Share

Kue gosong

Aku tertawa melihat isi rantang dari Galuh, ku pikir isinya bakalan sesuatu yang luar biasa. Ternyata cuma.... Hahaha.

Bibi melirik tajam ke arahku yang masih tertawa. "Ecy, gak boleh gitu. Kita maklumi sajalah, kan Pak Galuh itu duda baru yang pastinya belum terbiasa dengan kehidupan barunya."

"Makanya buat gini aja sampai gosong," ucap Usron yang ikut tertawa.

"Hussss! Yang penting niat baiknya yang tulus membalas pemberian kita." ujar bibi memarahi kami berdua. Aku dan Usron berhenti tertawa dan mengangguk patuh. 

Selesai sarapan, Usron dan paman langsung berpamitan pergi kerja. Aku pun lekas membersihkan meja dan mencuci piring kotor. 

Sambil mencuci piring aku teringat akan kue gosong buatan Galuh, dan hal itu sukses membuatku kembali tertawa.

Lagian ya, tuh orang isi rantangnya cuma satu padahal tadi malam bibi mengisi setiap rantang dengan makanan-makanan enak. 

Tidak setimpal! batinku yang selalu merasa sewot bila mengenai Galuh. 

Selesai mencuci piring aku langsung bergegas ke tugas yang lain. Yaitu menyapu rumah, mengepel sampai mencuci baju.

Walaupun bibi sering melarangku untuk tidak mencuci pakaiannya, paman dan Usron. Tapi tetap saja aku mencucinya, lagian apa salahnya juga sekalian mencuci pakaian mereka bertiga. 

Aku tinggal di rumah mereka juga tak masalah bagi mereka, masa aku merasa keberatan hanya karena mencuci pakaian kotor mereka. Tentu saja tidak. 

Selesai mencuci baju sekarang tinggal waktunya menjemur di halaman belakang rumah. Sampai aku siap menjemur pun bibi belum pulang juga dari pasar. 

Aku merasa bosan dan memilih untuk menonton televisi saja. Seperti biasa, film kartun yang masih menjadi favoritku. 

Bibi pulang setelah hampir dua puluh menit aku menonton televisi sambil rebahan di sofa panjang. 

"Kenapa Bibi lama sekali dari pasarnya?" tanyaku penasaran. Karena tak biasanya bibi begitu lama berbelanja di pasar.

Bibi tersenyum seraya berujar, "iya tadi habis ketemu teman lama."

"Teman lama?" ulangku. "Pria atau wanita, Bi?"

"Ya tentu saja wanita, kalau ketemu teman lama yang pria tentunya Bibi akan jaga jarak. Sekadar basa-basi saling menyapa aja, tujuannya untuk mengindari gosip yang tak enak."

"Gosip yang tak enak bagaimana, Bi?" tanyaku bingung. Bagaimana mungkin ketemu teman lama pria kita malah jadi gosip. 

"Takutnya kalau orang yang gak tahu sebenarnya, pasti menganggap Bibi ketemuan sama pria lain. Padahal, pria itu adalah teman lama kita. Nah, Bibi gak mau kalau sampai menimbulkan gosip tak sedap itu."

"Oalah, segitunya banget dah!" cibirku bergidik ngerih. 

"Tapi ya, mulut netizen sih memang pedas dan ngerih-ngerih." tukasku. 

"Kadang, orang terdekat kita saja mau menggosipkan kita ndok. Apalagi orang yang lain." aku mengangguk setuju.

"Terus gimana pertemuan dengan teman lama Bibi?" tanyaku antusias. 

"Ya, setelah puas belanja kami pergi ke suatu tempat untuk mengobrol."

"Dimana?" 

"Kepo!" bibi menyentil pelan hidung mancungku.

Aku cemberut dengan gaya bicara bibi yang mengikuti tren anak muda zaman sekarang. 

"Memang arti kepo apalah rupanya, Bi?" godaku.

"Rasa ingin tahu yang berlebihan tentang kepentingan atau urusan orang lain." 

Aku berdecak kesal. Ah, ternyata Bibi tahu."

Aku mematikan televisi dan lebih memilih mengikuti bibi yang berjalan menuju dapur. 

Ku lihat bibi memisahkan barang belanjaannya yang untuk di masak hari ini dan yang untuk ia simpan di lemari pendingin. 

"Kok kuenya gak dimakan, Cy?"

"Kue apaan, Bi?" 

"Kue yang dari Pak Galuh."

Aku bergidik ngerih mendengarnya. "Malas ah, gosong gitu juga kuenya. Paling rasanya pahit."

"Eh, siapa yang bilang pahit?"

"Ya udah pasti pahit kan Bi? Judulnya aja juga udah gosong, hitam. Pasti pahit."

"Meskipun warna gosong tapi kan gak berarti pahit, ndok."

Aku mendengus kesal mendengarnya, masih aja ya bibi tetap belain Galuh. Jelas-jelas tuh kue gosong, masa di bilang rasanya enak lah gak pahit sama sekali. 

Masa iya sih? Memang sih aku belum mencobanya. 

Lagian juga, ngapain sih Galuh pakai ngasih-ngasih kue gosong segala. Bikin malu aja. 

"Kamu udah coba?" aku menggeleng. 

"Coba dulu baru komen, benar pahit apa gak seperti kata kamu tadi." titah bibi. 

"Hmm, baiklah."

Aku pun mulai mencoba kue gosong buatan Galuh. Entah apa nama kuenya, karena warnanya gosong jadi aku kasih namanya kue gosong saja.

Ragu-ragu aku ingin memakan kue itu, namun pas gigitan pertama aku cukup terkejut. 

"Gimana?" tanya bibi yang ternyata memperhatikanku. 

"Uhm, gak begitu terasa pahitnya meskipun warnanya gosong." ucapku agak dibuat tercengang dengan kue ini.

Sebenarnya gimana sih cara Galuh mengolahnya, warnanya gosong tapi rasanya tidak begitu kerasa pahitnya.

Apa kuenya memang begini ya? seketika aku mendadak bloon karena kue ini.

Aku pun mengambil kue gosong itu lagi setelah yang pertama sudah habis. Ya, lumayan juga lah. Daripada dibuang kan mubazir jadinya.

"Tambah lagi Cy kuenya?" aku menggeleng. 

"Udah cukup, Bi." kataku setelah meneguk segelas air mineral. Lalu aku melihat bibi yang mulai tampak sibuk dengan bahan-bahan masakan. 

"Mau masak apa kita hari ini, Bi?" tanyaku. 

"Yang gampang dan praktis aja."

"Oke," aku mengangguk setuju dan mulai membantu bibi memasak. 

***

Saat malam tiba, bibi kembali menyuruhku untuk mengantarkan lagi rantang ke rumah Galuh. 

Huh, yang benar saja!

"Kenapa harus kasih lagi sih Bi? Ya udahlah dia gak usah terlalu di pikirkan. Teman bukan, saudara bukan, apalagi keluarga juga bukan." tolak ku malas sekali jika mengantarkan lagi rantang untuk pria angkuh itu.

"Tapi dia tetangga kita," sahut bi yang selalu bisa menang berdebat denganku. "Sebagai tetangga yang baik apa salah jika kita saling berbagi dengan para tetangga?" 

"Ck!" gumamku berdecak kesal. "Sebenarnya bukan itu maksud Ecy, Bi. Gini loh, Galuh itu apa gak punya keluarga? Sampai kita harus pusing banget mikirin dia ini-itu." 

"Lagian juga dia orang kaya kan? Sudah pasti punya banyak uang, jadi ya gampang banget lah buat dia mau makan apa aja. Bahkan ke restoran mahal sekalipun dia mampu," omelku panjang lebar. 

"Tapi Pak Galuh adalah tipe orang yang mandiri. Gak mau ngerepotin orang lain."

"Halaahh! Omong kosong banget gak mau ngerepotin orang lain." cibirku, "tapi seneng nyusahin dirinya sendiri. Sampai sok-sokan masak sendiri, bikin kue juga gosong bangganya minta ampun. Pakai pede lagi kasih buat orang lain."

"Pokoknya ya Bi, aku gak mau antar ini rantang ke rumah dia lagi. Dih, ogah banget!" ucapku yang langsung terdiam seketika begitu membalikkan badan melihat sosok Galuh yang berdiri disana. 

Duh, mampus! 

Dia dengar semua rentetan ucapanku gak ya? 

Tak hanya aku, tapi bibi juga sama terkejutnya. 

"P-pak Galuh, ada perlu apa ya kesini?" tanya bibi terbata seraya mendekat ke arah Galuh.

"Ada perlu sama Usron, apa dia ada di rumah Bu?" 

"Oh, ada kok, Usron lagi di kamarnya. Sebentar ya saya panggilkan," kata bibi yang segera berlalu meninggalkan aku yang mati kutu dengan Galuh berduaan. 

Tak berani menatap ke arahnya aku pun memilih menunduk, menatap ke arah lantai yang lebih menarik bagiku. 

Ku dengar Galuh berdeham sekali, aku pun mulai goyah dan mencoba untuk melirik ke arahnya. 

Tak diduga ternyata dia juga tengah menatap ke arahku. Tatapannya sangat sulit ku jabarkan. Hanya saja aku seperti merasakan perasaan marah, sedih, dan kecewa. 

Entahlah! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status