"Sejak awal ibu rasa kalian tak cocok." Wanita lima puluh tahunan meletakkan gelas kopi di depan putranya.
"Tapi ibu tak pernah beritahu sebelumnya." Pemuda gondrong menatap lembut pada wanita behijab warna gelap.
"Ibu pikir jika kau cepat menikah itu akan baik."
"Tidak bu, itu tidak akan mudah. Menemukan wanita yang bisa menerimaku apa adanya kurasa sulit."
"Karenanya izinkan ibumu ini turun tangan. Meski pun hanya wanita tua, aku berpengalaman mencari pasangan yang baik. Kau lupa sehebat apa ayah yang kuberikan untuk kalian."
"He, he he. Nenek nenek ini! Jadi ibu sedang pamer sekarang? Hem, tapi itu benar! Beliau ayah yang luar biasa, sayang sekali kita tak punya banyak waktu bersama." Pemuda itu menghela napas berat. Untuk menutupi perasaannya ia segera meraih gelas kopi, menyesapnya pelan.
"Tapi, Nak. Kau juga salah. Kau terlalu banyak menghabiskan waktu bersama 'Affa dan 'Affiyah. Kau juga terus menempel pada ibumu. Mana ada gadis yang betah dengan pria yang tak pernah punya waktu untuknya. Terlebih lagi gadis seperti Dinda. Kau tahu sendirilah bagaimana manjanya ia sebagai anak tunggal dari keluarga kaya."
Mendengar wejengan panjang ibunya, pemuda berambut gondrong meletakkan minumannya. Meraih tangan sang ibu. "Aku yang diputuskan kenapa ibu yang sedih. He he he he, lagi pula 'Affah dan 'Affiyah adalah keponakanku. Mereka mengambil perwalian kepadaku, apa salahnya? Kasian kakak ipar ia harus menjanda di usia begitu muda."
Wanita yang dipanggil ibu hanya bisa terdiam. Ia khawatir sikap terlalu baik putranya tak bisa dimaklumi pasangannya nanti. Lalu bagaimana ia tega melihat putra yang tinggal satu-satunya dicampakkan.
Suara azan menggema dari corong masjid, waktu salat telah tiba.
"Ibu jangan terlalu banyak pikiran, jodohku sudah dipersiapkan Tuhan, jadi aku pergi dulu untuk memintanya sekarang. Meminta pada pemiliknya" Anak muda itu melepaskan pegangannya pada tangan sang ibu. Ia menghirup kopi terakhir sebelum melangkah ke luar rumah.
* * *
Gadis berusia dua puluh enam tahun masih berkutat dengan laptop dan HP-nya. Mata berbulu lentik itu sibuk mengecek email yang masuk. Sebagai seorang akuntan publik, ia bisa bekerja di mana saja selama sambungan internet lancar. Pendidikan sampai pekerjaannya mungkin berhubungan dengan ilmu pasti dan membuatnya menjadi pribadi yang realistis. Namun, tentu saja Karla tak sekaku itu jika sedang bersama Chiko, teman dekatnya dan Lala sepupunya. Ia bisa menjadi sangat urakan.
Akuntan muda ini bukanlah wanita dengan kacamata tebal yang selalu menutupi wajah cantiknya. Ia bahkan lebih terlihat bak seorang model. Bentuk tubuh yang menjulang dengan busana elegan membuatnya terlihat menikmati hidup.
Meski ia lama hidup di negeri bebas. Terlahir dari keluarga berpendidikan dan berpikiran terbuka, entah kenapa orang tuanya merasa penting untuk memintanya bekerja di Indonesia? Itu sedikit aneh, padahal jika di luar sana karirnya bisa lebih menjanjikan. Ia bisa saja menentang Papi dan Maminya, tetapi tak ada salahnya mencoba mendengarkan mereka sekali-kali.
(Ui, angkat teleponnya.) Pesan dari Chiko.
"Apa?" Gadis itu bicara dengan mata masih menatap layar laptop.
"Lala mengajak kita ke tempat baru, bagus katanya." Suara pria di dalam layar terdengar bersemangat.
"Lagi sibuk. Lagian Lala jalan sama suaminya ngapain ngajak-ngajak? Terus aku ngeliatin dia mesraan gitu?" Gadis itu terlihat tak tertarik.
"Yaeleh, lo kayak anak-anak aja Kir. Kan aku ikut juga."
"Kir kir, emang aku bukir? Kamu gak niat cari pasangan apa? Jika terus nempel dengan sahabatmu bagaimana gadis-gadis akan punya peluang? Mereka minderlah denganku."
"Ha ha haaaaaa ha. Gila lo PD-nya gak ilang-ilang." Suara pria tampan di seberang sana terdengar memekakkan telinga Karla.
"Udah? Gua tutup ni."
"Eh, bentaran! Si andaikan saja ia belum menikah bagaimana kelanjutan ceritanya?"
Tut.
Karla memutuskan sambungan telepon. Mengingat pria yang pernah ia kagumi sekilas di restoran, membuat mood-nya menjadi tak baik. Meski harus mengakui ketelatenan pemuda itu dalam mengurus anak-anaknya, tetapi ia yakin orang asing itu bukan pasangan yang baik. Buktinya gadis cantik itu marah-marah. Bukankah mustahil wanita itu emosi tak jelas jika tak ada alasan kuat, mana mau ia mempermalukan diri sendiri di muka umum.
Karla akhirnya senyum sendiri, mengapa sosok yang sama sekali tidak dikenali bisa mempengaruhinya begitu jauh? Ia kemudian mengendalikan diri, urung mengagumi pria bermata elang.
Gadis itu membawa tangannya ke depan wajah, memerikasa letak jarum arloji. Musim pajak bagi seorang akuntan adalah masa sibuk. Karla bahkan biasa bekerja di akhir pekan. Namun, menolak tawaran Chiko dan Lala bukanlah pilihan yang baik. Mereka adalah sedikit dari penghuni bumi yang memiliki selera persis sepertinya. Melakukan hal yang kita sukai, terlebih bersama orang yang pas adalah hal yang tak bisa ditunda. Gadis itu mengemasi barang-barang. Membawa beberapa peralatan yang tak bisa ditinggalkan sebelum meluncur dengan kenderaan mungil antik berwarna merah hati.
"Pergilah, Nak. Ayahmu juga pasti bangga di sana, mengetahuinya komputer yang ia hadiahkan membawamu makin dekat pada mimpimu. "Wanita berpenampilan sederhana itu menatap layar persegi dengan lelehan bening yang tak tertahan. Air mata bahagia bercampur haru. Putranya baru saja mendapatkan undangan dari perusahaan besar Rusia. Salah satu perusahaan yang sangat diperhitungkan di bidang IT. Ini tak lain sebab kegilaan Rayyan pada bidang programmer sejak SD. Bidang yang sebenarnya berbeda dari apa yang ia pelajari di bangku sekolah."Aku tidak akan pergi, Bu. Aku sudah bosan hidup di perantauan." Anak muda berambut sebahu itu mematikan layar di meja kerjanya. Menatap lurus pada sang ibu."Anak ini! Kau tahu berapa banyak orang yang mengharapkan ini? Menyia-nyiakan kesempatan sama dengan tak bersyukur." Wanita bertatap lembut tak sepakat dengan alasan sang putra."Bu--" Pemuda itu tak melanjutkan ucapannya melihat reaksi sang ibu. Ia memilih tak berde
Di sebuah pesantren yang baru berdiri beberapa tahun belakangan. Di antara hiruk pikuk santri yang membawa mushaf dan kitab dengan aksara tanpa kumis, tampak seorang pemuda gondrong sedang membersihkan taman. Ia terlihat fokus menata bunga-bunga anaeka jenis. Bentuk fisiknya tak terlalu tinggi, tetapi juga tidak rendah. Tumbuhan hias kini telah terpangkas rapi, bekas potongan daun telah dibawa ke tempat sampah. Pemuda dengan hidung mancung masih memindahkan beberapa anak bunga. Terlihat jelas ia begitu menikmati pekerjaannya, tak peduli meski pakaiannya telah basah oleh keringat.Santri yang melewatinya menegur ramah. Sepertinya ia cukup dikenali di tempat ini. Meski secara penampilan ia harusnya tak berada di tempat ini, karena cara berpakaian yang sangat berbeda dengan tapipenghuni pesantren. Namun, mungkin dewan asatiz memiliki alasan. Alasan kenapa menerima pemuda gondrong dengan celana jeans selutut? Padahal di lingkungan pesantren semu
Pagi masih muda saat Rayyan telah berkutat di depan layar komputer, ia telah duduk di sana seusai subuh tadi. Suara salam terdengar kencang dari ruang depan."Nak, temanmu datang," panggil bunya dari luar kamar.Pasti gadis itu, lirih pemuda bermata tajam. Ia segera beranjak dari kursinya, melangkah ke pintu utama."Mau masuk?" Rayyan menyapa gadis cantik di depan pintu rumahnya.Bukannya menjawab wanita muda berkulit putih bersih mendorong pemuda di depan pintu. Ia langsung mengambil tempat duduk di kursi tamu. Mulutnya cemberut membuat mata sipitnya makin kecil.Pemuda gondrong ikut duduk di kursi seberangnya. Memandang sekilas pada wanita berbusana warna lembut"Kau tak benar-benar mencintaiku, 'kan? Lihatlah kau tak terlihat berusaha mempertahankan hubungan ini. Yang benar saja. Kau tak terlihat seperti pria. Mengapa tak berbuat hal keren." Gadis itu bicara dengan wajah menyedihkan.Rayyan menuang minuman di atas meja, lalu mengan
Rayyan yang sedang memangku 'Affiyah terus menatap layar HP-nya. Panggilan pada kakak iparnya belum juga tersambung. Kecemasan susah disembunyikan dari wajah itu. Meski harusnya sebagai pria ia lebih tenang, agar wanita paruh baya di sampingnya berhenti mengalirkan air mata. Namun, keadaan sang keponakan membuatnya lupa caranya bersikap tenang.Pekerjaan membuat mama dari dua keponakan kembarnya sering keluar kota. Sialnya kakak ipar Rayyan tersebut sedang pergi ketika penyakit bocah laki-laki itu kambuh. Sebenarnya andai bisa Rayyan ingin kakaknya itu punya waktu lebih banyak untuk keponakannya. Namun, tentu saja bukan kuasanya mengatur kehidupan orang.(Kak, 'Affa kambuh lagi, Tapi jangan cemas aku dan ibu sudah membawannya ke Rumah Sakit. Jika keadaannya membaik kemungkinan kami gak nginap.) Rayyan mengirim pesan. Sebisa mungkin ia berusaha tak membuat wanita itu terlalu cemas. Sudah sulit baginya menjadi ibu tunggal di usia muda. Apalagi sebagai ibu yang
"Hey, tunggu." Dinda meraih ujung kaus Rayyan bagian bawah. Karena tangan pemuda itu tak ada yang kosong. Baik kiri atau kanan sedang menggendong keponakan kembarnya.Pemuda gondrong berhenti, tetapi tak menoleh."Maaf," pinta Dinda.Tak ada jawaban."Yan, maaf." Gadis itu kembali berucap lirih.Bu Rina segera mengambi alih dua cucunya yang diturunkan dari gendongan Rayyan. Ia memapah 'Affiyah dan 'Affa mendahului putranya. Membiarkan dua anak manusia menyelesaikan urusannya.Rayyan mengusap wajah dan menarik napas dalam-dalam sebelum berbalik. "Ok, sudah.""Sudah?" Dinda mengerutkan dahi tak paham. Ia melepaskan tangannya dari ujung kaus Rayyan."Sudah kumaafkan.""Sekarang bagaimana?" Gadis itu memeriksa reaksi pemuda gondrong."Sekarang pulanglah." Rayyan bicara pelan."Kau sungguh memaafkanku?" Dinda tak yakin melihat wajah tak bersahabat pria di depannya."Aku memaafkanmu, tapi semuanya tak lagi sama
"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya."Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana."Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla."Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur."Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah
Rayyan yang mendapat kejutan dari sang teman tak habis pikir. Apa yang ingin Ammar sahabatnya tunjukkan dengan para tamu? Bukankah ini bisa saja memperburuk citra pondok dengan membawanya ke depan. Membiarkan pria berpenampilan berantakan mewakilinya. Namun, mendapati mata-mata yang mengarah padanya, Rayyan tak punya pilihan, selain mengikuti permainan sahabatnya. Pemuda gondrong itu menyugar rambut tebalnya sebentar sebelum berdiri.Ia kini berdiri dan berjalan melewati barisan santri, para ustadz juga empat orang tamu. Tamu yang kelihatannya dari kalangan atas. Bukan, ia bukan grogi, tidak sama sekali. Bicara di depan umum bukan masalah bagi Rayyan. Ia bahkan sudah terbiasa dengan aktifitas mohadhoroh zaman nyantri dulu. Hanya ia heran, kenapa begitu tiba-tiba Ammar berbuat di luar kesepakatan? Bukankah sejak awal mereka telah memilih tempatnya masing-masing. Urusannya hanya di bagian belakang layar. Selebihnya adalah tugas Ammar.Sampai di depan audiens Rayyan menoleh