Kemudian ia langsung mengajak Anggadita untuk segera melangkah ke padepokan dan mengabarkan kejadian yang mereka alami kepada Ki Bayu Seta yang saat itu sedang dirundung kecemasan dan kekhawatiran terhadap mereka berdua yang sudah delapan hari menghilang tanpa jejak.
Setibanya di gerbang padepokan, Erlangga dan Anggadita disambut riang gembira oleh para murid padepokan tersebut.
"Lihatlah! Pangeran sudah kembali!" teriak salah seorang murid padepokan berlari masuk ke dalam padepokan hendak memberitahukan sang guru tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita.
"Guru, Pangeran dan Anggadita sudah kembali," kata salah seorang murid memberitahukan Ki Bayu Seta tentang kedatangan Erlangga dan Anggadita.
Ki Bayu Seta tampak bahagia, kemudian bangkit dan langsung melangkah keluar menuju ke beranda padepokan.
Di halaman padepokan Erlangga dan Anggadita sedang dikerumuni oleh para murid padepokan. Mereka tampak riang gembira menyambut hangat kembalinya Erlangga dan juga Anggadita yang sudah banyak memberikan warna baru di padepokan tersebut.
Para murid dan pendekar muda yang ada di padepokan itu, sudah merasa nyaman berkawan dengan Erlangga yang selalu sikap baik dan bijaksana.
Setelah itu, Erlangga dan Anggadita langsung menghadap Ki Bayu Seta yang sudah duduk di beranda padepokan.
Erlangga dan Anggadita langsung menceritakan apa yang mereka alami beberapa hari terakhir tentang keberadaan mereka di alam gaib.
"Ternyata mereka siap untuk membantu kita dalam menghadapi para prajurit kerajaan Kuta Tandingan, Guru," kata Erlangga di sela perbincangan dengan sang guru. "Dan aku juga minta maaf, karena sudah membuat Guru dan semua yang ada di sini menjadi cemas," sambung Erlangga lirih duduk di hadapan Ki Bayu Seta.
Ki Bayu Seta tersenyum, kemudian berkata penuh kebijaksanaan, "Aku sudah memaafkan kalian, karena itu bukan kesalahan."
"Terima kasih, Guru," jawab Erlangga dan Anggadita secara bersamaan.
Selain itu, Erlangga pun menyampaikan pesan dari raja jin untuk gurunya. Ki Bayu Seta tampak semringah dan merasa senang dengan salam dari penguasa alam gaib itu.
"Ini merupakan titik awal perdamaian antara kaum manusia dengan bangsa jin yang berada di wilayah ini," desis Ki Bayu Seta.
* * *
Di istana kerajaan Kuta Tandingan, saat itu sedang gaduh dengan teror yang dilakukan oleh seorang pendekar bertopeng tengkorak. Secara diam-diam, setiap tengah malam tiba pendekar itu masuk ke dalam istana dan melakukan teror dengan membunuh banyak para prajurit penjaga istana.
Teror tersebut membuat Prabu Rawinta yang berkuasa saat itu, murka dan geram. Ia beranggapan bahwa pelaku teror itu merupakan seorang pemberontak dari perguruan silat yang ada di wilayah kerajaannya.
Kemudian, Prabu Rawinta mengutus para prajuritnya untuk menyisir semua perguruan silat yang ada di wilayah kerajaan Kuta Tandingan, dan juga memerintahkan kepada prajuritnya agar membunuh siapa saja yang mencoba menghalangi penyisiran tersebut tanpa terkecuali.
Kemudian, ia langsung mengumumkan sayembara kepada rakyat. Siapa saja yang berhasil membunuh atau menangkap pendekar tersebut, akan dihadiahi ratusan keping emas dan diberikan kedudukan tinggi di istana kerajaan.
Kabar tersebut menyeruak hingga terdengar ke pelosok-pelosok desa di wilayah kerajaan Kuta Tandingan.
"Aku jadi semakin takut dengan kondisi kerajaan kita saat ini," ujar Pandu salah satu murid di perguruan silat Elang Putih.
"Memangnya kenapa?" sahut salah seorang kawannya menatap wajah rekan seperguruannya itu.
"Kamu belum tahu kabar dari Gusti Prabu Rawinta?" Pandu meluruskan pandangannya ke wajah pemuda bertubuh gempal yang duduk bersebelahan dengannya.
"Maksudmu kabar sayembara itu?"
"Bukan itu gendut! Kalau itu aku tidak khawatir," hardik Pandu mendelik.
"Lantas apa yang kau khawatirkan?"
"Para prajurit kerajaan saat ini sedang menyisir paguron-paguron silat yang ada di wilayah kerajaan ini. Mungkin, ke depannya giliran padepokan kita yang akan didatangi oleh para prajurit itu." Pandu dengan tandas memberi tahu rekannya itu.
"Santai saja dan jangan panik! Toh, paguron Elang Putih ini tidak terlibat dalam masalah itu!"
"Iya, juga yah?!" timpal Pandu sedikit mengerti dengan apa yang diucapkan oleh kawannya.
Pandu pun mulai merasa lega dan tidak terlalu cemas. "Benar juga, yah? Mereka itu mencari pendekar misterius. Jadi bukan kita," sambung Pandu.
Di ujung desa di bawah kaki gunung Sanggabuana para prajurit wadiya balad kerajaan Kuta Tandingan tampak beringas menyiksa seorang petani yang sedang berkebun, alasan mereka mengeroyok petani tersebut karena merasa jengkel dengan sikapnya yang emosi ketika dimintai keterangan tentang keberadaan pendekar yang saat itu sedang dicari oleh para prajurit tersebut.
"Aku sudah tegaskan, kalau aku tidak tahu apa-apa mengenai pendekar yang kalian cari," bentak petani itu tampak berani dan tidak merasa gentar meskipun dahi dan pergelangan tangan kanannya sudah terluka oleh sabetan pedang dari salah seorang prajurit.
"Jangan bohong kau!" bentak prajurit yang bertubuh besar tinggi sambil meletakkan ujung pedang di leher petani tersebut.
"Aku tidak tahu, Prajurit," jawab petani itu berusaha mengatakan hal yang sebenarnya. Sejatinya, ia memang tidak mengetahui tentang kemunculan pendekar bertopeng itu.
Kemudian, prajurit tersebut menendang keras dagu pria setengah baya itu, dengan begitu beringasnya dan mehujaminya dengan rentetan pukulan keras mengenai perut dan wajah pria setengah baya itu.
Ketika prajurit lainnya hendak menebas leher petani tersebut. Tiba-tiba sebongkah batu berukuran besar melesat cepat dari arah tak terduga menghantam tubuh prajurit tersebut, sehingga membuatnya terpental dan sekarat seketika dengan bersimbah darah dari mulut dan hidungnya. Prajurit itu tampak seperti ayam baru disembelih, tubuhnya terlentang di hadapan rekan-rekannya.
Sontak membuat para prajurit lainnya bersiaga dan mulai memasang kuda-kuda untuk menghadapi malapetaka yang kemungkinan terjadi.
"Keluarlah kau! Jangan jadi pengecut!" teriak salah seorang prajurit itu dengan sikap penuh kewaspadaan.
"Hai, prajurit-prajurit bodoh! Aku di sini!" seru seorang pendekar bertopeng tengkorak berdiri di atas dahan di sebuah pohon besar yang ada di perkebunan tersebut.
"Turun kau! Hadapi kami!" teriak prajurit itu.
Petani yang baru saja mendapatkan perlakuan kejam dari para wadiya balad kerajaan, langsung bangkit dan berlindung di balik pohon besar, tempat berdirinya seorang pendekar bertopeng itu.
Pendekar bertopeng itu adalah Randu Aji yang sedang menjadi buruan para tentara kerajaan Kuta Tandingan karena teror yang ia lakukan terhadap para prajurit kerajaan tersebut.
Dengan cepat, Randu Aji meloncat dan menghantam dua prajurit dalam sekali serangan hingga menyebabkan dua prajurit tersebut jatuh dan tewas seketika.
Hal tersebut membuat prajurit yang lain mundur dan mereka tampak ketakutan melihat kesaktian dari pendekar bertopeng itu.
"Silahkan maju, jika kalian mau mati!" seru Randu Aji.
Tak satupun di antara para wadiya balad yang lengkap dengan tameng dan senjata itu, berani untuk maju melawan Randu Aji. Bahkan sebagian dari mereka sudah ada yang berlari menjauh dari tempat tersebut. Begitu juga dengan para prajurit lainnya mereka lari terbirit-birit meninggalkan Randu Aji dan seorang petani paruh baya itu.
"Kamu tidak apa-apa, Ki?" Randu Aji membantu pria setengah baya itu untuk bangkit.
"Terima kasih, Anak muda," ujar pria setengah baya itu tampak senang dan merasa kagum terhadap kesaktian yang dimiliki oleh Randu Aji yang sudah menyelamatkan nyawanya.
Tanpa berkata apa-apa lagi, Randu Aji langsung meloncat dengan cepat dan lenyap dari pandangan petani setengah baya itu.
"Sebenarnya, pendekar itu manusia atau jin, yah?" petani itu tampak bingung dan terheran-heran dengan pendekar muda bertopeng tengkorak. "Pendekar itu tiba-tiba muncul kemudian pergi tanpa meninggalkan pesan," sambung petani itu berbicara sendiri.
Setelah itu, ia langsung melangkah untuk segera pulang untuk mengobati luka yang dideritanya.
"Aku tidak peduli dia jin atau manusia yang penting dia sudah menjadi pahlawan untuk membasmi kekejaman para tentara kerajaan," gumam petani itu sembari terus melangkah menuju ke kediamanya.
* * *
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya