelinap ke kediaman Sastro di Somoroto. “Anda tidak bisa pergi, Raden Mas. Anda harus ditahan sampai persidangan digelar karena kami menemukan bukti bahwa Anda terlib
Endaru sudah menguak pintu selebar mungkin dengan senyum semringah saat Rose mencegahnya. Pemuda itu berharap Dasi berdiri di sana dengan kebaya dan sanggul gantung seperti dalam imajinya selama tujuh tahun terakhir. Akan tetapi, pemuda itu membeliak saat mendapati orang yang berbeda berdiri di balik pintu. Terdengar pekik tertahan dari Rose yang baru sampai di tengah-tengah anak tangga.“Berlutut!” teriak orang yang berdiri di depan pintu.“Polisi?” Endaru berbisik lemah dengan kedua lutut melemas.Tiga orang opas dalam seragam serba hitam mengadang Endaru dengan dua moncong senapan tertuju ke arahnya. Seorang opas lagi yang bersenjatakan tongkat memukul bahu Endaru agar segera berjongkok. Dengan cepat mereka membelenggu kedua tangan dan kaki pemuda itu menggunakan gelang besi yang terhubung dengan rantai.Rose menerjang dan memasang badan untuk mencegah ketiga opas itu membawa Endaru pergi. Sesaat setelah Endaru berlari ke lantai
Dasi memutar ebor berisi pakaian basah ke depan untuk melindungi perut yang terbuka. “Kau bodoh karena kembali ke sini, Enes!”Endaru menerjang dasi dan merengkuhnya dalam dekapan. Ebor di tangan perempuan itu terlepas. Pakaian berhamburan ke tanah. Endaru mendekapnya lebih dalam seakan ingin menyatukan raga mereka dan melebur menjadi satu.Ragu-ragu tangan dasi terangkat dan dengan keras mendrorong Endaru hingga terlepas. Perempuan itu membungkuk berusaha memunguti pakaian yang terjatuh.Endaru tak menyerah. Dia tarik lengan Dasi dan kembali meraihnya dalam dekapan. Ingin dia ulangi kejadian tujuh tahun lalu—bibirnya melumat bibir Dasi yang merah tanpa gincu. Akan tetapi Endaru mundur dan melepas gadis itu. Mereka terengah dengan napas memburu—kecewa karena gelegak rindu yang urung tersalur.Dasi mendorong Endaru lebih kuat. Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Endaru, “Kau tak suka pada perempuan