"Wah, adiknya Saski ternyata kembar." Celetukan Shaka Bentala yang sudah beranjak remaja mengundang tawa ketika aku menggendong salah satu bayi di samping Sara.
Benar, nama yang kusebut tadi itu anaknya Nabas sama si janda. Mungkin efek usia atau tingkat stres tinggi, ibunya si Ben lebih dulu meninggalkan dunia. Sementara ini dia diasuh sebagai anak Kea. Uh, kita enggak pernah tahu gimana proses berjalannya takdir hingga Tuhan memberi keinginan kita, tentu dengan usaha yang menjadikan hasilnya sangat berharga.
Saski, anak gadis yang kudapatkan setelah enam belas tahun pernikahan. Lama juga, ya? Beda usianya terpaut sepuluh tahun dari Ben, dan sekarang punya dua adik sekaligus.
"Suka sama anak kecil, Ben?" tanyaku seraya menyodorkan bayi yang kugendong ke dekatnya.
Dibanding Shaka, anaknya Nabas ini lebih suka dipanggil Ben, terutama semenjak ibunya meninggal. Dia mengelus pipi anak lelakiku s
Selamat tinggal ... masa lalu. Aku kan melangkah. Maafkanlah ... segala yang pernah kulakukan padamu. Hayok, siapa yang baca di atas malah nyanyi? Enggak ada? Ah, okelah kalau begitu. Al cuma mau nyampein kalau kisahnya Aksa dan Sara bakal berakhir di sini. Masih ada pertanyaan? For your information, beberapa tokoh dalam cerita ini memiliki kisah tersendiri di judul lainnya. Untuk Nabastala, tentu aja udah terbit duluan di tahun 2019. Kisahnya Aksa ini menjadi sekuel Nabastala dan menggantung dalam draf cukup lama dalam jumlah kata kurang dari 30 ribu. Nah, keren dong di Goodnovel bisa jadi 100 ribu. Kisah lain yang juga jadi kameo di "Semalam Bersamamu"? Al punya "Dokter Tampan Pemikat Wanita", masih di Goodnovel juga. Kali inget dokter yang meriksa Sara waktu jatuh di kapal pesiar. Bener banget. Si Abra dan Natasha bakal k
"Lo yakin enggak pa-pa?" Pertanyaanku dijawab dengan anggukan. Sara masih terpejam di bawah kuasa lenguhan napasku yang mengedar pada tulang selangkanya. Jemariku bergetar saat meloloskan tiap kancing seragamnya yang telah basah karena hujan. Kesegaran alami berpadu wangi anggur yang manis di permukaan kulitnya membuatku sesekali memberi gigitan kecil. Sara melengkungkan punggung ketika puncak penutup dadanya kugigit, dan memudahkan jemari bergerak di belakang tubuhnya, meloloskan benda hitam yang kontras dengan warna kulit Sara.
"Beneran enggak mau? Ferrari loh, Ga." Aku menggeleng sambil membolak-balik majalah yang isinya enggak jauh-jauh dari permainan warna di permukaan wajah. Sebenarnya menunggu pelanggan nyalon sangat membosankan, tapi dia betah minta kutemenin, gimana? Dibayar cuma buat jadi teman bicara. Enggak tahu udah berapa kali dia mesen jalan denganku melalui Nyonya. Pakai nawarin kasih mobil asalkan mau jadi piaraannya dia, tapi rasanya ... enggak ah. Ogah! Mikir kudu satu ranjang sama wanita yang rajin banget ganti warna rambut itu membuatku bergidik ngeri. Tampilan luar bisa mengelabui, tapi buat melakukan hal yang melibatkan rasa ... aku harus berkali-kali mikir. Kuperhatikan lagi wanita yang masih berkutat di depan cermin sete
"Aksa! Lo mau nitip?" tanya cewek yang sempat lewat sisi meja. Aku lupa namanya kalau enggak nemu penanda di seragam, soalnya belum ganti kaus olahraga. Aku juga, sih. Belum ganti.Bersyukurnya masuk kelas Bahasa, mereka enggak lihat penampilanku sebagai patokan femes. Namun, suasana saat keluar kelas yang justru membuatku jarang melintasi koridor saat jam istirahat. Terlalu ramai. Belum lagi kehebohan karena aku siswa baru di semester awal kelas dua. Cowok yang dianggap cakep karena punya muka blasteran Arab biarpun enggak ada keturunan sana. Pede? Enggak. Bukan aku yang bilang, tapi para seleb dadakan yang sandaran di daun pintu setiap jamkos atau istirahat. Mereka selalu punya gosip kekinian yang pastinya terdengar sampai tempatku duduk. Abaikan. Kuangsur lembaran merah muda dari hasil semalam berpesta sampai menjelang terang ke cewek yang menunggu dengan telapak tangan terbuka. "Beliin yang bikin kenyang. Lo pilih satu juga. Jangan lupa air botolan." Hangover membuatku enggak
"Kamu apaan, sih? Kasihan tuh Lingga-nya." Si tante membela, pasang badan dengan memelukku setelah suaminya datang memberi pukulan di tengah pusat perbelanjaan. Sebenarnya nggak perlu. Bisa aja kubalas balik. Kubersihkan darah yang merembes di sudut bibir saat bangkit menghadapi pria tua yang masih geram. Terutama karena wanitanya menangis untukku. "Sakit, Sayang?" Ih, geli dengernya. Aku ngegeleng, nepis tangannya yang berusaha ngebantu berdiri. Kuhampiri pria tua itu dan memberinya pukulan telak di ulu hati hingga tak mampu berdiri. Aku berjongkok dan berteriak di telinganya, "Om mau saya nggak deketin istri Om lagi? Makanya punya duit tuh gunain! Oplas, kek! Besarin, kek! Bego amat nyalahin orang lain cuma gara-gara
"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana." "Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang." Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos. Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan? Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku. "Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek. Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur. Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan