Share

2. Maura: Beasiswa

“Pos…!”

Aku bergegas keluar kamar untuk menemui petugas pos yang telah berdiri di depan pintu.

“Maura Raditya.”

“Saya sendiri, Pak.”

Petugas pos mengangsurkan sepucuk surat, “Dari Jakarta, Mbak.”

“Terima kasih, Pak.” Kutinggalkan petugas pos yang masih berdiri di depan rumah sambil membaca beberapa sampul surat yang akan ia antarkan.

Hmm… Kira-kira dari mana ya? Aku bergumam sambil menyobek tepian surat dengan hati-hati. Akhir-akhir ini ada banyak surat yang kukirim dengan tujuan Jakarta. Semuanya berupa surat lamaran, lamaran kerja atau beasiswa.

Surat itu dilipat menjadi tiga bagian. Pada kepala surat yang menghadap keluar terdapat sebuah lambang kampus diikuti nama salah satu universitas di Eropa. Melihat lambangnya saja, tanpa membaca nama universitas, aku sudah hafal luar kepala, kampus manakah itu. Mendadak jantungku berdetak lebih cepat. Dengan tidak sabar kususuri kata demi kata yang tertulis di sana. Di bagian tengah surat tertulis namaku dengan ukuran huruf lebih besar serta dicetak tebal. Setelahnya kudapati tulisan accepted dengan cetak tebal juga.

Aku diterima. Seolah tak percaya, kuulangi lagi membaca pada bagian yang tertulis accepted.

Iya, benar! Aku diterima. Benar-benar diterima. Hatiku menari, tapi ragaku justru diam terpaku. Aku benar-benar tidak percaya. Lamaran beasiswa yang kukirim mendekati deadline, ternyata diterima.

Terima kasih, Tuhan. Aku sangat bersyukur.

Bapak dan Ibu. Ya, aku harus segera mengatakan hal ini pada mereka.

Aku teringat Bapak dan Ibu yang saat ini masih bekerja di sawah. Ingin rasanya aku menyusul mereka ke sawah dan memberi tahu mereka tentang kabar gembira ini, tapi kuurungkan rencana itu. Biarlah kutunggu mereka pulang. Detik-detik berikutnya aku menjadi sangat tidak sabar menunggu kepulangan orangtuaku.

Sabar, Maura. Hatiku tak henti menasehati diriku. Ya, karena bahagia yang meluap-luap aku menjadi tidak sabaran.

*

“Bapak, Ibu….” Ragu-ragu kulanjutkan kalimatku. Bapak dan ibu menatapku bersamaan.

“Ada apa?”

“Maura… diterima kuliah.” Kuakhiri kalimatku dengan senyum. Bapak dan ibu saling pandang. Dan hampir bersamaan mereka berkata, “Di mana?”

“Eropa. Tepatnya di Belanda.”

Ibu langsung bereaksi, “Oalah… uang siapa yang mau dipakai untuk biaya sekolahmu? Kuliahmu yang dulu saja sudah sangat membuat keluarga kita terseok-seok mencari uang.” Bapak hanya diam, tapi dari sorot matanya aku tahu bahwa ia mengamini setiap perkataan ibu.

“Mimpi kok ketinggian, Maura.” Ibu merendahkan nada bicaranya.

“Justru bermimpi setinggi langit yang membuat Maura tetap semangat untuk hidup, Bu.” Aku mencoba meyakinkan ibu.

“Mungkin Bapak dan Ibu bisa berpura-pura tuli dengan sekiatr, tapi aku tidak, Bu. Aku sudah lelah dengan sebutan-sebutan yang hanya fokus pada fisikku. Aku tidak bisa terus menenangkan diri bahwa yang mereka katakana itu semuanya hinaan. Gembrot, tong berjalan, karung beras, bahkan gajah.” Kuhentikan bicaraku sambil terengah. Emosiku telah mencapai puncaknya kini.

“Hanya ini kupikir satu-satunya jalan agar mereka berhenti menghinaku, Pak… Buk…. Sekolah tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang bagus di kota.”

“Iya, tapi kan di sini juga banyak kampus yang bagus mutunya Maura.” Kali ini Bapak angkat suara.

“Aku sudah melamar beasiswa untuk semua kampus di sini Pak. Tapi hasilnya nol. Lamaranku tidak ada yang diterima.”

“Biayanya….”

“Maura juga memikirkan itu, Pak. Tapi di surat ini dijelaskan bahwa seluruh biaya kuliah ditanggung universitas. Maura nanti tinggal di asrama. Untuk kebutuhan sehari-hari, Maura akan cari kerja.” Aku mencoba menenangkan orangtuaku. Lama kami bertiga diam. Aku paham, Bapak dan Ibu dalam kondisi bimbang luar biasa. Antara mengizinkan aku berangkat atau menahanku di rumah dengan risiko aku menjadi tidak waras. Terdengar berlebihan memang, tapi siapa yang bisa menduga kalau ternyata aku akan menjadi benar-benar gila.

*

“Kak Maura serius mau berangkat?” Naura adikku menatapku penuh kesungguhan. Aku hanya mengangguk. Naura pasti sudah mendengar semua dari Bapak dan Ibu.

“Kapan?” Lanjutnya.

“Dua bulan lagi, Na.”

“Cepat sekali. Kakak punya uang berapa untuk mengurus semuanya.”

“Sedikit, Na. Kakak mau cari kerja dan cari pinjaman. Nanti kalau Kakak sudah di sana dan berhasil dapat kerja, Kakak akan kirim uang ke kamu untuk menyicil pinjaman.” Kedengarannya mudah, tapi dalam hati aku tidak yakin akan semudah yang kukatakan. Untuk sesaat, aku bertanya pada diriku tentang tujuanku berangkat ke Belanda. Untuk sekolah atau bekerja? Tapi, biarlah. Aku juga harus membesarkan hati Naura. Kucoba meyakinkannya bahwa keberangkatanku ke Belanda tidak akan membuat keluarga kami menjadi menderita.

“Kakak mau pinjam uang sama siapa? Aku tidak setuju kalau meminjam pada juragan-juragan di sini.”

“Bukan, Na…. kamu tenang saja. Aku sudah konsultasikan masalah ini dengan dosen-dosen Kakak dulu.”

Kulihat wajah Naura tidak setegang tadi. Kupeluk adikku dengan erat. Adikku satu-satunya yang cantik. Ya, Naura memang cantik. Dia lebih cantik dariku, tapi aku tidak pernah cemburu padanya. Naura berkata, bahwa dia cemburu karena kemampuan otakku. Aku hanya tersenyum jika teringat hal itu.

Pernah suatu hari, aku membaca buku harian Naura. Di sana dia menulis, berandai-andai menjadi sepintar aku, tapi tetap memiliki kecantikan rupa yang dimilikinya sekarang. 

Dasar! Protesku dalam hati.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status