"Kamu apaan, sih? Kasihan tuh Lingga-nya."
Si tante membela, pasang badan dengan memelukku setelah suaminya datang memberi pukulan di tengah pusat perbelanjaan. Sebenarnya nggak perlu. Bisa aja kubalas balik.
Kubersihkan darah yang merembes di sudut bibir saat bangkit menghadapi pria tua yang masih geram. Terutama karena wanitanya menangis untukku.
"Sakit, Sayang?"
Ih, geli dengernya.
Aku ngegeleng, nepis tangannya yang berusaha ngebantu berdiri. Kuhampiri pria tua itu dan memberinya pukulan telak di ulu hati hingga tak mampu berdiri.
Aku berjongkok dan berteriak di telinganya, "Om mau saya nggak deketin istri Om lagi? Makanya punya duit tuh gunain! Oplas, kek! Besarin, kek! Bego amat nyalahin orang lain cuma gara-gara letoy!"
Setelah itu, aku memilih menjauh dari keramaian, meninggalkan semua barang yang tante itu belikan. Biarpun istrinya terus saja berusaha mengejar, memanggil nama palsuku–Lingga. Tetap enggak peduli. Mood-ku benar-benar rusak.
Buat apa coba aku terus bertahan di pekerjaan ini? Uang? Enggak.
Ini karena hutang Ambu yang bikin "Nyonya" mengambilku setelah beliau meninggal. Dia juga yang bilang bisa mencari abahku. Entah beneran tulus atau cuma memanfaatkan. Aku nggak tahu.
"Kalau bayarannya sudah sesuai, baru gue kabarin," kata "Nyonya" yang mungkin terpaut tiga-empat puluhan denganku. Gila aja. Sudah makin dekat dengan tanah kubur malah enggak tobat.
Dunia ini penuh abu-abu. Tidak ada yang benar-benar baik. Semua pada minta pamrih. Enggak beda denganku juga.
"Aksa ...." Panggilan lemah dengan langkah terhenti di depanku. Sepatu putihnya terlihat akrab.
Aku terbelalak melihat sosok gadis yang dua tahun lebih muda dariku itu selalu ingin tahu. "Lo ngikutin gue?"
Rambutnya yang selalu dikucir bergoyang ketika melepas ransel mininya, mengeluarkan tisu untuk disapukan pada wajahku.
"Lo ngapain?" Kurebut tisu dari tangannya biar nggak nyentuh, menghindari sentuhan kulit.
"Gue jalan. Pas mau balik, gue liat elo ...."
"Lo liat semuanya?"
Sara mengangguk dan aku berdecak lagi, menormalkan air liur yang terasa bercampur darah dalam rongga mulut.
"Elo ... kayak gitu sama ... hem ... yang lebih tua?"
Nada keraguan dari bibir tebalnya yang terdengar samar membuatku mengangguk, mengiakan saja pemikiran Sara. Kali bisa buat dia ngejauh.
Tapi yang kulihat di mata besarnya bukan sorot takut atau jijik. Dia menggeleng sesaat sebelum menawarkan, "Pulang bareng, Sa?"
Aku mengusap kasar wajah ketika menyadari Sara justru menarik lenganku untuk mengikutinya.
"Gue kira elo beneran pacaran sama yang lebih tua."
Aku benar-benar terkejut dengan persepsinya. Membayangkan punya hubungan sama yang lebih tua membuatku merinding. Seriusan enggak bakal kepikiran sampai sana.
Kuhentikan langkah dan berusaha melepas tangannya, merasa ini enggak benar.
"Pulang? Siapa yang lo ajak pulang?"
"Aksa!"
Sara berteriak, berusaha mengejar ketika aku justru berlari menembus kerumunan untuk menghindarinya. Gadis itu terlihat putus asa dari kejauhan.
***
"Kalau bisa dapetin pengganti?" Aku menunggu jawaban dari Nyonya mengenai pelanggan barunya. Enggak harus cepat ada. Cuma mempersiapkan diri sendiri kayaknya juga belum bisa.
Jawaban di seberang memperbolehkan, tapi sebenarnya aku hanya mengulur waktu. Informasi yang didapat, wanita itu mencari seseorang yang benar-benar baru dan Nyonya menjatuhkan pilihan padaku.
Aku menggeleng cepat. Monolog dalam otakku jelas menolak. Kalau disuruh ngelayanin, paling jauh cuma muasin klien. Enggak perlu ampe masukkin senjata. Kan ada banyak cara.
Mungkin Nyonya juga capek ngebujuk terus menerus. Nyatanya, aku sulit mengeluarkan feeling. Terlalu kaku meski sekadar membagi senyum.
Anehnya, tetap aja ada yang pesan. "Cowok dingin itu menarik, Lingga. Sekali senyum, bikin melting," kata mereka biasanya.
Entahlah ....
Lama-lama bosan dengan kehidupan begini, tapi mau kerja di mana? Kebiasaan gaya hidup, enggak bisa diturunkan. Susah. Paling nggak bisa makan dan tidur enak. Bayar mereka yang janji nyariin keluargaku, kalau bisa.
Kututup panggilan ketika negosiasi kembali buntu. Tanpa sadar mengikuti Nabas yang melangkah perlahan di depan sambil menunduk.
Mau ke mana? Aku enggak bisa ngebaca raut wajahnya jika memunggungi.
Dia berbelok ke ruang administrasi. Enggak ketutup, jadi kutunggu dia pada kursi panjang di depan sambil dengerin.
Percakapan panjang dengan berbagai alasan yang Nabas katakan di dalam buat sudut bibirku naik seketika. Anggap aja lah aku lagi dalam keadaan terdesak. Dia butuh uang, aku butuh orang.
"Lo beneran perlu uang, Bas?" Aku nawarin saat Nabas keluar tanpa perlu berpindah posisi. Duduk sambil bersandar pada dinding, menatap lapangan yang penuh dengan pelaksanaan ekstrakurikuler.
Bahkan Sara yang sok nge-dance sama komplotannya sempat ngedadah ke arahku. Genit. Padahal yang naksir dia banyak.
Aku kembali menoleh pada Nabas ketika dia memilih duduk di sampingku. Turut memperhatikan keramaian dengan malas.
"Hidup gini banget, ya?"
Aku tergelak mendapati Nabastala yang biasanya optimis ternyata bisa mengeluh.
"Elo masih punya keluarga, Bas. Punya adik. Punya Ibu. Bahkan enggak perlu susah payah cari uang."
"Emang lo kagak?"
"Gue kan udah cerita."
Nabas ternyata memperhatikan tatapanku yang berpindah ke langit-langit koridor. Aku baru sadar ketika menoleh, ternyata dia ikut ngelakuin hal yang sama.
"Nyari duit yang gampang gimana, ya? Gue liat lo hidup enak, Sa. Gimana caranya?"
"Gue punya lowongan, kali lo mau gabung." Aku kelepasan bicara. Terpikir ucapan Nyonya dan segera meralat, "Lebih baik jangan. Kalau lo milih masuk, enggak bakal ada jalan kembali."
"Menarik. Pekerjaan seperti apa?"
Ah, tikus sepertinya masuk perangkap.
***
"Siapa nama lo?"
"Kinar, Ka."
Cewek di depan semringah setelah berhasil buat aku berhenti melangkah di depan kelasnya dengan memberi kotak makan.
Bukannya nerima, kedua tanganku masuk dalam saku celana, menahan kepalan karena kesal.
"Penting, ya?"
"Terima aja napa, Ka?"
"Enak?"
Kuambil kotak makan yang diserahkan di depan para siswa begitu dia ngangguk. Wajahnya langsung merah.
Sadar diperhatikan sekeliling, aku malah risi. Kenapa juga harus di depan orang-orang? Dipikir bahan tontonan apa?
"Sara!" Teriakanku sukses buat si cewek rese keluar dari dalam kelas tempatku berhenti. Waktu senggang di antara pelajaran malah bikin mereka berisik.
Aku bukan enggak tau kalau si rese suka bawa-bawa namaku jadi gebetan dia. Cewek-cewek di kelas aja rajin nanyain kebenaran yang enggak hoaks.
"Aksaaaa!"
Kan? Baru dipanggil doang sudah mau nyosor. Syukur aku lagi waras buat enggak ngerjain balik.
Aku langsung nahan tangannya yang hampir mencapai, memutar hingga dia terkurung dalam rangkulan.
"Kinar, ya?" tanyaku sambil menatap cewek yang terlihat putus asa dadakan. "Kalau mau ngajak gue ngomong atau ngasih sesuatu, tanya Sara dulu. Bisa, enggak? Dia kalau ngambek suka rese."
Kuberikan kotak makan tadi pada Sara. Spontan si cewek rese ngebanting kotak makan yang Kinar berikan sebelumnya hingga isinya keluar.
Padahal lumayan. Roti bakar kayaknya.
Para siswi yang jadi penonton sontak histeris. Lucu. Dikira taman hiburan? Ini bukan pertunjukan lumba-lumba.
Topeng yang lumayan buat tameng. Enggak bakal ada yang mendekat untuk sementara waktu.
Sara sendiri kayaknya spontan membisu karena perlakuanku yang masih betah ngerangkul. Dia menunduk dan tersenyum karena rona wajah yang begitu kentara.
"Enggak usah ngarep! Gue cuma lagi males ngeladenin." Aku berbisik di sudut telinga Sara. Mungkin bakal dipikir ngegoda sama yang ngelihat karena bicara sambil tersenyum.
Langka. Mungkin terlalu mempesona kali. Padahal biasa aja.
Aku cuma berusaha nyelametin diri sendiri dari hal enggak penting. Enggak mau berurusan dengan banyak gangguan, termasuk si cewek rese yang ngotot minta perlindungan.
Sekolah itu buat nambah ilmu pengetahuan, belajar disiplin, bukan main pacar-pacaran.
Eh?
Teguran buatku juga, ya?
Pokoknya, itu lah. Minimalisir gangguan. Enggak mungkin pindah sekolah lagi, kan.
***
"Apa?"
"Bareng gue."
"Buat?"
"Biar mereka enggak gangguin elo."
"Gegara elo malahan gue kayak gini."
Aku memutar bola mata atas tawaran Sara di dekat parkiran sekolah. Sudah sepi kali. Siapa juga yang ngelihat?
Dia masih nunggu aku selesaikan isapan terakhir di area tepat belakang sekolah. Sekadar hilangin asam yang memenuhi rongga mulut.
"Ngapain elo terus bawa-bawa nama gue?"
Bukannya berhenti, aku malah membakar sebatang lagi seraya mempertanyakan. Anggaplah final kalau aku diam saja selama bersekolah di tempat yang sama.
"Itu ... di kelas, ada cowok yang enggak nyerah nembak gue sampai ngebuktiin kita beneran. Lah, gue enggak mau pake dipaksa kalau enggak dapet yang lebih dari dia."
"Siapa?"
"Gue rasa lo tau. Beberapa kali ngerjain elu, kan?"
"Siapa nanya?"
"Aksaaaa!"
"Lo juga maksa ke gue. Sebelas-dua belas, kan? Jadian aja."
Sara mengetuk ujung sepatunya ke sudut dinding. Kayaknya mikir alasan apalagi untuk ngebujuk.
"Yang mukulin elu juga ...."
"Oh, ya?"
Ah ... itu. Aku mengangguk. Kudekati Sara yang nunggu di ujung retakan dinding, pemisah bangunan lama yang menjadi tempat aku menyendiri setelah para siswa cabut.
"Tetep aja bakal ada yang ngeganggu gue kalau gitu. Lepas dari para cewek rese kayak elo, malah kena preman berseragam."
"Lo pikir gue mau?"
"As like your place. Lo pikir gue mau?"
"Kali bisa kerja sama."
"Enggak gratis."
"Lo paling apaan, sih? Cucian? Makanan?"
"Satu minggu. Paling enggak, kasih gue makan siang dalam seminggu. Gantiin yang sering lo buang di depan anak-anak. Mahalan dikit, lah."
Sara mendekat, kayaknya enggak peduli dengan asap yang memenuhi udara. Aku hampir tertawa memperhatikannya sesekali terpejam dan menepis. Bisa kulihat dia sempat ngambil sesuatu dari ransel kecilnya.
"Biar gue bersihin," ucapnya ketika ngeluarin selembar tisu dari tempat kecil lain.
Ujung jemarinya sudah bersiap ngehapus luka yang kembali menyeruak di wajahku karena ulah cowok-cowok suruhan yang sama ketika aku berada di depannya.
"Dia masih merhatiin," bisikku sambil mendekapnya setelah ngebuang sisa puntung. Sempat melirik sosok yang merhatiin dari lantai dua.
Tangan Sara reflek turun pada kedua sisi tubuh, ngejatuhin tisu yang sempat basah oleh darah.
"Jangan lupa bayarannya."
Sara mengangguk. Setuju dengan perjanjian. Lumayan.
"Mau yang ekstrim?"
Bola mata Sara langsung melebar ketika wajahnya kutangkup, ngasih sentuhan pada indra pengecapnya. Biarin cowok yang lihat dari pembatas pagar di lantai dua mengepalkan tangan.
Kugenggam kedua tangannya yang bergetar. Sempat bisikan tanya, "Pertama kali?" di sela jeda dan dia kembali mengangguk. Tanpa balasan.
"Itu cukup." Aku langsung ngelewatin dia begitu selesai. Cowok yang sebelumnya merhatiin sudah pergi dan aku enggak perlu susah payah berakting ketika ninggalin Sara yang berdiri kaku.
Kurasa, aku menikmati peran.
"Gue yatim. Ambu meninggal waktu gue mau lulus sekolah dasar. Gue tau kalau gue masih punya abah, tapi enggak ngerti nyarinya gimana." "Mereka bilang bakal bantu. Bantu gimana? Mereka cuma bikin gue jadi penghasil duit doang." Enggak ngerti kenapa aku bisa cerita. Enggak ngerti kenapa aku bisa bicarakan. Yang kuingat, kepalaku sangat sakit saat terbangun di kamar kos. Lenganku terasa berat. Enggak bisa diangkat. Enggak dimutilasi dadakan, kan? Kali aja enggak sadar bikin orang lain manfaatin. Terus organ dalem pada dijualin. Eh, tapi langit-langit di atas beneran kamar kosku. "Bener?" Aku memastikan sekeliling begitu mata udah bisa diajak melek. Lengan kiriku berat bukan karena dimutilasi, tapi si cewek kepo yang ternyata ikutan tidur. Eh, tunggu. Enggak dipersoka, kan?
"Lo ngapain, Bege!" Kutarik Nabas dari kerumunan. Jariku yang bebas seolah menghitung. Mungkin ini yang ke tujuh atau delapan kali ngebawa Nabas ikut denganku. Sepertinya mudah sekali untuknya naik sebagai Casanova dalam pekerjaan ini. Iri? Enggak. Aku malah kasihan kalau dia tenggelam. "Berapa kali sih lo nggak berakhir ngesek?" Aku mencercanya begitu keluar dari ruangan yang enggak lebih seperti pesta seks liar. Kaget juga karena ternyata Nyonya justru mengarahkan kami ke acara laknat. "Kenapa? Lo enggak bisa? Lo impoten? Atau lo homo?" Aku mengulum bibir, memainkan lidah dalam rongga, sekadar menahan ucapan selama Nabas menyelesaikan celaan sambil tertawa. Kepalan di sisi tubuh sudah mengeras sempurna, menunggu dilontarkan. "Selesai?" Nabas enggak ngejawab. Mata merahnya terlalu fokus untuk membenciku. Aku meregangkan kep
"Terima, kan?" Pertanyaan terakhir yang kudengar dari salah satu siswa menjadi pusat perhatian saat melintasi keramaian di pinggir lapangan ketika aku ingin ke toilet. Bisa kulihat cewek yang menjadi target memegang buket mawar besar. Dia menerima rangkaian bunga berikut beberapa kotak hadiah yang tidak bisa dipegang sendiri.Ngapain aku ikut nontonin mereka juga? Goblok banget, sih!"Aih, remaja sekarang. Apa enggak bisa cari tempat nembak yang lebih enak?" Aku menghela napas sambil memainkan lidah dalam rongga mulut. Asam. Melihat mereka di sana, terasa ada yang mengganjal, seolah menonjok di pangkal perut.Sialan! Ngapain juga kesel melihat acara sepasang manusia itu? Cewek itu sempat menoleh ke arahku. Tanpa peduli, kupercepat langkah yang sempat terhenti. Kedua tangan kumasukkan dalam saku untuk menghalau dingin yang mendadak datang merambati kulit. "Enggak penting banget!" gelengku sembari menuju toilet siswa.Begitu pintu toilet ditutup, aku duduk di kloset. Bukan buat buan
"Aksa, kan?" Kea langsung menyapa ketika duduk di sampingku. Pacarnya Nabas itu ikut menonton dan mengambil kacang dari toples yang kupegang. "Rajin mampir sekarang?" tanya Kea lagi sambil melepas ikatan rambutnya untuk dirapikan. Aku mengangguk, merebut remote dari atas meja lebih dulu sebelum Kea ngambil. "Jangan diganti." Enggak ada sofa di rumah Nabas. Cuma duduk lesehan sambil bersandar di dinding. Lantainya keramik, dingin. "Apaan? Sudah besar masih nonton film berantem," gerutu Kea. Dia mungkin bosan sampai memilih memainkan ponselnya sambil menunggu Nabas keluar. "Kamen rider. Yang ini punya Indo." Pacar Nabas menggumam, tidak tertarik. Kalau aku lama enggak nonton tayangan gini. Punya ponsel bisa aja streaming. Males doang ngehabisin kuota. "Nah, lo ngapain ke sini?" "Males di kos." "Lo ngekos?" Kea takjub mendengar jawabanku. Dia bilang, "Bapak enggak suka kalau gue enggak bisa diawasin." Tawa lolos dari mulutku, "Zaman gini? Lo pernah ngelanggar aturan kali sampa
"Kak Aksa enggak beneran sama Sara, kan?" Kedua tanganku terasa kebas, bersembunyi di belakang tubuh. Sengaja. Biar enggak gampang mukul. Cewek di depanku ini sepertinya belum menyerah. Enggak ngerti dari mana dia bisa tahu kalau aku lagi enggak berada di dalam area sekolah. Dia malah sengaja duduk di seberang meja. "Elo ngapain ngikutin gue?" Kinar namanya. Dia sempat kulihat akrab dengan Sara dulu. Terus, aku enggak tahu masalah mereka sampai enggak bertegur sapa seolah enggak kenal. "Kakak tuh jadi sosok idaman tau buat cewek-cewek di sekolah." "Oh, ya?" Aku menahan raut datar seraya menyedotvanilla milkshakedari atas meja tanpa mengangkat gelas. Lumayan. Enggak terlalu manis. Biasanya aku pesan kopi atau semacamnya. "Kakak tuh pakai apa aja selalu keren."
"Gue harus bilang berapa kali kalau gue enggak pacaran, Njing! Beraninya keroyokan." Sekali lagi tendangan mencapai perutku. Isinya terasa hampir keluar. Ketika tubuh terkulai, dua orang lagi kembali memegangiku untuk tetap berdiri. "Elo rangkul-rangkulan sama Sara di depan kelas sebelas? Bukan pacaran?" Aku menertawakan alibinya. "Gue enggak pernah bilang pacaran. Emang harus ngegebet dulu baru boleh megang? Siapa sih dia?" Si pemukul meludah. Hampir mengenaiku jika tidak berusaha menghindar. "Sara milik publik. Enggak boleh jadian sama siapa pun." Sumpah. Aku jadi tergelak, enggak peduli dengan nyeri yang mereka beri. "Temen lo yang pake nembak itu gimana kabarnya? Diterima? Milik publik apaan? Jangan-jangan lo ditolak juga." Kukira, naik kelas dua belas itu enggak bakal ada yang ngerundunglagi. Ternyata adik kelas zaman sekarang
Tanganku terdiam pada batas rok kelabu di paha mulusnya, mengetuk jari bergantian di sana. Wajahku mundur, menjaga jarak sambil memandangi raut Sara yang terpejam. Lucu juga. "Aksa?" Panggilan darinya kembali terdengar dalam nada manja tanpa membuka mata. Aku menggeleng, tepiskan tawa yang sempat terbit. "Gue masih di sini." "Ngapain?" Mata kelam Sara terbuka, kembali tunjukkan binarnya. "Liatin muka lo yang enggak sabaran," ucapku datar, embuskan napas di permukaan pipinya tanpa lekatan. "Apaan sih, Sa?" Suara Sara terdengar serak. Kelopak mata kelam itu berkedip lambat seiring desah yang tercipta karena belaian jemariku pada benda di balik rok kelabunya. "Kenapa?" "Lo beda kalau dari dekat gini." Lengan Sara yang menggantung di leherku mulai turun. Kulirik jari-jari lentik berhiaskan pewarna kuku itu bergerak di sepanjang garis kancing seragamku. "Biasa juga lo udah sering liat gue dari dekat." Getaran berbeda seolah menyengat permukaan kulit ketika sentuhannya membelai
"Itu bukan bayaran satu malam," ucapku sebelum meraih air mineral dari gelas beningnya. Aku masih belum bisa lunturkan senyum padanya setelah pengalaman hebat semalam. Rasanya seperti semua beban selama ini terangkat mudah dari ubun-ubun. Jauh lebih melegakan daripada harus main solo di kamar mandi. Sara tampaknya terkejut dengan penuturan yang kusampaikan di meja makan. Mikir aja, sih. Kalau prostitusi artis delapan puluh juta termasuk kelas menengah, apalah kalangan yang masih kelas bawah kayak aku tanpa pengalaman. Jauh lebih murah. Awalnya Sara terlihat kesal, tampak dari caranya menyuap nasi uduk buatan bibi yang ngantar makanan sebelum pagi. Sepertinya, keluarga ini memang jarang masak kalau ngelihat dapurnya yang mulus. "Gue minta segitu biar enggak ngelayanin yang lain. Bisa dibilang, cuma elo doang yang jadi pelanggan gue. Yah, selama bayarannya sesuai."