Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan.
"Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.
Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama.
"Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.
Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.
Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut
"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.
Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengangsurkannya pada gadis berusia dua puluh empat tahun.
"Aku tidak butuh minum, tapi kepastian." Dinda mengabaikan gelas yang terulur.
Sementara di ruang tengah wanita separuh baya gelang kepala. Saat asisten rumah tangga mereka menatapnya, ia segera memberi isyarat dengan meletakkan jari telunjuk di bibirnya.
"Hal keren dan sikap seperti pria bagaimana yang kau mau?" Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang tadinya ditawarkan, tetapi diabaikan.
"Sudahlah, kau tak akan mengerti." Dinda menarik napas kesal.
Sebagai wanita, Dinda tentu ingin diperjuangkan. Diperlakukan seakan ialah yang paling berharga di dunia ini. Setelah kejadian di restoran ia berharap sang kekasih datang untuk meminta maaf. Membujuknya dengan melakukan hal-hal manis bak dalam drama yang sering ia tonton. Nyatanya ditunggu berhari-hari pemuda itu tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Malah ia yang harus mengalah dan menghubungi lebih dulu. Aneh, 'kah ia bahkan cemburu pada dua bocah kecil itu?
Mengapa pula malam minggu Rayyan harus makan malam dengan mereka. Bukankah pemuda ini benar-benar tidak peka?
"Kau sungguh butuh kepastian?" Rayyan menatap lurus ke mata sipit wanita di depannya.
"Kau kira kenapa aku jauh-jauh datang ke mari?" Dinda membuang muka, kesal melihat wajah tak bersalah tuan rumah.
"Baiklah, pulanglah dan beritahu keluargamu bahwa aku akan datang bersama ibuku untuk melamarmu." Pemuda bermata tajam bicara tanpa mengedipkan mata.
Dinda menautkan alis indah yang menaungi sepasang mata sipitnya.
Wanita paruh baya di ruang dalam yang siap melangkah menghentikan gerakan. Apa yang dikatakan sang putra membuatnya tak habis pikir. Mengapa sebelum tak ada diskusi tentang lamaran? Tak lama, karena setelah itu senyum merekah di bibirnya. Tentu saja boleh begitu, putranya sudah dua puluh tujuh tahun, sudah selesai pendidikan dan memiliki penghasilan sendiri. Lagi pula bukankah pernikahan harus disegerakan? Untuk apa berlama-lama pacaran. Dengan demikian keduanya akan menjadi semakin dewasa.
"Menikah?" Dinda memastikan ucapan pemuda yang berhasil membuatnya jatuh cinta.
Rayyan tak menjawab, malah menyesap air putih yang tadi ditawarkan pada tamunya.
Gadis berbusana mewah meremas tangannya yang memegang tali tas mahal. Ia belum berencana untuk menikah dalam waktu dekat ini. Ia bahkan belum memberitahu keluarganya tentang pemuda di depannya. Bisa saja hubungan mereka ditentang keras, karena latar belakang keluarga sang kekasih yang berbeda jauh darinya. Ia akui dialah yang mengejar-ngejar Rayyan karena tertarik dengan karakternya. Namun, ia belum berani melangkah sejauh itu.
"Tak ingin menikah denganku?" Rayyan memastikan.
"Bukan begitu, tapi----"
"Tapi apa?"
"Kita belum terlalu saling mengenal satu sama lain." Dinda berucap tak yakin. Mereka bahkan belum pernah pergi berdua, hanya berdua tanpa dibuntuti dua bocah kembar.
"Kau putri tunggal pengusaha besar, manja, suka bersenang-senang, belanja, nonton, nongkrong, bermain bersama teman-temanmu. Tidak bisa memasak, terbiasa dilayani semua kebutuhanmu, jatuh cinta pada pemuda biasa, tapi belum berani berkomitmen. Masih kurang? Baiklah, sekarang beritahu aku apa yang ingin kau tahu mengenaiku? Aku tinggal bersama ibuku sekarang juga nanti setelah menikah. Aku tidak cukup kaya, tapi cukup untuk memenuhi kebutuhanmu. Aku----"
"Sudah cukup! Bukan itu masalahnya. Aku hanya belum siap." Dinda menghentikan kalimat panjang lebar pemuda yang sangat ia cintai itu.
Biasanya juga pemuda ini bicara pendek-pendek, bisik hati Dinda.
Sebenarnya hati gadis itu bergetar dengan keseriusan pemuda di depannya. Hanya bagaimana ia bisa menikah secepat ini? Dia baru saja lulus kuliah, masih banyak hal yang ingin dilakukannya. Ia belum selesai dengan teman-temannya. Ia masih ingin bersenang-senang.
"Di bagian mana yang membuatmu belum siap?" tanya Rayyan.
"Aku ragu kau benar-benar menyukaiku. Kau tidak suka menemaniku makan, nonton, nongkrong di tempat-tempat seru---"
"Aku akan melakukannya nanti, saat kita sudah menikah. Karena sekarang aku tak ingin kita terus lengket bagai sagu yang dimasak. Karena aku khawatir kau tak bisa mengendalikan diri saat menyadari betapa menariknya aku." Rayyan memotong ucapan Dinda.
Ibundanya Rayyan yang menguping di dapur tak kuasa menahan tawanya. Ia bahkan baru tahu putranya sepercaya diri itu. Untuk menutupi aksi mengintip dan tawanya yang terlanjur meledak, perempuan itu segera bicara kencang. "Bik bukankah filmnya sangat lucu?"
Bik Kia yang tak tahu apa-apa segera menyahut saat melihat kedipan mata perempuan seumuran dengannya.
"I--iya, tentu lucu. Sangat lucu, B-bu."
Rayyan yang mendengar suara dari ruang dalam tentu saja tahu ibunya berbohong. Sejak kapan wanita itu suka menonton, terlebih ketika asisten rumah tangga mereka sedang sibuk bekerja. Ia lebih suka ikut bekerja dari pada duduk-duduk santai, lagi pula sejak kapan di ruang situ ada TV.
"Bu, bagaimana? Bukankah ibu mau melamar Dinda untukku?" Rayyan memanggil ibunya.
Mau tak mau perempuan paruh baya itu melangkah keluar. Mendatangi dua anak manusia yang sedang duduk berhadapan. Namun, sebelumnya ia terlebih dahulu mengambil alih camilan di tangan Bik Kia.
"Nak, Dinda. Kapan sampainya?" Ibu Rayyan berbasa-basi.
"Baru saja, Bu. Gadis itu terlihat canggung.
"Silakan mengakrabkan diri dengan calon mertuamu. Bukankah sudah kukatakan dia nanti akan tinggal bersama kita. Aku mandi dulu." Pemuda berkulit eksotis tersenyum pada gadis cantik berkulit putih sebelum melangkah menuju kamarnya.
* * *
"Ceritakan tentang pemuda yang lo katakan 'andai saja ia belum menikah'." Chiko menyodorkan sebotol minuman dingin pada gadis yang menatap matahari yang sebentar lagi akan tenggelam.
"Kau tak paham? Karena kita adalah teman dekat, jadi aku menceritakan apa yang kulihat. Itu kekaguman sesat, aku langsung melupakannya setelah bangun tidur." Gadis itu bicara tanpa mengalihkan pandangannya.
"Benarkah? Aku malah mengira kau telah berubah pendirian dan memutuskan untuk berkencan dengan pemuda lokal." Chiko menggoda gadis yang telah menjadi temannya sejak kecil.
"Mana tu cewek? Bukankah kita kemari untuk sunset?" tanya Karla.
"Kau ini benar-benar master akuntansi? Apa kau selugu itu? Ia kemari untuk menemui suaminya. Dan mereka masih tergolong pengantin baru. Apalagi yang bisa terjadi?" Chiko tertawa nakal.
"Kau membayangkan apa? Makanya cepat menikah." Karla melempar segenggam pasir pada pemuda bertelanjang dada.
"Ha ha ha ha, aku tentu sedang menunggu kau siap." Chiko tergelak.
Karla ikut tertawa. "Cepat ambil fotonya!" Gadis bermata indah menyerahkan kamera pada sang teman.
Masalah potret-memotret gadis itu lebih percaya pada Ben, temannya yang satu ini sangat ahli dalam masalah fotografi. Bidikannya tak kalah dengan kameraman profesional, ia paham angle yang tepat.
Selanjutnya gadis cantik itu mulai bereaksi. Membuat beberapa atraksi di depan kamera. Keduanya tertawa lepas.
Saat menyadari langit makin gelap, gadis itu meraih sepatu dan tasnya. Mereka kembali ke hotel.
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah
Rayyan yang mendapat kejutan dari sang teman tak habis pikir. Apa yang ingin Ammar sahabatnya tunjukkan dengan para tamu? Bukankah ini bisa saja memperburuk citra pondok dengan membawanya ke depan. Membiarkan pria berpenampilan berantakan mewakilinya. Namun, mendapati mata-mata yang mengarah padanya, Rayyan tak punya pilihan, selain mengikuti permainan sahabatnya. Pemuda gondrong itu menyugar rambut tebalnya sebentar sebelum berdiri.Ia kini berdiri dan berjalan melewati barisan santri, para ustadz juga empat orang tamu. Tamu yang kelihatannya dari kalangan atas. Bukan, ia bukan grogi, tidak sama sekali. Bicara di depan umum bukan masalah bagi Rayyan. Ia bahkan sudah terbiasa dengan aktifitas mohadhoroh zaman nyantri dulu. Hanya ia heran, kenapa begitu tiba-tiba Ammar berbuat di luar kesepakatan? Bukankah sejak awal mereka telah memilih tempatnya masing-masing. Urusannya hanya di bagian belakang layar. Selebihnya adalah tugas Ammar.Sampai di depan audiens Rayyan menoleh
Sebelumnya saat pikirannya tak tenang, Rayyan cukup pergi ke pesantren atau bermalam di kebun buah duriannya. Namun, setelah mencoba banyak hal, pikiran tentang pria yang bersama kakak iparnya terus mengganggunya. Lebih menyedot perhatiannya dibandingkan dengan masalah Dinda. Bukan saja karena ia bingung cara membagi hal ini pada sang ibu, lebih dari itu ia memikirkan masa depan dua keponakan yang sangat ia sayangi.Bagaimana jika pria itu tak benar-benar bisa menerima 'Affa dan 'Affiyah? Ah, Rayyan mengeluh resah. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi kekediaman Aldo, mungkin dengan bicara pada sang teman masalahnya menjadi sedikit terangkat. Tangan kiri pemuda berambut sebahu meraih kunci mobil di samping komputer, lalu ia berlalu ke luar rumah.."Apa ini bisa bekerja?" Rayyan menatap pada flashdisk yang diberikan Aldo."Coba saja, masalah perempuan sudah pas kau berkonsultasi denganku." Pemuda tiga puluh tahun, tetapi masih membujang itu bicara ban
"Tentang pria 'andai ia belum menikah'. Kau kecewa ia tak sesempurna harapanmu?" Chiko menertawakan Karla."Aku tak pernah berharap apa-apa padanya. Bagaimana aku bisa berharap pada seseorang yang sama sekali tak dikenal? Bahkan seseorang yang kukenali bertahun-tahun saja, tak bisa kuharapkan.""Memang apa yang kau harap dariku?" Chiko menatap Karla dengan memiringkan tubuhnya."Aku berharap kau berhenti bicara tentang orang asing. Bagaimana kalau kau membuatnya cegukan?" Karla melotot kesal pada sang teman."Baguslah jika ia keselek sekalian, pemain hati wanita layak mendapatkan lebih dari itu." Chiko memasang wajah sok pembela kaum perempuan."Ya Ampun, kalian tak punya bahasan selain mengenai si 'andai ia belum menikah'?" Lala menghempaskan tubuhnya di kursi samping Karla. Plastik di tangannya yang berisi banyak camilan diletakkan begitu saja di atas meja.Chiko langsung meraih plastik tersebut, mengaduk-aduk isinya. "Minuman ini, ini, dan ini,
Tidak, ini tak sama seperti yang terjadi dalam film. Rayyan tak diculik untuk disekap. Tak ada ruang gelap dengan pengawasan preman berwajah garang. Tidak ada penyiksaan sampai berdarah-darah, apa lagi penganiayaan yang melecehkan harga diri. Bahkan sebaliknya. Rayyan berada di sebuah ruang megah yang adem. Ada makanan enak terhidang di meja sudut ruangan luas. Ia kini malah sedang duduk di sofa empuk, berhadapan dengan layar lebar.Akan tetapi, bukan berarti ini membuat anak muda itu menjadi tenang. Bahkan situasi tak biasa ini membuatnya makin waspada. Ia tak lupa, jika penjahat sadis dan profesional sering memiliki siasat yang sulit ditebak. Dari apa yang dibicarakan dua pria kekar yang membawanya, Rayyan yakin ini ulah papanya Dinda. Pengusaha terkenal yang kaya-raya. Konon, kalangan atas suka menindas tanpa hati. Orang lain yang menghalanginya jalannya dilibas bak seekor hewan kecil tanpa harga. Nyawa manusia murah bagi mereka.Tidak, Rayyan bukan takut atau gentar.