"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana."
"Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang."
Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos.
Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan?
Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku.
"Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek.
Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur.
Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
Kebiasaanku memang enggak pakai baju kalau tidur, tapi celana masih aman. Hela napas bentar. Inhale ... exhale ....
Ini anak gadis urang. Entar dikira bobogohan deui.
"Ra! Sara! Garini!"
Bukannya bangun, cewek yang tidur berbantal lenganku malah menggeliat telentang setelah banjir iler.
Tepok jidat kan jadinya. Aku berdecak, menyingkirkan dia secara paksa dari lengan yang terasa keram.
"Apa enggak dicariin orang tuanya?" pikirku saat merangsek masuk kamar mandi. Enggak peduli dia bangun atau enggak pas dilepasin.
Setelah selesai dengan rutinitas mandi dan berseragam, putri pemilik kos itu belum juga bangun. Dia telentang bebas sampai kakinya keluar dari batas kasur.
"Sara! Garini!" Kadang keikut manggil nama depannya gegara ibu kos kalau marah sering teriakin nama lengkap Sara, kedengeran sampai ujung gang.
Kugeser tubuhnya menggunakan ujung kaki berulang kali, tapi masih belum ada respon. Dia malah dengan mudahnya rentangin tangan sampai kausnya keangkat naik.
Dari sekian banyak penghuni, kenapa dia malah rajin banget ngeresein aku? Eh, pede banget, ya?
"Bangun! Gue liat mata lo ngintip."
"Keliatan, ya?"
Sara spontan membuka mata ketika kugeser lagi tubuhnya menggunakan ujung kaki. Kalau bisa, kutendang sekalian. Eh, jangan. Entar patah tulang.
Aku berpindah pada pantry di sudut, membuat susu cokelat untuk menghilangkan rasa pengar.
"Buatin gue juga, Sa." Dia bicara dengan suara serak sambil mengerjapkan mata.
Enak banget.... "Enggak."
Tuh, kan. Dia beneran udah bangun. Rese banget ngerjainnya.
"Ayolah, Sa. Anggap aja terima kasih sudah bawa elo dari depan sana. Berat tau."
"Siapa suruh?"
Sara berdecak. Kesal banget kayaknya dia.
"Nih!" Kusorongkan isi gelas yang sisa setengah ketika dia bangkit, tampak duduk di dekat rak buku.
Sara mengamati sambil meneguk sesekali isi gelas ketika aku memilah buku pelajaran yang dimasukkan dalam ransel. Wajahnya bersemu kemerahan tiap kali tanpa sengaja bertemu tatap.
"Apa? Kalau selesai, pulang sana."
"Tega amat. Abisin dulu napa? Sudah dadakan ngajak tidur, mana teriak-teriak, 'Ambu... bangun....' Dikira enggak sakit apa diguncang-guncang?" Sara menjelaskan dengan nada yang dibuat-buat.
Penjelasan yang membuatku menariknya keluar kamar dan menutup pintu. Lupa. Gelas di tangannya harus kuambil juga.
Kayaknya dia kaget pas aku ngebanting pintu. Aku aja kaget.
Mengesalkan.
Kerjaan salah satu janda kaya yang berusaha membuatku mabuk semalam sepertinya enggak mampu bikin aku mengikuti kemauan mereka.
Catat. Mereka. Artinya ada lebih dari satu.
Yang ada malah aku mendorong semua orang yang berusaha mendekat.
Terbukti si "Nyonya" mengomel lagi melalui pesan masuk ketika aku membuka kunci layar ponsel. Panggilannya kusenyapkan.
Abai lagi.
Aku hampir putus asa ketika mereka bilang enggak bisa menemukan keluargaku yang masih tersisa. Seakan mereka hanya ingin menahanku tetap bekerja dengan segala hal yang disebut hutang.
Kupanggul ransel keluar dari kamar setelah memastikan tali sepatu terikat dengan benar. Ingat motor yang belum diisi bahan bakar, membuatku mempertimbangkan memanggil ojek online melalui pergeseran layar ponsel.
"Ikut, Sa?"
Ya Tuhan! Si cewek kepo sudah duduk di motor aja.
"Mandi bebek?" Aku berceletuk ketika melewatinya. Kebayang aja mandi kilat secepat itu.
Sara sepertinya terkekeh. Dia mengikutiku sambil menjalankan motornya di sisi.
"Ikut aja coba, Sa. Nanti pulangnya beli bensin bareng."
Aku terus saja memainkan layar ponsel, membiarkan Sara terus berceloteh.
Sampai akhirnya bapak-bapak berjaket hijau menghampiri, "Kebut, Pak!" aku melambaikan tangan, meninggalkannya yang tampak merengut.
***
Nabas enggak langsung ketemu si pelanggan baru yang Nyonya katakan. Dia benar-benar baru ketika menandatangani kontrak. Entah baca secara teliti atau enggak.
"Lo kerja ginian?"
Berasa ajaib waktu dia terkejut dengan kisahku. Kirain bakal jaga jarak atau seenggaknya jijik kalau tahu temannya justru penjaja diri.
Ternyata enggak.
Katanya, "Orang lain enggak tahu apa yang sudah lo lewatin dan apa yang buat lo jadi kayak gini. Gue jelas bukan elo dan elo bukan gue. Enggak pantes rasanya ngehakimin. Enggak objektif."
Berhadapan sama siswa kelas IPA bahasanya berat. Ngalahin pujangga, kalau ngomongin sebab akibat.
Setelah Nabas latihan manner sebelum bertemu pelanggan untuk pertama kali, aku mengikutinya menuju rumah sakit.
Kadang aku bersyukur kalau Nyonya lagi baik minjemin salah satu koleksi roda empatnya.
"Sekalian. Alamatnya udah gue kirim," kata si Nyonya saat menyerahkan kunci mobil berikut uang muka buatku dan Nabas.
Kali ini enggak transfer. Tumben.
"Jangan mengacau!"
Wanita yang kulitnya masih terlihat kencang di usia paruh baya itu lebih banyak menyebalkan daripada baiknya.
Mengacau? Seperti apa? Ninggalin klien?
"Gimana dapetin lebih banyak dari kerjaan ini?"
Pertanyaan Nabas membuatku garuk kepala ketika meninggalkan rumah sakit setelah pembayaran biaya rawat inap Naryadipa—adik Nabas yang kena DB.
"Ah, itu." Sebenarnya aku tahu, tapi sulit untuk melangkah pada tahap itu. Maksudku, Nabas bakal ketemu klien yang mengerikan nanti.
Kenapa enggak kasih tahu sekarang aja?
Sedan biru metalik si Nyonya kembali melaju di aspal. Tujuannya enggak jauh. Cuma ngebayangin ketemu para wanita berumur yang ngadain arisan brondong.
Kayaknya bakal bikin aku kabur, lagi.
"Yah, itu. Lo sok polos atau pura-pura enggak tau?"
"Konteks perkataanmu sama, Sa."
Aku diam sejenak, fokus pada kemacetan di depan ketika berkendara. Hampir lupa. "Jangan panggil Aksa saat di sana."
"Kenapa?"
"Gue enggak mau dikejar tante girang ampe sekolahan. Gila aja kalau mereka nyariin gue."
Nabas tergelak. Dia bertanya, "Memang pernah?"
"Di sekolah gue dulu, pernah. Lu pikir kenapa gue pindah sekolah? Bisa diomelin Nyonya lagi kalau masih bermasalah juga."
Nabas menekan ujung telunjuknya di bibir, seperti menimbang ucapan berikutnya. Gelaknya hilang seketika.
"Ikuti aja maunya mereka. Mau lo telanjang sekalian juga enggak ada yang marah. Kalau lo enggak tahu malu."
"Lo ketawa, Sa?"
Aku langsung menekan lidah pada bagian dalam mulut, menormalkan ekspresi yang terlihat. Cuma ngebayangin yang mungkin terjadi pada Nabas membuatku spontan tertawa.
Kayaknya bakal lucu.
Benar saja. Begitu tiba di resto yang dituju dan disambut klien pemesan, kami berpindah pada ruangan yang sifatnya privasi.
Untuk pertama kali, Nabas melebarkan mata kecilnya seperti takjub.
"Biar belajar manner, kalau ketemu kucing mah enggak bakal ingat."
Nabas tertawa miris mendengar kalimatku. Ngeri duluan kali pas ngeliat para wanita berdandan menor.
Menurutku sih ya menor. Kebayang aja beberapa lapisan untuk menutupi cacat wajah. Atau terlalu putih kayak cat tembok.
Eh, Nabas juga putih. Keturunan mungkin.
"Nah, Jeng. Ini yang namanya Lingga."
Aku ditarik lebih dulu masuk ke dalam ruangan. Duduk di pertengahan perkumpulan. Mungkin sepuluh atau lima belas orang mengelilingi meja besar. Ini namanya bukan arisan, tapi pesta.
Nabas yang belum mampu membiasakan diri di sudut lain terlihat jaga jarak, mungkin juga risih dengan berbagai sentuhan.
Aku jadi beneran ketawa. Bukan karena bahasan para tante, tapi tingkah Nabas yang terlihat dikejar-kejar.
"Temen kamu cakep juga, Ling. Impor, ya?"
"Lokal, Tan. Enggak tahu juga. Mungkin ada lah kebagian jatah impor pemerintah."
Lucu enggak, sih? Tau ah, yang penting ikut ketawa aja.
Mereka ini kan cuma nyari teman bicara aja yang good looking. Bisa dipegang dan mau megang. Enggak yang sampai ngamar.
Kulirik lagi si Nabas yang sudah bertelanjang dada. Gercep juga ternyata. Beneran dia mau atau efek minuman.
Aku juga pernah ngerasain dikasih obat gitu. Panas sama pusing iya, tapi enggak gimana-gimana kayak di film.
Paling dulu itu langsung pinjem toilet buat mandi. Kocak kalau inget.
Soalnya pelanggan yang ngebayar sudah kayak iya aja mau gituan. Taunya aku malah langsung ngabur pas dia udah buka semua.
"Dipanggil malaikat maut," kataku waktu itu. Enggak peduli basah-basah keluar dari kamar hotel.
"Lingga enggak minum?"
Seorang dari mereka menawarkan salah satu gelas tinggi nan ramping. Aroma yang menguar, manis dan pahit bersamaan ketika berpindah ke tangan.
"Apa ini? Wanginya seperti stroberi." Aku sempat mendekati si pemberi dan menyibak rambut panjangnya dengan jemari.
"Oh, bukan. Wangi ini." Kuangkat tinggi gelas di tangan, mengajak mereka minum bersama, tapi enggak ikutan minum. Cuma pindahin ke atas meja. Melihat Nabas mulai menggila di pojok aja sudah bisa membuatku menebak.
Mungkin aku lebih memilih mengikuti beberapa permainan yang mereka inginkan daripada tergoda dengan hubungan fisik.
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang
Tanganku terdiam pada batas rok kelabu di paha mulusnya, mengetuk jari bergantian di sana. Wajahku mundur, menjaga jarak sambil memandangi raut Sara yang terpejam. Lucu juga. "Aksa?" Panggilan darinya kembali terdengar dalam nada manja tanpa membuka mata. Aku menggeleng, tepiskan tawa yang sempat terbit. "Gue masih di sini." "Ngapain?" Mata kelam Sara terbuka, kembali tunjukkan binarnya. "Liatin muka lo yang enggak sabaran," ucapku datar, embuskan napas di permukaan pipinya tanpa lekatan. "Apaan sih, Sa?" Suara Sara terdengar serak. Kelopak mata kelam itu berkedip lambat seiring desah yang tercipta karena belaian jemariku pada benda di balik rok kelabunya. "Kenapa?" "Lo beda kalau dari dekat gini." Lengan Sara yang menggantung di leherku mulai turun. Kulirik jari-jari lentik berhiaskan pewarna kuku itu bergerak di sepanjang garis kancing seragamku. "Biasa juga lo udah sering liat gue dari dekat." Getaran berbeda seolah menyengat permukaan kulit ketika sentuhannya membelai
"Itu bukan bayaran satu malam," ucapku sebelum meraih air mineral dari gelas beningnya. Aku masih belum bisa lunturkan senyum padanya setelah pengalaman hebat semalam. Rasanya seperti semua beban selama ini terangkat mudah dari ubun-ubun. Jauh lebih melegakan daripada harus main solo di kamar mandi. Sara tampaknya terkejut dengan penuturan yang kusampaikan di meja makan. Mikir aja, sih. Kalau prostitusi artis delapan puluh juta termasuk kelas menengah, apalah kalangan yang masih kelas bawah kayak aku tanpa pengalaman. Jauh lebih murah. Awalnya Sara terlihat kesal, tampak dari caranya menyuap nasi uduk buatan bibi yang ngantar makanan sebelum pagi. Sepertinya, keluarga ini memang jarang masak kalau ngelihat dapurnya yang mulus. "Gue minta segitu biar enggak ngelayanin yang lain. Bisa dibilang, cuma elo doang yang jadi pelanggan gue. Yah, selama bayarannya sesuai."
Kujatuhkan seluruh rak di dalam kamar hingga isinya berserak. Aku menendang apa pun yang menghalangi, bahkan samsak pun sampai jatuh terburai menjadi sasaran pukulan. Untuk sesaat, kurasakan terbang saat bertemu Abah yang mengingatku dan menanyakan kabar Ambu. Lalu setelahnya, aku merasa dijatuhkan terlalu dalam. Aku sangat ingat pria tua itu bilang, "Jangan ke sini dulu. Jangan katakan pada siapa pun sampai Abah kasih kabar." Anj*ng! Meski disertai permohonan dan kata tolong, tetap saja menyakitkan. Dia enggak pernah bilang sama Ambu, enggak juga bilang sama ibunya Kea. Apa namanya kalau bukan pengkhianat? Setan! Mau berapa lama harus nunggu lagi? Berapa lama waktu yang Abah butuhkan biar aku juga diakui? "Aksa?" Panggilan itu tidak mempengaruhiku. Klien baruku itu masuk melalui pintu terbuka