Maura menghentikan langkah dan memasang pendengarannya baik-baik. Ya, benar, para mahasiswa menyebutkan nama David Peters.
Apa yang membuat David Peters datang lagi ke kampus? Maura bertanya pada diri sendiri. Ingin rasanya ia menanyai semua mahasiswa yang berlalu-lalang, tapi diurungkannya. Maura mencoba menekan rasa ingin tahunya kuat-kuat. Ia tidak mau menjadi bahan ejekan lagi karena bertanya tentang keberadaan David Peters di kampus.
Maura mempercepat langkahnya menuju perpustakaan. Sesampainya di persimpangan koridor arah perpustakaan dan ruang kelas, Maura melihat David Peters melintas. Sontak ia memekik tertahan melihat apa yang baru saja ditangkap matanya. Seorang laki-laki dengan kaos polo, jins, dan topi bisbol yang tidak asing. Maura melihat laki-laki itu di kelas tadi pagi. Ya, David Peters ternyata ada di kelasnya dan menyimak kuliahnya. Kemudian di belakang David, tampak seorang laki-laki dengan penampilan yang sama.
Itu pasti Matt. Gumam Maura.
*
“Kamu berhasil menciptakan kegaduhan, Dave.” Dekan terkekeh melihat wajah kesal Dave dan Matt. Direbahkan punggungnya pada sandaran kursi yang fleksibel. Lengannya terlipat di depan dada. Mengamati wajah Dave sedari tadi membuat dekan seolah enggan menghentikan kekehannya.
“Bantu aku keluar dari sini, Dean.” Suara Dave terdengar sedikit memohon. Sebenarnya, Dave sangat anti memohon pada seseorang, biasanya orang yang memohon padanya. Namun kali ini, Dave benar-benar butuh bantuan dekan untuk terbebas dari masalah ini.
Dekan kembali tertawa. Lalu diambilnya ponsel yang tergeletak di atas meja. Tak lama kemudian dekan melakukan percakapan singkat dengan seseorang di telepon dan diakhiri dengan kalimat bernada memerintah, “Segeralah ke ruanganku!”. Dekan mengakhiri panggilan kemudian meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Sekilas, matanya melirik ke arah Dave. Dave sengaja tidak menatap dekan. ia memilih membuang muka, mengusir rasa kesal yang menghinggapinya.
*
“Ada apa, Dean….” Maura melongokkan wajahnya ke dalam ruangan dekan. Dekan melambaikan tangan, menyuruh Maura masuk.
“Tutup pintunya, Maura!” Kata dekan. Maura mengangguk tanda mengerti. Dilihatnya Dave dan Matt juga berada di sana. Maura menatap Dave dan Matt bergantian. Tak lupa senyum ia sunggingkan sebagai bentuk keramahan.
“Maura, tolong kawal Dave dan Matt keluar dari kampus. Setidaknya sampai mereka masuk ke dalam mobil.” Dekan berkata santai sambil tidak mengubah posisinya. Maura kembali melihat Dave dan Matt bergantian.
Maura menyunggingkan senyum ketika membayangkan situasi seperti apa yang sedang dihadapi Dave dan Matt tadi. Dave yang sedang melirik ke arah Maura mendadak geram. Dave menduga senyum Maura kali ini adalah untuk mengejeknya. Amarah Dave menggelegak. Ia menatap Maura dengan sorot tajam.
“Berani kamu menertawakanku!” Bentak Dave. Maura terlonjak karena kaget luar biasa dengan bentakan Dave. Senyum di wajahnya pun memudar seketika. Dalam hati Maura bertanya-tanya, Siapa yang menertawakan dia?
“Maaf, Tuan David. Saya tidak bermaksud menertawakan Anda.” Maura menunduk seraya berkata dengan suara lirih. Dekan menghela nafas melihat sikap Dave. Ia tahu Dave tidak pernah bersikap baik kepada orang, terlebih orang asing. Namun membentak orang yang tidak membuat kesalahan adalah sikap yang sangat keterlaluan. Dekan tidak bisa membayangkan jika Maura menolak membantu Dave dan Matt menuju mobil setelah sikap kasar Dave. Sudah tentu tidak ada lagi mahasiswa yang bisa diminta bantuannya. Mayoritas mahasiswa di kampus ini sudah tahu David Peters. Hal itu tentu saja akan menyulitkan mereka berdua untuk meninggalkan kampus dengan mudah.
*
Mereka berempat terdiam cukup lama. Terbenam dalam pikiran masing-masing. Dave yang terlihat paling gelisah. Entah sudah berapa kali Dave mengentakkan kakinya. Ia benar-benar terlihat ingin menunjukkan ketidaksabarannya. Dekan menanggapi dengan dehaman. Lama-lama dekan merasa kesal juga dengan tingkah Dave.
“Kapan kita akan keluar dari sini?” Dave melotot ke arah Maura. Maura tidak langsung menjawab. Ia sibuk mempertimbangkan sekali lagi rencana yang telah disusunnya sebelum bicara.
“Mohon bersabarlah, Tuan David. Kita tunggu sepuluh menit lagi. Jadwal kuliah berikutnya akan dimulai lima menit lagi.”
“Kalau seperti itu, kenapa aku harus menunggu sepuluh menit, hah!”
Maura sigap memotong kalimat Dave, “Jangan, Tuan David. Kumohon dengarkan aku kali ini saja. Setelah bel tanda perkuliahan dimulai, biasanya mahasiswa masih enggan untuk masuk kelas. Mereka biasanya baru masuk lima menit setelahnya. Aku khawatir akan terjadi kegaduhan lagi bila kita segera keluar setelah bel perkuliahan dimulai.” Matt mengangguk mengiyakan perkataan Maura, meskipun ia juga tidak yakin. Dave melotot menatap Matt. Yang ditatap kemudian meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Saya akan keluar untuk melihat situasi dulu. Jika memang benar-benar aman, saya akan kembali dan memberi tahu Anda.”
“Kali ini kau harus mengikuti saran Maura, Dave.” Dekan angkat bicara.
Dave tidak menjawab. Ia hanya menggerakkan alis matanya sebagai tanda ia menyetujuui saran dekan. Maura keluar dari ruang dekan dan duduk di salah satu bangku yang ditata berjajar di sepanjang koridor. Beberapa menit Maura menunggu sambil mengedarkan pandangan. Beberapa titik koridor sudah lengang, namun di beberapa tempat masih ada mahasiswa yang berkumpul dan bersiap masuk kelas. Maura menunggu beberapa menit lagi kemudian ia beranjak dari duduknya. Melangkah kembali ke ruang dekan dengan yakin, tidak ada mahasiswa yang akan mengetahui keberadaan Dave dan Matt.
“Sudah aman, Tuan.”
“Kau yakin, Nona Maura?” Dave menekankan suaranya ketika menyebut Nona Maura. Maura mengangguk mengiyakan. Untuk meyakinkan Dave, Maura memutar badannya keluar dari ruangan dekan sekali lagi.
“Benar, sudah aman…. Aku jamin.” Maura berkata penuh kesungguhan.
Astaga, ternyata orang ini ribet sekali. Maura mengeluh dalam hati. Ia merasa David Peters benar-benar sanagt merepotkan.
Dave menyeringai aneh. Tanpa menunggu lama ia menjabat tangan dekan dan segera keluar dari ruangan itu. Di depan ruangan dekan, Maura meminta Dave untuk berjalan secara wajar, tidak perlu berlari karena akan menimbulkan kecurigaan. Dave pun menurut. Dengan langkah lebar-lebar, Dave bergegas menuju mobilnya yang telah terparkir di depan lobi kampus. Tapi Dave tidak sepenuhnya patuh pada instruksi Maura. Merasa jarak antara dirinya dengan mobil yang terparkir sudah tidak terlalu jauh, Dave mengubah langkah lebarnya menjadi berlari. Akibatnya, ia menarik perhatian beberapa mahasiswi yang sedang duduk di bangku-bangku taman.
“Kyaaa… itu Tuan David….” Pekik beberapa mahasiswi hampir bersamaan.
Dave pun mempercepat larinya sambil berteriak marah, “MAURAAA….”
***
Menurut kalian, bab ini ada unsur komedinya gak sih?
Yang mau memberi review novel ini juga boleh. ^^
“Kau tampak menyedihkan, Dave.” Ujar Maura sambil menyunggingkan senyum. Ia sengaja menghentikan langkahnya demi mengamati sosok lelaki yang dicintainya. Dave yang menunggunya di depan pintu kedatangan bandara memang terlihat sangat memprihatinkan. Cambang yang tumbuh tidak terawat, lingkaran hitam di bawah mata, dan keseluruhan penampilan Dave yang kusut masai, meskipun lelaki itu tengah memakai setelan jas mahal. Dave terkekeh menanggapi komentar Maura akan dirinya. Dalam hati, ia tidak menyangkal penilaian perempuan yang sangat dipujanya itu. Beberapa peristiwa yang telah berlalu memang sangat menyita waktu, tenaga, dan pikiran Dave. Kini, setelah ia berhasil melalui semuanya, meskipun dengan susah payah, Dave hanya menginginkan satu hal, yakni Maura. “Dan kau tampak semakin menggairahkan, Maura.” Ujar Dave sambil melangkah mendekati Maura. Maura memalingkan wajahnya guna menyembunyikan senyum le
Maura masih memandangi pantulan dirinya di cermin. Perasaannya campur aduk, susah untuk dijelaskan. Maura masih sulit untuk percaya bahwa hari ia akan menikah. Melepas masa lajang kalau kata orang. Ia akan menikah dengan laki-laki yang belum dikenalnya. Maura memang pernah bertemu satu kali dengan lelaki itu, tapi tentu saja pertemuan yang hanya sebentar itu tidak serta merta membuatnya langsung mengenal kepribadian lelaki itu. Jangankan mengenal kepribadiannya, namanya saja Maura tidak tahu. Seingat Maura, laki-laki itu tidak pernah menyebut apa pun tentang dirinya termasuk nama.Ditengah kecamuk pikiran dan kegalauan yang melanda hatinya, Maura dikejutkan oleh suara adiknya, Naura. Adik Maura itu tengah sibuk mengecek sekali lagi buket bunga yang akan dibawa oleh kakaknya."Ayo, Kak." Kata Naura sambil mengangsurkan buket bunga berwarna putih. Maura men
“Lepaskan!” Suara laki-laki dengan nada tinggi karena amarah sukses menghentikan kegiatan membaca Dave. Sambil terus menatap layar laptop yang menampilkan seorang lelaki muda bersama orang bayarannya, Dave meletakkan pembatas buku untuk menandai halaman terakhir yang dibacanya. Suara khas benturan lembaran buku yang tertutup sempat mengisi keheningan ruang kerja Dave. “Apa yang kamu lakukan?” Dave menanyai orang bayarannya. Lelaki yang ditanya itu pun menghadapkan tubuhnya ke layar yang menampilkan sosok Dave. “Dia menolak ketika saya ajak bertemu Bos.” Lelaki itu menjawab dengan suara yang menunjukkan ketegasan. “Siapa kamu?” Lelaki yang telah duduk pada sebuah kursi kayu sederhana itu pun memotong pembicaraan Dave dan orang bayarannya. Dave tidak segera menyahut. Sebagai gantinya, ia melempar senyuman tipis. Senyuman yang terlihat manis, namun berbahaya karena tidak bisa dengan mudah diartikan maknanya. Lelaki itu pun terlihat kesal karena Dave tida
“Silakan, Maura.” Rektor mengangkat satu tangannya guna menyilakan Maura duduk di kursi yang ada di seberang meja kerjanya. Maura duduk dengan terlebih dahulu melepas ranselnya. Tas berwarna abu-abu muda itu kemudian diletakkan Maura di sisi kaki kirinya dengan alas tas menempel permukaan karpet tebal yang melapisi lantai ruangan rektor.“Terima kasih, Pak.” Jawab Maura sambil menyilangkan kedua tangannya di atas pangkuan.“Saya tidak ingin berlama-lama karena masih ada yang harus saya kerjakan.”“Baik, Pak.” Tidak tahu harus merespons apa, Maura lebih memilih mengiyakan kalimat rektor. Tentu saja ia tidak akan menyangkal jika rektor memiliki banyak pekerjaan.“Saya mohon maaf, tapi dengan berat hati saya katakan bahw
“Aku pergi dulu, Bi.” Kata Maura sembari meraih tas ranselnya di salah satu kursi meja makan. Dengan langkah gontai Maura menuju pintu utama tanpa mengatakan sepatah kata pun. Maura merasa semangatnya hilang. Tercerabut bersama kenyataan yang dilihatnya dengan mata kepala sendiri. Sesampainya di ruang tamu, Maura sempat berhenti beberapa waktu. Rasanya ia ingin menoleh ke samping kanannya, meskipun itu artinya dia akan kembali melihat foto pengantin Dave dan Rosaline. Hati Maura memintanya untuk jangan melihat, tapi sepasang matanya seolah dipaksa untuk melakukan sebaliknya. Dan akhirnya, Maura menyerah. Ia kembali melihat foto itu. Dengan senyum yang jelas sangat dipaksakan, Maura bergumam sambil matanya menatap lurus ke arah foto Dave. “Semoga kau bahagia, Dave.” Setelahnya, Maura mempercepat langkah dengan sedikit berlari. Ia harus segera meninggalkan ruma
Vania mengetuk dua kali pintu kayu dengan ukiran khas wilayah Pesisir Utara Jawa Timur di hadapannya. Terdengar sahutan dari dalam ruangan yang mengizinkannya masuk. Perlahan, Vania membuka pintu besar berwarna coklat terang itu kemudian melongokkan wajahnya.“Permisi, Pak Rektor.” Sapa Vania disertai senyuman yang mengembang di wajahnya. Pak Rektor melihat Vania sekilas kemudian mempersilakan gadis itu masuk. Setelah diizinkan duduk, Vania belum juga mengatakan maksud kedatangannya.“Ada apa, Vania?” Tanya Pak Rektor tanpa mengalihkan pandangan dari buku yang tengah dibacanya.“Ini…tentang Maura lagi, Pak.” Vania terlihat sangat berhati-hati ketika menyebut nama Maura. Vania tahu saat ini masih terlalu pagi untuk membuat laporan tentang Maura lagi. Terlebih, ia sudah perna
“David, kuharap kamu tidak keberatan menunda kepulanganmu ke Belanda.” Ujar rektor setelah acara peresmian gedung pertunjukan berakhir. Dave yang ditepuk bahu belakangnya pun serta merta mengiyakan permintaan rektor.“Ada masalah apa, Pak Rektor?”Rektor tersenyum sambil kembali menepuk bahu Dave.“Senin kau akan tahu. Tolong temui saya di kantor sebelum jam makan siang.”Dave mengangguk sambil mengatakan iya untuk permintaan rektor. Setelah rektor pergi meninggalkan Dave, Vania segera mendekati Dave. sambil melingkarkan tangannya ke lengan Dave, Vania menanyai lelaki itu. Mencoba mengorek informasi, meskipun secuil.“Ada apa dengan Pak Rektor?” Tanya Vania dengan su
Entah Maura harus merasa senang atau sedih ketika ia dan Dave ternyata tidak punya waktu untuk bersama, meskipun mereka berada di kota dan negara yang sama. Baik Maura maupun Dave sama-sama disibukkan dengan aktivitas masing-masing. Short course yang sudah berjalan selama dua pekan memaksa Maura untuk memusatkan perhatian hanya pada kegiatan tersebut. Walaupun tidak bisa dipungkiri, segala hal yang berhubungan dengan Vania termasuk mimpi buruk yang dialaminya sebelum berangkat ke Belanda masih terus mengganggu pikirannya.Rutinitas harian Maura yang didominasi oleh kursus memang terasa sangat menjemukan. Bisa dikatakan, Maura tidak punya kegiatan lain selain mengikuti kursus. Maura mengawali hari dengan persiapan yang ala kadarnya karena ia selalu terlambat bangun. Terlambat bangun, tapi tidak boleh terlambat hadir
"Sebenarnya apa yang kamu inginkan, Vania?" Maura berusaha menekan suaranya agar tidak berteriak. Dadanya terasa mau meledak karena kesal bercampur marah. Bukannya menjawab, Vania justru tertawa terbahak. Suaranya yang nyaring begitu memekakkan telinga, membuat Maura semakin terpancing amarahnya.Maura tahu dan sepenuhnya sadar bahwa dirinya tengah dipermainkan oleh Vania. Dan Maura yang ingin menyudahi semuanya terlihat begitu bernafsu meladeni permainan Vania. Maura benar-benar tidak ingin membuang waktu. Ia ingin semua yang mengganjal dan membuatnya tidak nyaman ini segera berakhir dan jelas.Maura sudah tidak tahan dengan perlakuan orang-orang di tempat kerjanya akibat terpengaruh hasutan Vania."Aku ulangi lagi. Apa maumu, Vania?" Maura berkata sambil memekik tertahan. Napasnya yang sedikit tersenga