"Terima, kan?"
Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet.Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam.Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu?Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit."Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buang air, cuma ngasap bentar. Bisa aja sih ngerokok pas pulang sekolah, tapi entar jadinya eneg. Lagipula si Nyonya minta ditelepon begitu luang. Ada info katanya."Ya. Apa?" ucapku begitu ponsel di tangan tersambung. Sempat kujepit di bahu ketika menyalakan batang tembakau yang nyelip di bibir."Ketemu?" Aku melebarkan bola mata begitu mendapat informasi dari seberang. Namun, syarat yang diajukannya membuatku urung lega."Apa bisa dipercaya?" Aku mengangguk mendengar penjelasan, tapi uang yang dibutuhkan sebanyak itu dapet dari mana?Kututup telepon sambil menggaruk puncak kepala. Duit lagi... duit lagi....Rokok yang kuisap semakin pendek. Begitu sisa puntung, kusiram ujungnya dalam kloset. Ketika menghidu aroma yang tersisa di ruangan, kentara banget penggunanya abis ngasap."Aksa anak bahasa?" tanya cowok yang ternyata menunggu di depan pintu. Sopan banget sih ya dalam tanda kutip. Muka songongnya kayak inget.Oh, cowok yang bicara sama Sara tadi."Manner, please? Gue senior di sini. Enggak bisa manggil yang bener?" Kusingkirkan tubuhnya dari jalan dengan paksa untuk meraih wastafel untuk cuci tangan."Gue cuma penasaran. Apa yang Sara liat dari lo?"Aku sempat berhenti bergerak ketika dia menyebut nama si cewek rese. Ngelihat gue? Sara ngeliat gue? Apa enggak lucu?"Dibayar berapa lo sama si cewek rese? Siapa dia coba?" balasku santai.Kumatikan aliran air dari wastafel. Ketika berbalik, cowok itu sudah menghalau, menghalangi langkahku.Terlihat geram, dia berusaha memukul, tapi lekas kutangkap. Cetek. Sekali dipukul balik, dia langsung menyingkir, enggak bisa ngelawan."Temen lo, tuh! Suruh belajar berantem dulu baru ngelabrak," kataku terhadap dua orang yang menunggu di ujung koridor toilet. Mereka langsung masuk ke dalam begitu kusinggung saat keluar lebih dulu.Keliatan banget kalau mereka berniat jelek ampe sok pakai penjagaan di luar. Pecundang.Kukira, setelah naik kelas dua belas enggak bakal ada lagi yang rese. Ternyata generasi muda zaman sekarang lebih gampang darah tinggi. Apa aja bisa jadi bahan berantem.Ambu dulu emang nyuruh belajar bela diri, disuruh belajar sama guru silat di kampung. Bukan buat gaya-gayaan kayak para anak kota yang kutemui.Ambu mungkin khawatir karena selalu dicibir soal ngebesarin anak sendiri. Apalagi Abah jarang pulang, dan yang ada Ambu dikira istri simpanan.Aku perlu ketemu Abah, minta penjelasan tentang semua yang telah terjadi di masa lalu. Tapi caranya gimana?***"Belum pulang?" Kulihat Nabas masih betah bersandar di atas kasurku sambil mengompres wajahnya yang masih lebam."Lo pikir?""Pesen taksi. Enggak repot.""Elo mesti tanggung jawab.""Buat apa? Gue enggak hamilin elo."Nabas melempar kompresnya ke arahku yang lagi kesulitan menggantung seragam di dekat beranda. Ukuran luas kamar sekitar dua belas meter persegi, lumayan dekat untuk jarak lemparan dari orang sakit.Aku tergelak hingga cewek rese muncul tanpa mengetuk. Lupa. Pintu belum dikunci."Sudah baikan, Kak?"Dia nanya sama Nabas pakai kata kakak? Dasar si anjir ....Nabas langsung menegakkan punggung, memperbaiki posisi sebelumnya yang terlihat kuyu. Belum sempat ngejawab, sudah kupotong."Ngapain lo di sini? Keluar! Keluar!" Kudorong dia melewati kamar dan menutup pintu.Belum lagi sempat berganti pakaian, aku masih mengenakan kaus dalam dan celana abu-abu saat menggiring Sara keluar dari koridor. Yang ada entar dia betahan lagi di sini."Apaan sih, Sa?""Enggak usah sering-sering ke kamar gue.""Kenapa? Gue cuma mau ngasih ginian doang."Sara memindahkan bungkusan ke tanganku. Masih panas sampai hampir jatuh dari pegangan karena kaget."Makan! Harus habis." Sara kemudian berbalik, melangkah meninggalkanku."Sama bilangin cowok lo. Enggak usah ngusik gue. Gue enggak punya rasa ama elo."Sara enggak berbalik karena perkataanku meski telunjukku sudah mengacung ke arahnya. Dia meneruskan langkah yang menghentak dengan cepat. Dari kejauhan, wajahnya jelas terlihat memerah."Nangis? Cengeng banget."Kuangkat bungkusan ke depan wajah, mencium wanginya aroma bubur ayam. Biar dia rese, Sara tuh rajin banget ngasih makan."Enggak tau baik emang baik apa karena ada maunya."Kalau diingat-ingat sejak awal pindah, Sara masih kelas sepuluh. Dia sering ngintip dari balik jendela. Mungkin sampai hafal jadwalku keluar masuk kamar, kelihatan dari gayanya yang nungguin tiap aku mau ninggalin kosan.Tiap kali ada waktu, dia sempet aja mampir. Aku tahu? Benar. Aku tahu, tapi enggak ngerasa penting.Kata Ambu, aku seperti Abah. Sekali peduli, bisa buat orang lain berharap berlebihan.Ambu benar. Sara terus menempel sejak aku melindungi dirinya dari kejaran para wartawan dulu. Padahal cuma minjemin jaket doang yang bisa nutup sampai kepala.Jelas aku enggak tahu apa yang terjadi saat itu. Jangankan infotainment, berita aja enggak urus. Malah baru tahu kalau dia aktris karena terus pamerin projek barunya."Sa! Ikut, yuk!" Kata yang sama tiap kali dia mengajakku.Mau pamer kali. Enggak sedikit kudengar dia ngaku punya pacar sama orang-orang, tapi cuma diam aja di rumah."Dipikirnya gue cuma anak kecil?"Ketika aku membuka pintu, Nabas baru keluar dari kamar mandi. Wanginya menusuk hidung. "Lo mandi apa ngehabisin sabun?"Nabas nyengir tanpa merasa bersalah. Bisa kulihat cara jalannya masih tertatih menuju kasur."Perlu nyari tukang urut? Lo enggak mungkin pulang kayak gitu.""Boleh. Lo yang nyariin.""Dikasih hati minta empedu. Sekalian aja cabut jantung Abang.""Geli gue denger lo nge-alay."Aku bergeming, menimbang perkataan si Nyonya soal tarif instan tadi kalau milih tangkapan besar. Enggak mudah. Apalagi kebanyakan yang berani bayar adalah kalangan gay. Enggak kebayang. Sama cewek aja belum pernah, apalagi sama cowok."Kenapa diam, Sa?"Aku menggeleng, mengambil mangkok dan perlengkapan makan dari pantry."Cewek tadi?""Lo naksir?""Kagak. Artis ya?"Aku tergelak. Artis? "Enggak tau. Enggak punya tivi. Itu adik kelas lo, Bege."Nabas sok berpikir sampai kuah di mangkoknya kepenuhan. Kaget. "Bener, kok. Kayak artis. Ibu tuh suka nonton sinetron. Eftivi gitu.""Lo ikut nonton?"Nabas terkekeh sambil membersihkan luapan kuah dengan gumpalan tisu yang kuberikan."Sarah, kan?" Dia masih belum mau kalah menebak."Tanpa ha. Just Sara."Nabas curiga, tapi aku masih belum peduli mau dia artis atau bukan. Lebih tepatnya enggak berusaha mencari tahu.Bubur ayam di hadapan masih lebih nikmat daripada kisah hidup artis. Percaya, deh."Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang
Tanganku terdiam pada batas rok kelabu di paha mulusnya, mengetuk jari bergantian di sana. Wajahku mundur, menjaga jarak sambil memandangi raut Sara yang terpejam. Lucu juga. "Aksa?" Panggilan darinya kembali terdengar dalam nada manja tanpa membuka mata. Aku menggeleng, tepiskan tawa yang sempat terbit. "Gue masih di sini." "Ngapain?" Mata kelam Sara terbuka, kembali tunjukkan binarnya. "Liatin muka lo yang enggak sabaran," ucapku datar, embuskan napas di permukaan pipinya tanpa lekatan. "Apaan sih, Sa?" Suara Sara terdengar serak. Kelopak mata kelam itu berkedip lambat seiring desah yang tercipta karena belaian jemariku pada benda di balik rok kelabunya. "Kenapa?" "Lo beda kalau dari dekat gini." Lengan Sara yang menggantung di leherku mulai turun. Kulirik jari-jari lentik berhiaskan pewarna kuku itu bergerak di sepanjang garis kancing seragamku. "Biasa juga lo udah sering liat gue dari dekat." Getaran berbeda seolah menyengat permukaan kulit ketika sentuhannya membelai
"Itu bukan bayaran satu malam," ucapku sebelum meraih air mineral dari gelas beningnya. Aku masih belum bisa lunturkan senyum padanya setelah pengalaman hebat semalam. Rasanya seperti semua beban selama ini terangkat mudah dari ubun-ubun. Jauh lebih melegakan daripada harus main solo di kamar mandi. Sara tampaknya terkejut dengan penuturan yang kusampaikan di meja makan. Mikir aja, sih. Kalau prostitusi artis delapan puluh juta termasuk kelas menengah, apalah kalangan yang masih kelas bawah kayak aku tanpa pengalaman. Jauh lebih murah. Awalnya Sara terlihat kesal, tampak dari caranya menyuap nasi uduk buatan bibi yang ngantar makanan sebelum pagi. Sepertinya, keluarga ini memang jarang masak kalau ngelihat dapurnya yang mulus. "Gue minta segitu biar enggak ngelayanin yang lain. Bisa dibilang, cuma elo doang yang jadi pelanggan gue. Yah, selama bayarannya sesuai."
Kujatuhkan seluruh rak di dalam kamar hingga isinya berserak. Aku menendang apa pun yang menghalangi, bahkan samsak pun sampai jatuh terburai menjadi sasaran pukulan. Untuk sesaat, kurasakan terbang saat bertemu Abah yang mengingatku dan menanyakan kabar Ambu. Lalu setelahnya, aku merasa dijatuhkan terlalu dalam. Aku sangat ingat pria tua itu bilang, "Jangan ke sini dulu. Jangan katakan pada siapa pun sampai Abah kasih kabar." Anj*ng! Meski disertai permohonan dan kata tolong, tetap saja menyakitkan. Dia enggak pernah bilang sama Ambu, enggak juga bilang sama ibunya Kea. Apa namanya kalau bukan pengkhianat? Setan! Mau berapa lama harus nunggu lagi? Berapa lama waktu yang Abah butuhkan biar aku juga diakui? "Aksa?" Panggilan itu tidak mempengaruhiku. Klien baruku itu masuk melalui pintu terbuka
"Aksa ...." Suara cempreng Sara terdengar seperti godaan di telingaku ketika protes kubawa kembali ke kasur setelah dengan mengangkat pinggangnya tinggi-tinggi hingga tetap berada di pangkuan saat duduk bersama. "Berhenti mainin anu gue!" Kikikan Sara justru menggoda jemariku menguak lipatan di balik handuk yang melingkupinya. "Anu yang mana?" Aku turut menertawakan sambil meniup lengkungan di sepanjang leher jenjang Sara. "Udah, Aksa!" Enggak. Aku belum bisa berhenti sampai rasakan gerakan tanganku di bawah sana membuatnya tersentak, lemas. Kehangatan yang mengalir kental jelas bukan milikku. "Meleleh gue, Sa." Pengakuannya kubalas dengan kecupan di sudut bahu ketika Sara memilih bersandar padaku dalam rengkuhan. Lenganku berpindah melingkari pinggangnya lebih erat. "Lo bisa cerita sama gue kalau eman
"Garini! Garini Sarasidya?" Suara yang mengiringi ketukan di luar kamar sontak membangunkanku. "Papa gue,Njir." Sara yang sepertinya merasa terpanggil, tampak memungut satu per satu pakaian yang menggeletak asal di permukaan lantai. Kusandarkan punggung ke dinding dan mengambil kain renda terdekat. Warna ungu samar berbentuk segitiga itu kunaikkan ke udara dan langsung Sara rebut. "Ngapain sembunyi?" tanyaku tanpa mau repot-repot berpindah posisi. Lemparan celana pendek dari Sara ke pangkuanku lebih seperti perintah. "Harus dipakai?" "Bantuin, kek!" Gerutuannya terdengar lebih seperti bisikan. Mungkin takut ketahuan, terbaca dari rautnya yang khawatir. "Eng—gak mau." Kulebarkan mata saat menolak, biarkan bibir menahan tawa yang bisa saja pecah. "Aksa!" Gerakan Sara mengenakan pakaian dalamnya terhenti. "Biarin