Jam kerja baru saja dimulai. Di sebuah kantor yang tak terlalu besar, tapi terlihat ekslusif. Beberapa orang saja penghuni ruang berarsitektur unik itu, dan mereka terlihat sibuk dengan tugasnya masing-masing. Di antara beberapa orang yang telah saling mengenal dengan baik tersebut, terlihat wajah asing. Sepertinya ini kali pertama ia berada di sini. Ia adalah seorang pemuda. Perawakannya gagah dengan wajah di atas rata-rata. Tatap matanya memperlihatkan dengan jelas, bahwa ia sosok yang cerdas.
Meski dalam biodatanya tertulis jelas, jika ia harus dipertimbangkan ke mana saja ia memasukkan surat lamaran. Nyatanya ia harus menunggu begitu lama untuk menemui pemilik kantor kecil ini. Sebuah kantor akuntan yang belum terlalu lama berdiri. Pemiliknya adalah seorang gadis cantik, yang masih baru di bidang ini. Gadis itu bernama Karla. Seorang akuntan publik lulusan master luar negeri. Walaupun belum bisa dikatakan matang, tetapi sepeakterjangnya patut diperhitungkan. Itu tentu saja
Karla yang baru untuk pertama kalinya mendatangi restoran ini terus mengawasi tiga orang di depannya. Ia memutuskan menikmati lebih lama suasana malam di luar rumah, meski aktivitas makannya sudah usai dari tadi. Ia mengedarkan pandangannya pada sebuah restoran dengan dekorasi elegan.Sebagai gadis yang biasa hidup di luar negeri, sebenarnya ia cukup cuek. Karla tak terlalu peduli dengan sekitar, tetapi demi melihat pria yang begitu cekatan mengimbangi dua bocah aktif, mau tak mau beberapa kali gadis itu mencuri pandang pada ketiganya.Karla bukan memperhatikan seperti orang tidak memiliki pekerjaan, itu tak lebih seperti kebetulan, karena tempat duduk mereka berada tepat di depannya. Hingga celotehan dua anak kecil menggemaskan itu terdengar jelas di telinganya.Pemuda gondrong itu memiliki pembawaan tenang dengan tatapan setajam elang. Rambutnya gondrong dengan hidung lumayan mancung dibandingkan penduduk negeri ini pada umumnya. Ia duduk berhadapa
"Sejak awal ibu rasa kalian tak cocok." Wanita lima puluh tahunan meletakkan gelas kopi di depan putranya."Tapi ibu tak pernah beritahu sebelumnya." Pemuda gondrong menatap lembut pada wanita behijab warna gelap."Ibu pikir jika kau cepat menikah itu akan baik.""Tidak bu, itu tidak akan mudah. Menemukan wanita yang bisa menerimaku apa adanya kurasa sulit.""Karenanya izinkan ibumu ini turun tangan. Meski pun hanya wanita tua, aku berpengalaman mencari pasangan yang baik. Kau lupa sehebat apa ayah yang kuberikan untuk kalian.""He, he he. Nenek nenek ini! Jadi ibu sedang pamer sekarang? Hem, tapi itu benar! Beliau ayah yang luar biasa, sayang sekali kita tak punya banyak waktu bersama." Pemuda itu menghela napas berat. Untuk menutupi perasaannya ia segera meraih gelas kopi, menyesapnya pelan."Tapi, Nak. Kau juga salah. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu bersama 'Affa dan 'Affiyah. Kau juga terus menempel pada ibumu. Mana ada gadis yang
"Pergilah, Nak. Ayahmu juga pasti bangga di sana, mengetahuinya komputer yang ia hadiahkan membawamu makin dekat pada mimpimu. "Wanita berpenampilan sederhana itu menatap layar persegi dengan lelehan bening yang tak tertahan. Air mata bahagia bercampur haru. Putranya baru saja mendapatkan undangan dari perusahaan besar Rusia. Salah satu perusahaan yang sangat diperhitungkan di bidang IT. Ini tak lain sebab kegilaan Rayyan pada bidang programmer sejak SD. Bidang yang sebenarnya berbeda dari apa yang ia pelajari di bangku sekolah."Aku tidak akan pergi, Bu. Aku sudah bosan hidup di perantauan." Anak muda berambut sebahu itu mematikan layar di meja kerjanya. Menatap lurus pada sang ibu."Anak ini! Kau tahu berapa banyak orang yang mengharapkan ini? Menyia-nyiakan kesempatan sama dengan tak bersyukur." Wanita bertatap lembut tak sepakat dengan alasan sang putra."Bu--" Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya melihat reaksi sang ibu. Ia memilih tak berde
Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semu
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik