Erlangga hanya tersenyum melihat kekhawatiran yang terpancar di wajah kedua gadis kembar itu. Arimbi kembali mengulangi peringatannya, "Sebaiknya Pangeran jangan ke sana, itu sangat berbahaya."
Erlangga mengangguk, menunjukkan bahwa ia telah mempertimbangkan peringatan Arimbi. "Baiklah, sekarang aku mau kembali ke kamar," kata Erlangga, sambil tersenyum. "Terima kasih kalian sudah menemaniku, sampai jumpa lagi nanti," pungkasnya, sebelum berlalu dari hadapan Arumbi dan Arimbi.
Kedua gadis itu hanya mengangguk sambil tersenyum penuh kebahagiaan. Mereka mengiringi langkah Erlangga dengan wajah semringah, merasa bahagia karena telah dapat menghabiskan waktu bersama pangeran tampan itu. Arimbi dan Arumbi berdiri di tempat, memandang Erlangga berjalan menjauh, sambil terus tersenyum dan melambaikan tangan sebagai tanda perpisahan.
Menjelang tengah hari, Aryadana dan Anggadita serta dua rekannya yang lain tiba di padepokan dengan membawa tiga ekor rusa hasil buruan mereka. Wajah Aryadana dan ketiga rekannya tampak semringah, dengan senyum lebar dan mata yang berbinar-binar.
Kedatangan mereka disambut hangat dengan penuh kegembiraan oleh para murid yang ada di padepokan itu. Mereka semua bertepuk tangan dan mengucapkan selamat atas keberhasilan Aryadana dan Anggadita dalam berburu.
"Anggadita!" panggil Erlangga, yang berdiri di dekat aula padepokan.
"Iya, Pangeran," jawab Anggadita, sambil menyerahkan busur panah kepada salah satu murid padepokan. "Tolong simpan ini, aku mau menghadap Pangeran Erlangga!"
"Baik, Ki," jawab seorang murid padepokan, sambil mengambil busur panah dari tangan Anggadita.
Meskipun baru bergabung di padepokan, Anggadita sangat dihormati oleh para murid padepokan tersebut. Pasalnya, usia Anggadita paling tua di antara murid-murid lainnya.
Anggadita bergegas melangkah menghampiri Erlangga yang berdiri di depan aula padepokan. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita, sambil meluruskan pandangannya ke wajah Erlangga.
"Temani aku, ke tempat yang kemarin aku ceritakan!" jawab Erlangga lirih, dengan suara yang penuh misteri.
"Maksudmu, ke tempat siluman itu?" tanya Anggadita, sambil mengangkat alis tinggi dan memandang Erlangga dengan rasa penasaran.
"Iya," jawab Erlangga, tersenyum menatap wajah sahabatnya itu.
Anggadita tampak ragu dan seperti enggan untuk ikut dengan Erlangga, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam.
Erlangga memahami kekhawatiran Anggadita dan berusaha meyakinkannya. "Kamu jangan khawatir, aku ke sana bukan untuk bertarung dengan siluman itu. Aku hanya ingin berdamai dengan mereka dan meminta bantuan kepada mereka untuk memata-matai orang-orang kerajaan," kata Erlangga, dengan suara yang tenang dan meyakinkan.
Anggadita masih tampak ragu, "Kau yakin, Pangeran? Mereka tidak akan mencelakai kita?" tanyanya dengan suara yang penuh kekhawatiran.
Erlangga tersenyum dan menjawab, "Ya, aku yakin. Aku telah memikirkan ini dengan matang. Kita tidak akan melakukan apa pun yang dapat memprovokasi mereka."
Namun, Anggadita masih ragu-ragu. Erlangga memutuskan untuk mengambil langkah yang lebih tegas. "Ya sudah, kalau kau tidak mau ikut. Aku berangkat sendiri!" kata Erlangga, sambil langsung melangkah berlalu dari hadapan Anggadita.
"Tunggu, Pangeran!" Anggadita berlari mengejar Erlangga, meskipun takut ia tetap memutuskan untuk ikut. Anggadita banyak berhutang budi terhadap Erlangga, dan ia tidak ingin meninggalkannya sendirian dalam situasi yang berbahaya ini.
Dengan langkah yang cepat, Anggadita mengejar Erlangga, hatinya dipenuhi dengan kekhawatiran dan rasa takut. Namun, ia tidak ingin meninggalkan Erlangga sendirian, karena ia tahu bahwa Erlangga membutuhkan bantuannya.
Erlangga terus melangkah dengan cepat, pura-pura tidak mendengar teriakan Anggadita yang mengejarnya.
"Pangeran!" teriak Anggadita, sambil terus berlari mengejar Erlangga yang telah mengeluarkan ajian langkah tereh, membuatnya semakin cepat dan jauh meninggalkan Anggadita.
Barulah ketika Erlangga mencapai ujung perbukitan, ia menghentikan langkahnya. Anggadita jauh tertinggal, masih terus berlari dengan napas terengah-engah, mengejar Erlangga.
Setibanya di hadapan Erlangga, Anggadita tampak kelelahan, wajahnya dipenuhi peluh dan napasnya terengah-engah. "Pangeran bawa air minum tidak?" tanya Anggadita, dengan suara yang parau karena kehausan.
Erlangga hanya tersenyum, lalu meraih wadah air yang tergantung di pinggangnya dan memberikannya kepada Anggadita. Anggadita dengan lahap mengambil wadah air itu dan langsung meminumnya dengan dahaga yang tidak terpuaskan.
Air dalam wadah yang terbuat dari batang bambu hampir habis diminum oleh Anggadita, ia tampak sangat kehausan. Melihat pemandangan seperti itu, Erlangga hanya tersenyum. Setelah Anggadita selesai minum, Erlangga mengambil wadah air itu kembali dan menyimpannya.
"Kau sudah siap melanjutkan perjalanan?" tanya Erlangga, sambil memandang Anggadita dengan serius.
"Istirahat dulu, Pangeran!" pinta Anggadita, sambil duduk di antara rerumputan hijau yang tumbuh subur di ujung perbukitan itu.
Erlangga hanya tersenyum dan ikut duduk di sebelah Anggadita, menikmati suasana yang tenang dan damai.
Namun, beberapa saat kemudian, cuaca berubah seketika. Langit yang tadinya cerah berubah menjadi gelap dengan gumpalan awan hitam yang mengancam, menutup sinar matahari di siang itu. Angin berhembus kencang, membawa dedaunan kering dari pohon-pohon yang berdiri tegak di pinggiran bukit tersebut, membuat suara gemerisik yang keras.
Anggadita dan Erlangga terperanjat, merasa kaget dengan pemandangan seperti itu. "Ada apa, Pangeran?" tanya Anggadita, sambil bangkit dan berusaha menguatkan posisi berdirinya dari hempasan angin yang tiba-tiba berhembus kencang.
"Kau tenang, jangan panik!" pinta Erlangga, sambil berdiri di hadapan Anggadita, melindungi sahabatnya itu dari angin yang kencang.
Tidak lama kemudian, keadaan berangsur membaik dan kembali seperti semula. Seketika angin pun berhenti dan langit pun kembali cerah, seperti tidak pernah terjadi apa-apa.
Namun, ketika Anggadita dan Erlangga melihat sekeliling, mereka menyadari bahwa mereka sudah berada di suatu tempat yang asing, yang sama sekali belum pernah mereka kunjungi. Pemandangan di sekitar mereka benar-benar berbeda, membuat mereka merasa penasaran dan sedikit khawatir.
"Di mana kita, Pangeran?" tanya Anggadita, sambil memandang sekeliling dengan rasa penasaran.
Erlangga hanya menggelengkan kepala, "Aku tidak tahu, tapi kita harus berhati-hati."
"Ya Dewata, ini tempat apa, Pangeran?" tanya Anggadita, sambil mengerutkan keningnya yang penuh dengan kekhawatiran. Erlangga pun baru menyadari bahwa dirinya dan Anggadita sudah berada di suatu tempat yang tidak ia kenali.
"Kau jangan panik!" jawab Erlangga, sambil memandang sekeliling dengan mata yang tajam.
Tiba-tiba, muncul sebuah istana besar berdiri kokoh di antara padang rumput yang menghijau dan dikelilingi pohon-pohon besar, menarik perhatian mereka.
"Itu tempat apa, Pangeran?" Anggadita terpesona melihat pemandangan indah di pelupuk matanya.
Jalan yang mengarah ke istana tersebut di samping kiri dan kanan ditumbuhi tanaman bunga-bunga beraneka ragam warna yang mengeluarkan aroma wangi yang menenangkan.
"Sepertinya ini istana gaib," kata Erlangga, menjawab lirih pertanyaan dari sahabatnya itu. "Kita harus ke sana!" sambungnya mengajak Anggadita untuk segera mendekati istana megah itu.
"Tapi, Pangeran ..." Anggadita ragu-ragu.
Tapi Erlangga memotongnya dengan tegas, "Sudah, kau jangan khawatir!"
Erlangga melangkahkan kedua kakinya untuk segera mendekati bangunan yang ia anggap sebagai istana gaib itu. Anggadita pun ikut melangkah, meskipun diliputi kekhawatiran yang tinggi.
Setibanya di depan pintu gerbang istana tersebut, Erlangga disambut dengan keagresifan para pengawal istana itu. Mereka langsung menyerang Erlangga dan Anggadita, pertarungan pun tak dapat terelakkan. Dengan terpaksa, Erlangga dan Anggadita melayani keagresifan dari para pengawal istana itu, senjata-senjata mereka berkilauan di bawah sinar matahari. Pertarungan sengit pun dimulai. Erlangga serta Anggadita harus menggunakan seluruh kemampuan mereka untuk bertahan.
Mereka tampak berpenampilan mengerikan, wajahnya seperti hantu berambut gimbal dan bertaring, serta mempunyai warna kulit merah kehitam-hitaman yang membuat identitas mereka terlihat sebagai makhluk dari alam lain. Anggadita sedikit kewalahan meladeni para prajurit itu. Dalam sekejap, ia terjatuh dan mengalami luka di pergelangan tangan karena tertusuk sebuah tombak dari para prajurit penjaga istana itu.
Erlangga langsung meloncat menghampiri Anggadita, sambil terus melakukan pertarungan menangkis serangan para prajurit-prajurit menyeramkan itu. "Bangun, Anggadita!" teriak Erlangga, sembari melindungi sahabatnya itu dari serangan yang datang bertubi-tubi.
Dengan cepat, Anggadita pun bangkit dan kembali melakukan perlawanan. Erlangga dengan kemampuan ilmu bela dirinya yang tinggi, berhasil mengalahkan para prajurit tersebut dengan gerakan yang cepat dan presisi. Seketika, para prajurit hantu itu menghilang entah ke mana, meninggalkan Erlangga dan Anggadita yang berdiri di tengah-tengah lapangan.
"Kamu tidak apa-apa, Anggadita?" tanya Erlangga, sambil memandang sahabatnya itu dengan penuh perhatian.
"Tidak apa-apa, Pangeran. Hanya sedikit luka di pergelangan tanganku," jawab Anggadita, sambil melangkah mendekati Erlangga.
Tiba-tiba, pintu gerbang berderit kencang seiring dengan terbukanya pintu gerbang istana tersebut. Tampak beberapa prajurit sudah bersiap siaga dengan memegang berbagai persenjataan di tangan mereka. Berdiri sesosok pria bertubuh besar dengan bermahkotakan emas dan mengenakan jubah kebesaran dari kerajaan tersebut. Dari penampilannya, sosok tersebut diduga kuat sebagai pimpinan para prajurit yang mirip hantu itu.
Pria bertubuh besar itu memandang Erlangga dan Anggadita dengan mata yang tajam, seolah-olah sedang mempertimbangkan sesuatu. Erlangga dan Anggadita pun berdiri tegak, siap menghadapi apa pun yang akan terjadi selanjutnya.
"Sampurasun!" ucap Erlangga, dengan sikap hormat di hadapan makhluk yang diduga kuat sebagai raja.
"Rampes," jawab makhluk yang mengenakan mahkota itu, tersenyum memandang tajam ke arah Erlangga dan Anggadita.
Mendadak, salah satu pria yang memegang sebilah pedang melangkah mendekati sang raja. "Mereka ini orang jahat, Baginda!" seru pria itu, dengan nada yang keras. "Dia itu yang dulu menghajarku," sambungnya, sambil menunjuk Erlangga dengan mata yang penuh dendam.
Namun, sang raja tidak langsung mempercayai tuduhan itu. "Tunggu dulu! Jangan gegabah, dia menghajarmu mungkin karena tindakanmu yang ceroboh!" cegah sang raja, dengan suara yang bijaksana dan penuh wibawa.
Pria itu, yang kemudian diketahui bernama Sulima, senapati dari kerajaan gaib tersebut, mundur beberapa langkah ke belakang. "Daulat, Baginda," katanya, sambil menundukkan kepala.
Sang raja, yang bernama Wanakerta, kemudian menoleh ke arah Erlangga. "Silakan masuk, Pangeran!" sambutnya, tersenyum manis menatap wajah Erlangga.
Erlangga terkejut dan mengerutkan kening, ia merasa heran kenapa raja jin itu tahu jati dirinya sebagai pangeran.
"Dia mengenali Pangeran," bisik Anggadita, sambil memandang Erlangga dengan mata yang penuh tanda tanya.
"Diam saja, kita ikuti mereka!" Erlangga balas berbisik kepada Anggadita, sambil tersenyum.
Kemudian kembali meluruskan pandangannya ke arah Prabu Wanakerta, "Terima kasih, Baginda," kata Erlangga tersenyum ramah dan langsung melangkah masuk ke dalam halaman istana yang tampak megah itu.
Wanakerta dan Sulima kemudian berjalan di depan Erlangga dan Anggadita, menuju ke dalam istana. Erlangga dan Anggadita mengikuti langkah mereka, sambil memandang sekeliling dengan penuh rasa ingin tahu.
Sore hari, setelah berangkatnya Senopati Yurawida ke istana kerajaan Sanggabuana. Maha Patih Akilang kembali melakukan perbincangan dengan para prajurit senior. Kebrutalan para prajurit kerajaan Sirnabaya masih menjadi topik penting dalam perbincangan tersebut."Hidupku tidak akan pernah merasa tenang sebelum bisa membalas kematian para prajurit kita dan aku berjanzi akan menghancurkan kerajaan Sirnabaya yang sudah bertindak sewenang-wenang terhadap kerajaan kita!" kata Maha Patih Akilang berbicara dengan para prajuritnya di pendapa istana kepatihan."Aku pikir ini semua hanya sebuah kesalahpahaman saja, Gusti Patih?" tanya seorang prajurit senior mengerutkan kening."Itu hanya alasan dari Jaka Sena. Sebenarnya ia sudah merancang sedemikian rupa," jawab Maha Patih Akilang di antara deru napas yang bergejolak penuh dengan amarah yang sudah membumbung tinggi di dalam jiwa dan pikirannya kala itu."Saat masih menjabat sebagai panglima pasukan sejagat raya pun, ia sudah berusaha menekan pa
Dengan demikian, Darunda dan Panglima Janeka terus berbincang sambil mengamati pergerakan pasukan musuh. Mereka duduk santai di sebuah bangku panjang yang ada di atas tembok raksasa yang menjulang tinggi—pagar pembatas dan benteng pertahanan wilayah kerajaan Sanggabuana."Prabu Wihesa adalah murid Ki Buyut Dalem, dia dibesarkan di wilayah kepatihan Waluya Jaya semasa masih menjadi sebuah kadipaten sebelum bergabung dengan kerajaan Sanggabuana," terang Panglima Janeka."Aku baru tahu, ternyata Wihesa merupakan seorang pendekar sakti yang memiliki ilmu kanuragan yang sangat mumpuni," ujar Darunda.Panglima Janeka menghela napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkan perlahan sambil tersenyum memandang cahaya obor yang tampak remang-remang di tengah hutan.Posisi Panglima Janeka dan Darunda kala itu berada di atas tembok raksasa, sehingga apa pun yang terjadi di dalam hutan akan terlihat, apalagi dengan kondisi hutan yang gundul seperti itu.Kala itu, hanya D
Di saung tersebut, sang raja langsung membicarakan sesuatu yang sangat penting kepada pendekar muda itu. Sejatinya, raja dan maha patih sangat tertarik kepada Kumba dan mereka berniat untuk merekrut pemuda itu untuk menjadi seorang prajurit kerajaan.Semua berdasarkan penilaian dari sang raja dan maha patih yang suka dengan kepiawaian pendekar tersebut dalam hal olah kanuragan."Seandainya kau mau dan siap. Aku akan menawarkan sesuatu buatmu," kata sang raja lirih, pandangannya lurus ke wajah Kumba.Kumba menghela napas sejenak. Ia berpikir, "Apakah aku layak menjadi prajurit di kerajaan? Sedangkan kemampuanku hanya terbatas?"Maha Patih Randu Aji mengerutkan kening dan mengamati Kumba yang hanya diam termangu. "Jawablah! Jika kau bersedia, kau akan mendapatkan kedudukan sebagai prajurit dan bisa mendapatkan pelatihan khusus dari para pelatih ilmu beladiri di Padepokan Kumbang Hitam!" timpal Maha Patih Randu Aji menatap tajam wajah Kumba–sang pendekar muda
Ketika fajar sudah menyingsing, para prajurit kerajaan Sanggabuana segera bergerak melewati perbatasan wilayah kerajaan Sanggabuana. Kemudian, ribuan pasukan tersebut memasuki hutan dengan maksud mengambil jalan pintas hendak menuju barak para prajurit kerajaan Sirnabaya—yang menjadi target utama serangan pagi itu.Beberapa meter hampir mendekati target, Senopati Yurawida segera menyeru kepada para prajuritnya untuk berhenti sejenak. Dengan demikian, pasukan yang berjalan di barisan terdepan pun segera menghentikan langkah mereka."Tugas utama kita adalah menghancurkan barak musuh dan mengusir mereka agar menjauh dari daerah ini!" kata Senopati Yurawida berkata kepada para panglimanya yang kala itu berada di barisan terdepan ribuan pasukan tersebut."Tapi ingat! Kalian harus berhati-hati, jangan sampai menimbulkan banyak korban dari prajurit kita!" pinta sang senopati menambahkan."Baik, Senopati. Kami akan melindungi pasukan di barisan depan dengan menggun
Namun, para prajurit tersebut berlari dengan begitu cepat. Sehingga para prajurit kerajaan Sanggabuana tidak dapat mengejar mereka.Entah ke mana larinya mereka? Langkah dan pergerakan mereka sudah tidak dapat dideteksi ketika masuk ke wilayah kerajaan Sirnabaya.Akan tetapi, para prajurit kerajaan Sanggabuana sudah dapat mengetahui, bahwa para penyusup itu merupakan kelompok prajurit kerajaan Sirnabaya yang sengaja masuk ke wilayah kedaulatan Kundar yang kini sudah masuk dalam wilayah kerajaan utama Sanggabuana.Hal tersebut menimbulkan banyak pertanyaan dalam benak Panglima Amerya yang kala itu dipercaya sebagai pimpinan keamanan di wilayah tersebut. "Apa maksud mereka, hingga berani menyusup ke wilayah kita?" tanya Panglima Amerya mengarah kepada seorang prajurit yang baru kembali setelah mengejar para penyusup itu.Prajurit itu mengerutkan keningnya, tampak tidak memahami apa yang dikehendaki dan direncanakan oleh para penyusup tersebut."Entahlah, aku p
Sebulan kemudian, Prabu Erlangga langsung memanggil Dewangga, Dasamuka, dan segenap tokoh masyarakat Conada. Prabu Erlangga hendak membicarakan kesepakatan bersama tentang pembentukan kadipaten Conada sesuai keinginan rakyat di daerah tersebut.Prabu Erlangga dan para tokoh utama Conada segera menggelar pembicaraan penting yang membahas pembentukan pejabat pemerintahan untuk memimpin kadipaten Conada, musyawarah tersebut dihadiri pula oleh para petinggi istana dan juga Adipati Sargeni serta Adipati Soarna sebagai perwakilan dari daerah yang dulunya merupakan bagian dari induk daerah Conada yang sebagian besar wilayah tersebut masuk di dalam wilayah pemerintahan dua kadipaten itu."Apakah kalian akan menyetujui dan menerima keputusanku, jika aku sendiri yang memilih siapa yang layak menjadi seorang pemimpin yang akan menjadi adipati di kadipaten Conada?" tanya sang raja di sela perbincangannya dengan para tokoh masyarakat Conada.Dasamuka dan tokoh masyarakat Conada ya