Share

Berkunjung ke Istana Jin

Setibanya di dalam istana, Erlangga dan Anggadita dijamu meriah dengan berbagai makanan dan minuman. Mereka berdua diperlakukan layaknya tamu kehormatan kerajaan tersebut. Tak hanya itu, Erlangga dan Anggadita diberikan penghormatan khusus dari kerajaan dan didaulat sebagai tamu agung.

"Pangeran jangan khawatir, buah-buahan dan makanan serta minuman yang aku hidangkan ini. Bukan makanan jin, melainkan makanan manusia khusus untuk Pangeran dan sahabat Pangeran!" tandas Prabu Wanakerta meyakinkan Erlangga yang tampak ragu menikmati hidangan yang sudah disuguhkan oleh para dayang istana kerajaan gaib itu.

"Baiklah, Prabu. Aku percaya," sahut Erlangga tersenyum lebar.

"Aku sudah tahu maksud dan niat Pangeran datang ke wilayah kerajaanku," ucap Wanakerta tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.

Erlangga menoleh ke arah Anggadita, mereka saling bertatapan. Sejatinya mereka merasa heran dengan pernyataan dari raja jin itu, yang sudah mengetahui maksud kedatangan mereka.

"Sepenuh hati kami akan membantu, untuk merebut kembali istana milik Pangeran!" tegas Wanakerta penuh dukungan.

Erlangga tampak semringah mendengar kalimat yang diucapkan oleh sang penguasa kerajaan gaib itu.

Kemudian Wanakerta bertanya kepada senopatinya, mengenai koalisi dari bangsa jin yang berpihak kepada kerajaan Kuta Tandingan yang saat itu dipimpin oleh Rawinta—seorang raja yang tidak disukai oleh rakyatnya.

Karena, Rawinta menduduki tahta kerajaan tersebut dengan cara paksa dengan melakukan sebuah kudeta atas pemerintahan sah kerajaan tersebut.

"Daulat, Gusti Prabu!" timpal Senapati Sulima. "Ada beberapa kerajaan jin yang masuk dalam koalisi kerajaan tersebut. Mereka semua ikut bergabung karena paksaan dan merasa takut dengan ancaman Prabu Rawinta yang mempunyai pangaweruh tinggi yang dapat menghancurkan kerajaan gaib tersebut, jika mereka tidak patuh dan taat kepada Raja Rawinta!" sambung Senapati Sulima.

"Baiklah, kita susun siasat terlebih dahulu, dan lakukan penyelidikan sesenyap mungkin. Agar dapat mengetahui gerak-gerik mereka!" titah Prabu Wanakerta kepada Senapati Sulima.

"Baik, Gusti Prabu," tandas Senapati Sulima penuh semangat, siap melaksanakan titah sang raja.

Setelah itu, Prabu Wanakerta langsung melakukan perbincangan tertutup dengan Erlangga di sebuah ruangan khusus di dalam istananya.

Sementara Anggadita saat itu diajak berkeliling istana oleh Senapati Sulima dan para punggawa lainnya, untuk sekadar menikmati pemandangan yang ada di sekeliling istana tersebut.

* * *

Di Padepokan Kumbang Hitam, suasananya tampak gaduh dengan kepergian Erlangga dan Anggadita yang secara mendadak, karena kepergian mereka tidak izin terlebih dahulu kepada Ki Bayu Seta selaku pimpinan tertinggi di padepokan itu.

"Kita harus mencari Pangeran Erlangga dan Anggadita ke mana lagi, Guru?" tanya Aryadana tampak kebingungan setelah hampir satu pekan mencari keberadaan dua orang tersebut tanpa menemukan hasil.

Ki Bayu Seta menghela napas dalam-dalam, raut wajahnya tampak dipenuhi beban dan kekhawatiran tinggi atas hilangnya Erlangga dan Anggadita.

"Untuk sementara hentikan dulu pencarian. Aku akan meminta bantuan kepada Babad untuk mencari tahu tentang keberadaan Pangeran Erlangga dan Anggadita!" jawab Ki Bayu Seta.

"Baiklah, Guru. Aku akan segera menghentikan pencarian ini," ucap Aryadana ajrih di hadapan sang guru.

Kecemasan dan kegundahan dengan menghilangnya Erlangga dirasakan pula oleh dua gadis kembar yang merupakan putri angkat Ki Bayu Seta. Mereka merasa cemas dan khawatir takut terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki menimpa Erlangga dan juga Anggadita.

"Tidak ada pangeran tampan, padepokan ini kembali sepi seperti dulu semasa pangeran belum datang ke sini," ujar Arimbi, dua bola matanya tampak berkaca-kaca. Sejatinya ia merasa bersedih dan sangat terpukul dengan hilangnya Erlangga.

"Itu tandanya Kakak sudah mulai ada rasa terhadap Pangeran Erlangga," sahut Arumbi.

"Ah, kamu. Aku itu cemas karena Pangeran Erlangga sudah aku anggap sebagai kakakku sendiri," kelit Arimbi enggan mengatakan hal yang sebenarnya.

Arumbi hanya tersenyum mendengar pernyataan dari sang kakak. "Nah, berarti aku punya kesempatan dong?" seloroh Arumbi.

Arimbi mengangkat alis tinggi dan mengerutkan kening, ia tidak paham dengan ucapan adiknya. "Maksudmu?" tanya Arimbi menatap wajah Arumbi.

"Aku punya kesempatan lebih besar lagi untuk menjadikan Pangeran Erlangga sebagai kekasihku," jawab Arumbi mencoba untuk menggoda sang kakak.

Arumbi paham dengan perasaan kakaknya yang saat itu sudah mulai jatuh hati kepada Erlangga. Arumbi berkata seperti itu karena hanya ingin menggoda Arimbi saja, dan ingin memancing kakaknya itu, agar berterus terang tentang perasaan yang sesungguhnya ia rasakan.

"Tidak boleh. Kita tidak boleh jatuh cinta kepada pangeran!" hardik Arimbi ketus.

"Kita?" Arumbi menatap tajam wajah Arimbi sembari tersenyum-senyum.

"Iya, Kita. Khususnya kamu!" tegas Arimbi bangkit dan berlalu dari hadapan Arumbi.

"Kakak itu munafik!" teriak Arumbi tertawa lepas mengarah kepada kakaknya yang saat itu sudah melangkah keluar dari kamarnya.

"Hati-hati kamu kalau bicara!" balas Arimbi tampak kesal mendengar ucapan adiknya.

Arumbi tertawa lepas bangkit dan mengejar kakaknya.

* * *

Hilangnya Erlangga dan Anggadita sudah hampir delapan hari, itu yang dirasakan oleh para penghuni Padepokan Kumbang Hitam.

Namun berbeda dengan apa yang dirasakan oleh Erlangga dan juga Anggadita, mereka merasa berada di alam gaib belum sampai satu hari dan masih melakukan perbincangan dengan sang penguasa kerajaan tersebut.

"Di alam nyata, saat ini sudah geger," ungkap Prabu Wanakerta menatap wajah Erlangga yang sangat ia hormati itu.

"Maksud, Prabu?" tanya Erlangga balas menatap wajah Prabu Wanakerta.

"Di sini, Pangeran baru beberapa jam saja. Sementara di alam nyata, Pangeran sudah hilang selama delapan hari," terang Prabu Wanakerta tersenyum menjawab pertanyaan dari Erlangga.

Erlangga tampak penasaran, kemudian bertanya mengenai perbedaan waktu antara alam manusia dengan alam jin kepada sang penguasa istana gaib itu.

Dengan senang hati, Prabu Wanakerta menjawab apa yang ditanyakan oleh Erlangga kepadanya.

"Ya, Dewata agung! Ternyata keberadaanku di sini membuat kegaduhan di padepokan," desis Erlangga. "Ya sudah kalau seperti itu, aku pamit sekarang. Aku khawatir guruku dan para murid padepokan mencemaskan aku dan Anggadita," sambung Erlangga pamit kepada sang penguasa kerajaan gaib tersebut.

"Baiklah, Pangeran. Prajuritku akan mengantar kalian ke gerbang kerajaan untuk segera kembali ke alam kalian," jawab Prabu Wanakerta.

Prabu Wanakerta langsung meminta para prajuritnya untuk mengantarkan Erlangga dan Anggadaita ke pintu gerbang kerajaan, dan mengembalikan mereka ke alam manusia.

Setelah itu, Erlangga dan Anggadita langsung melangkah pulang berlalu dari hadapan sang raja jin dengan diantar oleh para punggawa jin kerajaan tersebut.

Setibanya di depan pintu gerbang, para penjaga istana tersebut langsung membuka lebar pintu gerbang istana dan mempersilahkan Erlangga dan Anggadita untuk keluar, "Silahkan, Pangeran! Pejamkan mata kalian!" pinta Senapati Sulima.

"Baiklah," jawab Erlangga.

Keduanya langsung melangkah keluar dari istana megah itu, Erlangga dan Anggadita berdiri tegak dengan menutup mata. Beberapa saat kemudian, Erlangga dan Anggadita sudah kembali berada di alam manusia tepatnya di tempat kemarin mereka menghilang.

Terdengar suara kicau burung bersahutan dan desiran angin semilir terasa sejuk menyentuh kulit mereka.

"Buka matamu, Anggadita!" pinta Erlangga.

Anggadita menuruti perintah sahabatnya itu, membuka mata perlahan. Tampak hamparan hijau padang rumput membentang di hadapan tempat mereka berdiri.

"Apakah ini tempat kemarin kita masuk ke alam gaib?" tanya Anggadita mengerutkan kening menatap wajah sang pangeran.

"Iya, Anggadita. Dan ini masih pagi," jawab Erlangga tersenyum.

* * *

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status