Sejak pagi, kesibukan yang luar biasa tampak di kampus Maura. Semua orang seolah-olah punya tugas yang berkaitan dengan kuliah umum David Peters. Di salah satu sudut koridor menuju auditorium, berjejer gadis-gadis cantik nan populer yang sibuk mematut diri. Sesekali mereka berbisik gaduh menyebut nama David Peters.
Pemandangan yang sangat asing bagi Maura. Selama hampir dua tahun belajar di kampus ini, belum pernah Maura melihat kehebohan yang terkesan berlebihan. Semua orang menyebut-nyebut nama David Peters. Sebagian mahasiswa mengelu-elukannya sebagai sosok milyarder dan berpengaruh. Sedangkan mahasiswi, hanya satu bahasan yang sangat menarik mereka, ketampanan David Peters.
Maura mengetuk pintu ruang dekan yang terbuka. Dekan yang tengah sibuk menekuni berkas di mejanya mengalihkan pandang ke arah Maura kemudian mengangguk. Maura pun melangkah masuk dan segera meraih kursi di depan meja dekan.
“Boleh saya bertanya, Dean?”
“Hmm…” Dekan menjawab tanpa melihat Maura. Ia terlihat sangat sibuk membaca. Sesekali telunjuknya ikut menyusuri tulisan-tulisan dalam berkas yang dihadapinya.
“Siapa sebenarnya David Peters, Dean? Kenapa semua orang terlihat antusias menyambutnya.”
Dekan menghentikan kegiatannya kemudian menatap Maura. Maura merasa aneh dengan tatapan dekan yang sulit ditafsirkan.
“Dia segalanya bagi kampus ini, Maura.”
Wow. Maura berdecak kagum dengan klaim dekan yang terdengar luar biasa. Tanpa diminta dekan melanjutkan ceritanya.
“Pertama, dia adalah milyarder yang paling berpengaruh di kota, bahkan negara ini. Kedua, dia merupakan alumnus fakultas kita. Dia belajar sejarah. Selesai meraih doktoralnya di sini, dia melanjutkan ke fakultas ekonomi. Tahun lalu dia meraih gelar doktor bidang manajemen.”
Mata Maura membola mendengar semua penuturan dekan. Yang paling membuatnya antusias adalah latar belakang Pendidikan sejarah David Peters.
Kuharap hasil mempelajari ilmu humaniora membuatnya lebih humanis. Maura menggumam pelan, namun tampaknya dekan mendengar apa yang dia katakana.
“Sayangnya tidak seperti itu, Maura.” Dekan menatap Maura penuh arti. Ekspresi wajah Maura langsung berubah. Asa yang dirajutnya lenyap.
“David Peters dibesarkan di lingkungan yang kesemuanya laki-laki. Tidak ada sosok ibu. Yang ada hanyalah ayah serta seorang saudara laki-laki. Ayahnya berperangai sangat keras, cenderung kasar. Perangai saudara laki-lakinya berbanding terbalik dengan ayahnya. Karena tidak tahan dengan ayahnya, dia keluar dari rumah. Entah di mana dia sekarang.”
“Bagaimana dengan David Peters? Kuharap dia tidak seperti ayahnya.” Nada bicara Maura sedikit gentar. Tentu saja nyalinya ciut.
“Selama ini, yang dia perlihatkan adalah perangai seperti ayahnya.” Dekan menatap Maura penuh simpati.
“Tapi aku yakin kamu bisa menaklukkannya, Maura.” Imbuhnya.
Hah! Memangnya aku pawang. Maura memprotes dalam hati. Dirinya membayangkan seandainya ia seorang pawang harimau yang sedang menghadapi harimau terganas yang haus darah. Maura bergidik dan buru-buru mengenyahkan bayangan itu.
“Apa Anda akan membantuku, Dean?” Maura memohon penuh harap. Dekan mengangguk sambil tersenyum.
“Tentu, aku akan membantumu.” Janjinya.
*
Maura dan dekan menoleh bersamaan ke arah pintu begitu terdengar ketukan. Laki-laki yang kemarin tidak sengaja terkena pintu ruang dekan yang dibuka Maura.
“Matt, masuklah!” Dekan menyuruh laki-laki itu masuk. Maura refleks berdiri kemudian menggeser kursi untuk laki-laki tersebut. Namun Matt mengabaikan sikap baik Maura.
“Tuan Dave sudah datang dan menunggu di auditorium.” Matt berkata dengan nada suara datar.
Tuan Dave? Apakah yang dimaksud David Peters? Maura bertanya-tanya dalam hati. Dilihatnya dekan berkemas dan meraih blazer yang ada di kursinya. “Ayo, Maura!”
Susah payah Maura melangkah mengimbangi langkah kaki Matt dan dekan. Sesekali ia merutuki dirinya yang tidak memiliki kaki sejenjang mereka. Peluh mulai menitik di kening Maura. Buru-buru disekanya dengan punggung tangan. Sesampainya di auditorium, Maura mengedarkan pandang. Matanya menyapu seluruh bagian auditorium, mencari sosok bernama David Peters. Pandangan Maura terhenti pada sosok yang duduk di barisan paling depan dan didampingi oleh mahasiswi-mahasiswi cantik yang tadi dilihatnya di koridor. Apakah itu David Peters? Maura menduga-duga. Sosok yang menjadi fokus penglihatannya terlihat menarik, meskipun ia baru menatap punggungnya saja.
“Maura, Ayo!” Dekan membuyarkan pikirannya yang masih sibuk menaksir usia David. Maura mengangguk kemudian mengekor dekan.
“Tuan David Peters, mohon maaf membuat Anda menunggu.” Dekan menyalami David Peters sambil berbasa-basi. Yang diajak bicara hanya mengangguk dan kemudian duduk lagi.
Gila, orang seperti ini yang akan aku hadapi nanti. Oh Tuhan…. Kepercayaan diri Maura lenyap seketika.
Tapi tunggu, kalau kutaksir usianya tidak jauh beda denganku, mungkin hanya beda dua atau tiga tahun. Maura sibuk mereka-reka usia orang yang akan dia hadapi nanti demi pinjaman untuk tuition fee.
Beberapa staf kampus tampak mengusir mahasiswi-mahasiswi yang duduk di sekitar David Peters. Dekan mengambil duduk di sisi kanan David dan Maura di sisi kanan dekan. Sekilas, David melirik ke arah samping kanan, memastikan penglihatannya pada sosok yang duduk di samping dekan.
*
David berbicara mengenai dua keilmuan yang dipelajarinya, sejarah dan manajemen berkaitan dengan bisnis yang dimilikinya. Betapa pengetahuan dan pemahaman sejarah suatu masyarakat dapat membawa dampak yang signifikan bagi pemasaran dan penjualan suatu produk. Bahasan berikutnya tidak terlalu menarik bagi Maura karena hampir seluruhnya berhubungan dengan manajemen dan seni berbisnis.
Maura menanti akhir kuliah umum ini dengan debaran jantung tak biasa. Beragam pertanyaan tanpa jawaban berloncatan di kepalanya.
Bagaimana jika dia menolak membantuku?
Apa dia akan mempermalukanku di depan umum karena berhutang padanya?
Apa dia akan…. Begitu banyak pertanyaan yang dipikirkan membuat Maura kehilangan konsentrasi. Dekan menyenggolnya perlahan, memberi tahu jika David Peters sudah mengakhiri kuliah umumnya.
*
“Maaf, Tuan David…” Suara Maura menghentikan langkah David. Laki-laki itu menoleh ke arah sumber suara. Maura berjalan mendekat sambil menunduk.
“Ya…”
“Bolehkah saya bicara dengan Tuan sebentar?”
“Siapa dia?” Maura membuka mulutnya hendak menjawab pertanyaan David, tapi diurungkannya karena dekan sudah lebih dulu angkat bicara. Ia berbisik pada David,
“Salah satu mahasiswa yang membutuhkan bantuan. Dia sedang menulis tesis dan melanjutkan penelitian yang masih tertunda.”
David tidak menjawab. Dia sangat paham dengan maksud dari perkataan dekan. Sebelum pergi, David berkata pada Matt dan dekan, “Besok dia bisa menemuiku.”
“Terima kasih, Dave.” Dekan berkata dengan wajah semringah. Dilihatnya Maura yang masih terpaku di tempatnya. Dengan kode senyuman dan gerakan dagu, Maura tanggap dengan maksud dekan.
“Terima kasih, Tuan David.” Maura membungkukkan badannya berkali-kali sambil mengucap terima kasih. Baginya ini awal yang, mungkin, akan berakhir baik.
***
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga