Dering ponsel berhenti digantikan dengan notifikasi pesan masuk.
Bunda:
[ Yoona siapa pria itu?! Jika dia alasanmu menolak Barack maka aku harap dia lebih tampan dan mapan darinya. Jika tidak. Besok akan aku nikahkan paksa Kau dengan Barack!! ]
Membaca itu Yoona langsung membuang ponselnya.
"Ohhh.. tidak. Aku terjebak antara jurang dan neraka," gumamnya menatap ponsel yang terjatuh dari tempat dia duduk. "Ini jelas bencana. Jika Bunda sudah berkata itu, maka keputusannya mutlak," gumamnya lagi.
Dante yang duduk tak jauh dari Yoona hanya bisa menautkan alis melihat perubahan dari marah menjadi seputih kapas setelah membaca pesan. Dante bahkan dapat mendengar jelas apa yang diucapkan oleh wanita yang kini hanya memandangi pensil yang terjatuh begitu saja.
"Sepertinya kabar yang Kamu terima lebih mengerikan dari apa yang dapat aku lihat!" sindir Dante tajam.
Mendengar apa yang diucapkan pria yang beberapa lalu menyentuh bibirnya yang sampai saat ini masih ia rasakan akibat janggut Dante yang lebat membuat Yoona menggeram penuh amarah.
"Yah, dan itu semua karena Kamu!!" tuduhnya
"Aku? Yang benar saja!" sangkalnya dengan bibir tersungging.
"Kamu harus mempertanggung jawabkannya!!" ucap Yoona asal karena mengingat kembali aksi mereka. Yoona sendiri tidak tahu dapat pikiran gila dari mana hingga berani berkata seperti itu.
"Baiklah, ayo kita turun. Aku akan menemui orang tuamu dan menikahimu malam ini juga!" ucap Dante penuh keyakinan.
'Sial, apa pria ini bisa mengetahui isi pikiranku? Bagaimana mungkin?! Ahh masa bodoh dia bisa atau tidak membaca pikiranku yang jelas aku harus menikah dengannya daripada dengan Mr Merchant.'
"Tidak. Aku ingin kamu menemui ibuku setelah kita menikah. Dan aku mau besok!" ucap Yoona tak kalah yakin.
Dante memandang wajah Yoona dengan intens berusaha mencari keraguan di sana, tapi sayangnya tidak, "Kita akan pergi ke catatan sipil besok."
'Eh... Serius! Kenapa dia gampang banget mau tanggung jawab seolah gue lagi hamil anak dia. Gue harus buat perjanjian sebelum pergi ke kantor catatan sipil,' ujarnya dalam hati.
Yoona dapat melihat Dante berjalan ke arah sopir dan berkata sesuatu dan tak lama mobil pun berhenti. Tanpa kata Dante turun dari mobil dengan cara meloncat, melihat itu Yoona segera mengambil ponselnya dan memasukkannya kedalam tas. Tanpa menunggu uluran tangan dari Dante Yoona pun turun dari mobil tanpa hambatan padahal dia masih memakai heels-nya.
Melihat itu Dante hanya berdecak kagum. Jarang yang bisa melakukan hal itu, terutama dengan hak tinggi seperti seperti yang dikenakan oleh Yoona.
Yoona mengamati sekitarnya, ia sama sekali tidak tahu mereka ada di mana. Seolah tahu apa yang di pikiran Yoona Dante menghampiri wanita itu. Dante berdiri tepat di belakang tubuh Yoona dengan sedikit memajukan wajah kearah ceruk leher Yoona.
"Kita akan makan malam dan setelah itu mencari penginapan," ucap Dante nyaris seperti bisikan.
Merasakan hembusan nafas yang yang hangat membuat tengkuk Yoona meremang. Yoona memutar tubuhnya menghadap ke arah Dante.
"Menginap di hotel?!" tanya Yoona tidak percaya dengan apa yang baru dia dengar, "Aku harus bekerja besok. Bisakah kita menikah di catatan sipil di Jakarta. Jam makan siang?" tanya Yoona seolah menantang pria di hadapannya ini. Lagi pula Yoona tidak bisa menginap di Bandung, ia harus pulang ke Jakarta malam ini juga, jika Yoona besok tidak masuk ke kantor yang ada dia dianggap menghindari Mr Merchant.
Yoona bisa merasakan hembusan nafas kasar dari pria dihadapannya ini, "Baiklah aku akan memesan taksi kalau begitu!" ujar Dante acuh.
Mereka melanjutkan perjalan setelah menikmati makan malam. Selama dalam perjalanan Dante dan Yoona seperti dua kubu yang berlawanan. Tidak ada pembahasan sama sekali selama perjalan yang memakan waktu kurang lebih dua jam.
Setibanya di Jakarta Dante menahan tangan Yoona yang hendak meninggalkannya begitu saja, "Kita masih ada urusan," ucapnya datar.
Yoona yang sudah merasa sangat lelah hanya bisa menghembuskan nafas pasrah, "Apah? Bukankah kita akan kecacatan sipil besok dan ini sudah malam. Aku sangat lelah...," ucap Yoona lirih.
"Aku butuh berkasmu. Dan yah... berikan ponselmu!" Dante menengadahkan tangan.
Tanpa kata lagi Yoona mengeluarkan ponsel dan KTP dari dalam dompetnya lalu menyerahkannya kepada Dante dengan kasar.
Dante menerima apapun yang diberikan oleh Wanita di hadapan yang terlihat sangat tidak bersahabat. Dante mengotak-atik ponsel di genggamannya dan tak lama dari itu ponselnya bergetar. Dengan kasar pula Dante menarik tangan Yoona dan meletakkan ponsel milik Yoona di telapak tangan wanita itu.
"Aku butuh akta kelahiranmu. Aku tunggu besok jam tujuh pagi!" ucap Dante tanpa melepaskan pandangannya dari wajah Yoona. Setelah mengatakan itu Dante langsung berlalu pergi ke rumahnya.
Melihat kepergian Dante yang begitu saja membuat Yoona memaku dirinya di tempat dengan bola mata yang selalu mengikuti pergerakan pria yang akan menikahinya esok hari.
"Gila, apa iya gua mau nikah sama dia. Apa kata dunia. Gak papa Yoona, lebih baik menyandang status janda daripada perawan tua," gumamnya.
Yoona berjalan dengan gontai menuju ke dalam rumahnya, tanpa mengganti pakaiannya Yoona menghempaskan tubuhnya di ranjang.
"Aku harus membuat perjanjian, jangan sampai orang komplek ini tahu, dan juga aku tidak mau satu atap dengan dia. Aku harus membicarakannya besok pagi sebelum berangkat ke kantor," ucap Yoona dengan memandangi langit kamarnya.
Yoona masih tidak menyangka akan menikah dengan Dante. Ia sendiri masih tidak tahu kegilaan dari mana yang didapatkan sehingga ia mau menikah dengan pria yang bahkan belum ia kenal luar dan dalam. Yoona hanya berpikir dengan menikahi pria itu dia akan terbebas dari tuntutan Ibunya.
Dante memang bukan kriteria yang ibunya inginkan, tapi karena itulah alasan Yoona mau menikah dengan Dante. Katakan ini adalah sebagai bentuk pemberontakan kecil dari Yoona yang selalu dipaksa oleh ibunya untuk menikah.
Menurut Yoona, Dante adalah pria urakan yang tanpa pekerjaan, bahkan lebih gilanya Yoona mengira Dante adalah seorang pemabuk dan penikmat barang haram. Yoona tahu hal itu akan membuat ibunya darah tinggi, tapi itu adalah tujuan Yoona agar Ia tidak lagi dikekang dan selalu dijodohkan bahkan dibanding-bandingkan dengan saudara kembarnya.
Yoona membuka matanya lebih pagi dari dering jam weker yang sudah dipasang. Tanpa bermalas-malasan Yoona langsung turun dari ranjang dan menuju bathroom.
Hari masih terlalu pagi menurut Yoona, karena jam masih menunjukan pukul 05:30. Bisanya Yoona bangun jam enam jika ia beruntung dapat mendengar jam wekernya berbunyi. Dengan penuh semangat Yoona berjalan keluar kamar hanya dengan menggunakan kimononya saja, bahkan rambutnya masih basah. Yoona mulai menyalakan mesin pembuat kopi dan mengeluarkan beberapa lembar roti yang dimasukan kedalam mesin pemanggang. Pagi itu Yoona menikmati sarapan paginya dengan ditemani kopi yang mengepul dan roti bakar yang hanya di olesi dengan butter. Setelah sarapannya habis Yoona mencuci semua peralatan yang kotor di atas bak cuci piring. Dari dalam jendela dapurnya Yoona dapat melihat dengan jelas rumah di seberang sana dengan lampu yang masih padam. Namun sesaat kemudian lampu itu menyala diikuti oleh sosok sang pemilik rumah. Yoona begitu terpanah menyaksikan pemandangan indah di pagi hari yang membuat jantungnya berdebar hebat dengan kaki yang mendadak lemas seolah tak bertul
Yoona melihat Dante dengan motor Taiger keluaran tahun 2000 yang masih sangat terawat walaupun sudah sedikit tua. Yoona menghampiri Dante dengan senyum mengembang, ia membayangkan kemarahan ibunya jika melihat ini. Calon suaminya begitu terlihat sederhana bahkan di bawah kata mapan dan standar yang ibunya miliki. Mungkin menurut Yoona Dante pria bule ter kere yang pernah ia temui. Tidak masalah, semakin miskin Dante, Yoona akan semakin senang. Dengan begitu ia akan semakin puas melihat kemarahan Bunda dan kembarannya. Yoona menerima helm dari tangan Dante dan langsung memakainya, setelah itu Yoona langsung duduk manis di belakang dengan tangan yang sudah melingkar manis di pinggang Dante. Yoona tanpa ragu menyandarkan kepalanya di bahu Dante tanpa rasa malu. Selama dalam perjalanan Yoona hanya berkata ketika hendak menunjukkan jalan dan dimana letak kantornya berada. Dante mengantarkan Yoona tepat di depan lobi, "Aku akan menjemputmu jam 12 tepat. Jan
"Apa ada yang kamu inginkan, Yoona. Sebagai maharmu yang lain?" tanya Dante ketika memperhatikan setiap pergerakan Yoona yang membolak-balikkan berkas yang harus ditandatangani. Dante tahu ini memang sudah sangat telat menanyakan hal ini. Tapi demi mempersingkat waktu hanya sebuah kalung dan sepasang cincin yang ia dapatkan pagi ini sebagai mahar. "Tidak, ini sudah sangat banyak. Malah, jika bisa aku ingin hanya uang 100 Rb sebagai maharku," ucap Yoona tanpa keraguan. Mendengar itu Dante begitu terhenyak, disaat banyak wanita yang meminta mahar semewah mungkin atau saham disalah satu perusahaan bonafit di negaranya, tapi wanita yang kini menjadi istrinya beberapa menit lalu malah terlihat kecewa dengan apa yang diberikan sebagai mahar yang bernilai ratusan juta. Sepasang cincin dan sebuah kalung perhiasan yang dibeli oleh Dante adalah berlian dengan karat 0,7 gram, itu adalah kadar yang lumayan bagus jika di investasikan. "Jadi bagaimana, apa kamu mau
Keesokan harinya Yoona bangun dengan hidung yang memerah, ia hanya dapat berendam air hangat sebentar saja akibat jam weker yang tidak bekerjasama dengan baik pagi ini. Sebenarnya bukan jam wekernya yang bermasalah, Yoona selalu sulit bangun di pagi hari sehingga ia mengabaikan jamnya yang berbunyi nyaring dengan membekapnya di bawah bantal. Setelah berpakaian rapi dan menyisir asal rambutnya Yoona meninggalkan rumah tanpa sarapan bahkan wajahnya sama sekali tidak ia beri Vitamin yang tidak pernah terlewatkan olehnya. Yoona menjalankan mobilnya dengan sangat kencang, Fortuner SUV yang baru dibelinya dua tahun lalu namun sering diabaikan begitu saja perawatannya dapat membuat Yoona tersenyum lebar karena fasilitas yang diberikan oleh mobil itu. Mobil itu adalah mobil kesayangannya yang nomor dua karena yang pertama adalah rumahnya. Kedua properti itu masih tahap cicilan, namun Yoona begitu bangga karena tanpa bantuan dari kedua orang tuanya Yoona bisa menggunakan peng
Rumah itu begitu memanjakan mata Yoona, terdapat meja bundar yang sangat besar di tengah-tengah ruangan dengan vas yang tak kalah besar. Banyak lukisan pemandangan yang tak lelah besar dengan meja panjang di bawahnya, lampu yang menyorot ke arah lukisan semakin memperindah tampilan dari hiasan dinding itu. Yoona benar-benar takjub melihat itu semua, belum lagi krystal yang tersusun rapi di dalam lemari besar yang berada di sudut ruangan. Para pelayan membukakan pintu ganda menuju ruang tamu bagi Dante dan Yoona. Di sana sudah ada sepasang suami istri yang terlihat begitu saling menyayangi walaupun terlihat jelas perbedaan budaya di antara mereka, Indonesia dan katakanlah warga negara asing. Yoona sendiri tidak tahu Dante ini keturunan mana, sepertinya Eropa atau Amerika. "Kau sudah sangat terlambat, Son!" ucap pria paruh baya dengan lesung pipinya. "Sorry, Dad. Wanita memang membutuhkan banyak waktu untuk dirinya, padahal tetap saja sama." ucap Dante
Mereka berteriak secara bersamaan, malah lebih gilanya lagi mereka berdua melompat-lompat seperti anak kecil yang baru mendapatkan hadiahnya. "Kangen...!" ucap Yoona menghambur ke dalam pelukan Dion. "Aku juga, Ona...! Aku tidak menyangka ternyata Kamu adalah Kakak iparku!" seru Dion tak kalah heboh dari Yoona. Sementara ketiga pasang mata hanya melongo melihat interaksi kedua manusia yang tampaknya sudah lama tidak saling bertemu. "Aku juga tidak menyangka ternyata Kamu adalah adik iparku!" "Aaaaaa....! Kita akan sering bertemu!" Pekik mereka bersamaan. Dante yang melihat itu merasa tidak senang apalagi melihat wajah Yoona yang berseri dan memperlihatkan keceriaan yang tidak pernah ia lihat. Selama tiga hari mereka bersama Dante memang hanya melihat kemarahan dan kemurkaan Yoona Malik Sidiki. "Kenapa kamu bisa menikah dengan manusia kutub itu, Yoona?" tanya Dion tidak percaya Yoona dapat memenangkan hati kakaknya. "Dia
Yoona yang sudah tidak tahan dengan rasa mual yang dialaminya, ia mengabaikan ucap Dante dengan tatapan yang seolah membakarnya. Yoona menutup pintu kamar mandi dan menguncinya. Tanpa menunggu lama ia langsung mengeluarkan apapun yang ada di perutnya. Dante yang mendengar dari luar merasa sedikit khawatir keadaan Yoona. Dante menggedur pintu sedikit kasar ketika ia sudah tidak mendengar suara apapun sedikit lama setelah bunyi suara kloset yang siram. "Yoona...! Apa kau baik-baik saja didalam?" tanya Dante di sela hantaman tangannya di daun pintu. "Yoona...! Katakan sesuatu!" Dante mulai merasa panik karena tidak juga mendapat jawaban dari dalam. Ainun dan yang lain mendengar teriakkan Dante meninggalkan meja makan dan menghampiri putranya yang sudah terlihat cemas. Melihat itu Ainun dan Dorian saling pandang beberapa saat sebelum bertanya kepada putranya. "Ada apa Dante? Kenapa Kamu berteriak seperti itu heh?" tanya Ainun yang sudah berdiri di belakang tubuh
Melihat wajah putranya yang sudah memasang perisai agar pikirannya tidak mudah terbaca, Ainun mengalihkan pandangannya ke arah Yoona yang terlihat sangat pucat dan ketakutan. "Apa yang kamu rasakan, Sayang? Apa pria menyebalkan itu begitu menguras emosi dan tenagamu sehingga kau melupakan asupan makanan?" tanya Ainun yang kini mulai menggenggam tangan menantunya. Yoona yang sama sekali tidak paham betul dengan perkataan Ainun, ia pun mengutarakan isi pikirannya, "Iya, Mom. Dia sangat mengerikan dan sangat buas. Bahkan Dia tidak membiarkan aku tidur tenang semenjak ia tinggal di samping rumahku," adu Yoona dengan dagu yang terkadang terangkat ke arah dimana Dante duduk. "Kamu benar-benar keterlaluan Dante! Bukan seperti itu cara mencintai wanita. Kasiankan memantu cantik Mommy ini!" Ainun mengambil teh dan memberikannya kepada Yoona. "Minumlah, Mommy sudah membuatkan bubur untuk Kamu dan dokter akan datang beberapa saat lagi." "Tapi Mom, aku hanya masu