"Kenapa tak beritahu aku tentang ini, Chiko?" Gadis menjulang menendang pintu kamar penginapan yang berada di samping kamarnya.
"Apa?" Terdengar suara malas dari dalam sana.
"Kenapa tak beritahu jika tempat ini sering mati lampu dan kehilangan sinyal," rutuk Karla.
"Apa masalahnya? Kita sedang menikmati hidup sekarang." Kini pria tampan bertubuh atletis membuka pintu. Kaus tipis yang menjiplak tubuhnya terlihat kusut, pasti ia baru bangun dari tidur.
"Yang benar saja. Aku harus mengirim beberapa email penting. Lagian kau tahu ini musim pajak." Karla kesal, bukankah sang teman tahu betul alur pekerjaannya sebagai seorang akuntan?
Bagaimana bisa ia berada di tempat tanpa jaringan lancar. Meski baru menggeluti dunia kerja, Karla adalah wanita profesional. Tidak mungkin baginya menunda mengirimkan salinan akhir resmi beserta fakturnya, setelah kliennya menyetujui draf catatan akuntansi.
Padahal ia telah begadang semalaman untuk menyelesaik
Jalanan masih sepi, baru jam tujuh kurang. Rayyan memacu kendaraan roda empat menuju kediaman 'Affiyah dan 'Affa. Semalam kakak iparnya memberitahu, bahwa ia harus berangkat pagi-pagi sekali, jadi tak akan sempat mengantarkan dua bocah ke play group.Untunglah Rayyan memiliki pekerjaan yang tidak mengikat, hingga saat kakak ipar dan ibunya ke kantor dan ke sekolah ia selalu ada untuk dua bocah itu. Paling biasanya pagi-pagi ia berkeliling sebentar di perkebunan. Karena ia tak bisa terus memelototi layar komputer.Ketika pemuda berambut sebahu tiba, dua bocah sudah menunggu di teras. Jadi mereka langsung berangkat setelah berpamitan dengan mamanya. Jarak sekolah dua bocah tak terlalu jauh, mungkin sekitar dua puluh lima menit.Setelah Rayyan mengantar 'Affa dan 'Affiyah pada guru di Play Group, pemuda itu bersiap kembali ke mobil. Namun tiba-tiba saja bocah leleki mengejarnya."Bah, bekal Abang ketinggalan di rumah," rengek bocah tiga tah
Rayyan yang mendapat kejutan dari sang teman tak habis pikir. Apa yang ingin Ammar sahabatnya tunjukkan dengan para tamu? Bukankah ini bisa saja memperburuk citra pondok dengan membawanya ke depan. Membiarkan pria berpenampilan berantakan mewakilinya. Namun, mendapati mata-mata yang mengarah padanya, Rayyan tak punya pilihan, selain mengikuti permainan sahabatnya. Pemuda gondrong itu menyugar rambut tebalnya sebentar sebelum berdiri.Ia kini berdiri dan berjalan melewati barisan santri, para ustadz juga empat orang tamu. Tamu yang kelihatannya dari kalangan atas. Bukan, ia bukan grogi, tidak sama sekali. Bicara di depan umum bukan masalah bagi Rayyan. Ia bahkan sudah terbiasa dengan aktifitas mohadhoroh zaman nyantri dulu. Hanya ia heran, kenapa begitu tiba-tiba Ammar berbuat di luar kesepakatan? Bukankah sejak awal mereka telah memilih tempatnya masing-masing. Urusannya hanya di bagian belakang layar. Selebihnya adalah tugas Ammar.Sampai di depan audiens Rayyan menoleh
Sebelumnya saat pikirannya tak tenang, Rayyan cukup pergi ke pesantren atau bermalam di kebun buah duriannya. Namun, setelah mencoba banyak hal, pikiran tentang pria yang bersama kakak iparnya terus mengganggunya. Lebih menyedot perhatiannya dibandingkan dengan masalah Dinda. Bukan saja karena ia bingung cara membagi hal ini pada sang ibu, lebih dari itu ia memikirkan masa depan dua keponakan yang sangat ia sayangi.Bagaimana jika pria itu tak benar-benar bisa menerima 'Affa dan 'Affiyah? Ah, Rayyan mengeluh resah. Ia akhirnya memutuskan untuk pergi kekediaman Aldo, mungkin dengan bicara pada sang teman masalahnya menjadi sedikit terangkat. Tangan kiri pemuda berambut sebahu meraih kunci mobil di samping komputer, lalu ia berlalu ke luar rumah.."Apa ini bisa bekerja?" Rayyan menatap pada flashdisk yang diberikan Aldo."Coba saja, masalah perempuan sudah pas kau berkonsultasi denganku." Pemuda tiga puluh tahun, tetapi masih membujang itu bicara ban
"Tentang pria 'andai ia belum menikah'. Kau kecewa ia tak sesempurna harapanmu?" Chiko menertawakan Karla."Aku tak pernah berharap apa-apa padanya. Bagaimana aku bisa berharap pada seseorang yang sama sekali tak dikenal? Bahkan seseorang yang kukenali bertahun-tahun saja, tak bisa kuharapkan.""Memang apa yang kau harap dariku?" Chiko menatap Karla dengan memiringkan tubuhnya."Aku berharap kau berhenti bicara tentang orang asing. Bagaimana kalau kau membuatnya cegukan?" Karla melotot kesal pada sang teman."Baguslah jika ia keselek sekalian, pemain hati wanita layak mendapatkan lebih dari itu." Chiko memasang wajah sok pembela kaum perempuan."Ya Ampun, kalian tak punya bahasan selain mengenai si 'andai ia belum menikah'?" Lala menghempaskan tubuhnya di kursi samping Karla. Plastik di tangannya yang berisi banyak camilan diletakkan begitu saja di atas meja.Chiko langsung meraih plastik tersebut, mengaduk-aduk isinya. "Minuman ini, ini, dan ini,
Tidak, ini tak sama seperti yang terjadi dalam film. Rayyan tak diculik untuk disekap. Tak ada ruang gelap dengan pengawasan preman berwajah garang. Tidak ada penyiksaan sampai berdarah-darah, apa lagi penganiayaan yang melecehkan harga diri. Bahkan sebaliknya. Rayyan berada di sebuah ruang megah yang adem. Ada makanan enak terhidang di meja sudut ruangan luas. Ia kini malah sedang duduk di sofa empuk, berhadapan dengan layar lebar.Akan tetapi, bukan berarti ini membuat anak muda itu menjadi tenang. Bahkan situasi tak biasa ini membuatnya makin waspada. Ia tak lupa, jika penjahat sadis dan profesional sering memiliki siasat yang sulit ditebak. Dari apa yang dibicarakan dua pria kekar yang membawanya, Rayyan yakin ini ulah papanya Dinda. Pengusaha terkenal yang kaya-raya. Konon, kalangan atas suka menindas tanpa hati. Orang lain yang menghalanginya jalannya dilibas bak seekor hewan kecil tanpa harga. Nyawa manusia murah bagi mereka.Tidak, Rayyan bukan takut atau gentar.
Setelah berurusan dengan calon mertu yang sepertinya tak jadi, Rayyan berencana berlibur semalam dua malam di kebun buah durian. Namun, sebenarnya itu tak akan bisa disebut liburan jika ia harus membawa serta dua bocah kembar, yang ada dia akan sibuk menjadi baby sitter.Bulan sembilan adalah ketika durian sedang berbunga. Perkiraan awal tahun akan panen raya. Meski ada juga buahnya yang telah matang sekarang, tetapi tak terlalu banyak. Terlebih jika dibandingkan dengan bunga yang sekarang sedang berkembang. Jika bunga sebanyak ini bisa bertahan tidak gugur separuhnya saja, maka panen akan melimpah-ruah. Itu berarti pundi-pundi rupiah Rayyan akan semakin tebal. Ia berkesempatan menambah lokasi perkebunannya, menjadikannya lebih luas.Kemarin Rayyan telah berjanji membawa si kembar berlibur ke perkebunan. Kak Rima dan ibunya tak keberataan, karena di tengah kebun ada vila sederhana yang cukup memadai fasilitasnya. Terlebih Rayyan bisa diandalkan dalam menjaga anak-anak.
Di sebuah ruang keluarga berarsitektur memukau, duduk sepasang suami istri dan putri semata wayangnya. Mereka duduk di sofa elegan warna putih bersih. Setelah beberapa saat hanya terdiam, pria setengah baya memulai pembicaraan."Papa mau setuju, tapi jika cinta putri papa bertepuk sebelah tangan lebih baik jangan.""Pa, dia cuma lagi marah. Jika restu papa sama mama sudah Dinda dapatkan. Kami harus secepatnya menikah. Dinda tahu bagaimana Rayyan. Dia tidak akan bisa menolak jika aku terus memintanya.""Nak." Perempuan cantik di samping Dinda ikut bicara." Dengarkan papamu, ya. Lagi pula tak akan bagus jika putri cantikku ini mengemis pada seorang pria," tambahnya."Kan papa sendiri pernah bilang, penting sekali memilih pria yang karakternya baik. Kupikir Rayyan seperti itu. Bukankah papa bilang pemuda baik saat mencintai atau tidak, ia tetap bisa memperlakukan kita secara hormat." Dinda berargumen.Suami istri saling pandang. Keduanya lalu mengangk
"Ada kabar bahagia, Kir." Chiko mendatangi sang teman yang sedang bersantai menikmati pemandangan hutan. Wajah tampan itu berbinar seakan apa yang baru saja ia ketahui adalah sebuah berita besar."Kau bertemu anak tupai?" Karla bicara tanpa menoleh pada Chiko."Kau kira aku perlu membahas anak tupai padamu?" Chiko cemberut dengan keacuhan sikap gadis cantik bermata indah."Lalu?" Kini Karla berbalik pada pemuda berkaus coklat."Asal kau tahu, si 'andai saja ia belum menikah' dia benar-benar belum menikah." Chiko memberi kabar dengan semangat."Kau seperti wartawan gosip sekarang. Cepat bersiap-siap kita harus pulang. Ada banyak pekerjaan menunggu." Karla beranjak dari tempat duduknya."Kau sungguh tak tertarik? Kita sedang berada di perkebunannya sekarang ini. Iya, kebun durian ini miliknya! Mengenai dua bocah kembar. Itu hanya keponakan, bukan anaknya. Bukankah ini kabar baik? Ternyata si akhi Rayyan Abqary atau si 'andai saja ia belum meni