Home / Fantasi / Sang Pendekar / Bertemu Raja Jin

Share

Bertemu Raja Jin

last update Last Updated: 2021-04-20 16:00:26

Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya sudah tiba di saung padepokan, mereka membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka.

Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah. Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu.

"Anggadita!" panggil Erlangga.

"Iya, Pangeran," sahut Anggadita, ia langsung menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan tersebut. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!"

"Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan langsung meraih panah dari tangan Anggadita.

Setelah itu, Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan saung aula padepokan yang tidak jauh dari kamarnya.

"Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.

"Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlangga lirih.

"Maksud Pangeran ke tempat siluman itu?" tanya Anggadita mengangkat alis tinggi.

"Iya," jawab Erlangga tersenyum balas menatap wajah sahabatnya itu.

Anggadita tampak ragu dan seperti enggan untuk ikut dengan Erlangga. Erlangga faham akan kekhawatiran yang dirasakan oleh Anggadita.

"Kamu jangan khawatir, kita ke sana bukan untuk bertarung dengan siluman itu. Aku hanya ingin berdamai dengan mereka dan meminta bantuan kepada mereka untuk memata-matai paman senapati!" kata Erlangga seperti sudah mengetahui apa yang ada dalam pikirkan pria paruh baya itu.

"Kamu yakin, Pangeran? Mereka tidak akan mencelakai kita?" Anggadita masih tampak ragu.

"Ya, sudah ... kalau kamu tidak mau ikut. Aku berangkat sendiri saja!" Erlangga langsung melangkah berlalu dari hadapan Anggadita yang masih dalam keadaan ragu dan penuh kekhawatiran.

"Tunggu, Pangeran!" Anggadita berlari mengejar Erlangga.

Meskipun dalam dirinya diselimuti rasa takut, ia tetap memutuskan untuk ikut dengan Erlangga. Anggadita banyak berhutang budi kepada Erlangga. Sehingga ia tidak peduli dengan risiko yang akan terjadi menimpa dirinya setelah bertemu dengan para siluman ganas itu.

Erlangga terus melangkah dan pura-pura tidak mendengar teriakan dari sahabatnya.

"Pangeran!" teriak Anggadita berlari kencang mengejar Erlangga yang terus berjalan tidak mengindahkan teriaknya.

Erlangga sengaja berjalan dengan mengeluarkan ajian Langkah Tereh yang memiliki kecepatan tinggi. Setibanya di ujung perbukitan, Erlangga baru menghentikan langkahnya.

Sementara Anggadita jauh tertinggal dan masih terus berlari menuju ke arah Erlangga.

Setibanya di hadapan Erlangga, pendekar paruh baya itu tampak kelelahan dengan napas terengah-engah.

"Pangeran, kau membawa air minum tidak?" tanya Anggadita dengan napas tak beraturan, peluh di kening bercucuran membasahi wajahnya.

Erlangga hanya tersenyum, kemudian menyerahkan batang bambu yang berisi air minum kepada pria paruh baya itu.

Anggadita tampak kehausan hampir menghabiskan air dalam batang bambu yang dibuat khusus untuk tempat air minum.

"Istirahat dulu, Pangeran!" pinta Anggadita duduk di antara rerumputan hijau yang tumbuh subur di ujung perbukitan itu.

Erlangga hanya tersenyum dan duduk di sebelah kiri Anggadita. "Tadi katanya tidak mau ikut?" tanya Erlangga lirih.

"Aku ini adalah sahabatmu, tidak mungkin aku membiarkan kau berjalan sendirian," jawab Anggadita.

Beberapa saat kemudian, cuaca berubah seketika. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap dengan gumpalan awan hitam beriringan menutup sinar matahari, angin berhembus kencang membawa dedaunan kering dari pohon-pohon yang berdiri tegak di pinggiran bukit tersebut.

Anggadita dan Erlangga terperanjat, mereka merasa kaget dengan pemandangan seperti itu.

"Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita bangkit dan berusaha menguatkan posisi berdirinya dari hempasan angin yang tiba-tiba berhembus kencang.

"Kau tenang saja, jangan panik!" pinta Erlangga berdiri di hadapan Anggadita.

Tidak lama kemudian, keadaan berangsur membaik dan kembali seperti semula. Seketika angin pun berhenti  dan langit pun kembali cerah.

Tanpa disadari oleh kedua pendekar itu, ternyata mereka sudah berada di suatu tempat yang asing yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi sebelumnya.

"Ya, Dewata agung! Kita berada di mana ini, Pangeran?" tanya Anggadita mengerutkan kening.

Erlangga pun baru menyadari kalau dirinya saat itu, sudah berada di suatu tempat yang tidak ia kenali.

"Kamu jangan panik!" jawab Erlangga.

Tampak sebuah istana besar berdiri kokoh di antara padang rumput yang menghijau yang dikelilingi pohon-pohon besar, di sepanjang jalan yang mengarah ke istana tersebut di samping kiri dan kanan ditumbuhi tanaman bunga-bunga beraneka ragam warna yang mengeluarkan aroma wangi.

"Itu bangunan apa, Pangeran?" tanya Anggadita meluruskan dua bola matanya ke arah istana megah itu.

"Sepertinya itu istana gaib," terang Erlangga menjawab lirih pertanyaan dari sahabatnya itu. "Kita harus ke sana!" sambung Erlangga mengajak Anggadita untuk segera mendekati istana megah itu.

"Tapi, Pangeran—"

"Sudahlah, kau jangan khawatir!" potong Erlangga melangkahkan kedua kakinya untuk segera mendekati bangunan yang berdiri megah di sekitar padang rumput yang membentang luas itu.

Anggadita tidak banyak bicara lagi, ia pun segera melangkah mengikuti Erlangga. Meskipun dalam pikirannya diselimuti berbagai pertanyaan dan kecemasan.

Setibanya di depan pintu gerbang istana tersebut, Erlangga disambut dengan keagresifan para pengawal istana itu. Mereka serentak menyerang Erlangga dan Anggadita, pertarungan pun tak dapat terelakan. Dengan terpaksa Erlangga dan Anggadita melayani keagresifan dari para pengawal istana itu.

Mereka tampak berpenampilan mengerikan, wajahnya seperti hantu berambut gimbal dan bertaring serta mempunyai warna kulit merah kehitam-hitaman.

Anggadita sedikit kewalahan meladeni para prajurit jin itu, Anggadita terjatuh dan mengalami luka di pergelangan tangan karena tertusuk sebuah tombak dari para prajurit jin yang menyerangnya itu.

Erlangga langsung meloncat menghampiri Anggadita sembari terus melakukan pertarungan menangkis serangan para prajurit jin tersebut.

"Bangun, Anggadita!" teriak Erlangga.

Dengan cepat, Anggadita pun bangkit dan kembali melakukan perlawanan.

Dengan kemampuan ilmu bela diri yang dimilikinya, Erlangga berhasil mengalahkan para prajurit tersebut. Seketika para prajurit jin itu menghilang entah ke mana?

"Kamu tidak apa-apa, Anggadita?" tanya Erlangga menatap wajah kawannya.

"Tidak apa-apa, Pangeran. Hanya sedikit luka di pergelangan tanganku," jawab Anggadita melangkah mendekati Erlangga.

Tiba-tiba, pintu gerbang berderit kencang seiring dengan terbukanya pintu gerbang istana tersebut. Tampak beberapa prajurit sudah bersiap siaga dengan memegang berbagai persenjataan di tangan mereka.

Berdiri sesosok pria bertubuh besar dengan bermahkotakan emas dan mengenakan jubah kebesaran dari kerajaan tersebut. Dari penampilannya, sosok tersebut diduga kuat sebagai pimpinan para prajurit jin tersebut.

"Sampurasun!" ucap Erlangga bersikap ajrih di hadapan makhluk yang diduga kuat sebagai raja di istana gaib itu.

"Rampes," jawab makhluk yang mengenakan mahkota tersenyum lebar memandang wajah Erlangga.

"Mereka ini orang jahat, Baginda!" seru salah seorang punggawa istana. Ia melangkah mendekati sang raja. "Dia itu yang dulu menghajarku," sambungnya.

"Tunggu dulu! Jangan gegabah, dia menghajarmu mungkin karena tindakanmu yang ceroboh!" cegah sang raja tampak bijaksana.

"Daulat, Baginda," pria itu mundur beberapa langkah ke belakang.

"Silahkan masuk, Pangeran!" sambut raja itu tersenyum manis menatap wajah Erlangga.

Erlangga terkejut mendengar ucapan raja jin itu. Ia merasa heran kenapa raja jin itu mengetahui jati dirinya sebagai pangeran.

"Dia mengenali Pangeran," bisik Anggadita.

"Diam saja, kita ikuti ajakan mereka!" Erlangga balas berbisik kepada Anggadita.

"Terima kasih, Baginda," jawab Erlangga tersenyum ramah dan langsung melangkah masuk ke dalam halaman istana yang tampak megah dihiasi berbagai pernak-pernik yang terbuat dari emas.

Raja tersebut adalah Wanakerta, ia merupakan penguasa kerajaan gaib yang ada di sekitar perbukitan tersebut, dan punggawa yang tadi menuduh Erlangga dan Anggadita sebagai penjahat, itu adalah Sulima seorang senapati dari kerajaan gaib tersebut.

Erlangga dan Anggadita terus berjalan mengikuti langkah Wanakerta dan Sulima menuju ke dalam istana.

* * *

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Sang Pendekar   Maha Patih Akilang (Bab terakhir)

    Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa

  • Sang Pendekar   Serangan Mendadak Dari Pasukan Kerajaan Sirnabaya

    Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D

  • Sang Pendekar   Pergerakan Dari Pasukan Kuta Waluya

    Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda

  • Sang Pendekar   Kumba Sang Pendekar

    Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun

  • Sang Pendekar   Menjelang Perang Di Batas Kerajaan

    Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p

  • Sang Pendekar   Terbentuknya Kadipaten Conada

    Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status