Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.
Huk!
Huk!Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika.
"Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.
Huk!
Huk!Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan.
"Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya.
"Giyem! Huk...huk..." teriak Devano memanggil Narsih. Dengan malas, Narsih menekan tombol pause pada setrikaannya, lalu berjalan masuk ke dalam ruang makan. Dua orang di sana masih saja terbatuk-batuk, bahkan wajah Jelita memerah karena mungkin tenggorokannya sangatlah gatal.
"Ada apa, Paduka?" tanya Narsih sambil membungkukkan tubuhnya. Jika Devano memanggilnya Giyem, maka panggilan Devano juga akan dia ganti.
"Ck, panggilan apa itu Paduka? Ngaco aja! Sana, buatkan kecap dan jeruk nipis untuk kami minum!" titah Devano pada Narsih.
"Kecap tidak ada Paduka, jeruk nipis sudah kisut di dalam kulkas. Paduka yang Mulia sudah satu bulan tidak belanja ke supermarket. Saya saja makan cuma pakai nasi dan telur," terang Narsih dengan mimik muka dibuat semelas mungkin. Maksud hati agar wanita yang kini tengah di rangkul pundaknya oleh Devano itu, ilfeel. Tetapi wanita itu malah kini berwajah sumringah.
"Ayo, kita belanja saja, Sayang," ucap Jelita mendayu-dayu.
"Tapi aku ada meeting jam sembilan, tidak bisa. Kamu saja yang belanja ya. Beli apa saja yang kamu inginkan," ujar Vano sambil mengeluarkan kartu sakti dari dalam dompetnya.
"Terimakasih, Sayang. Aku boleh beli tas juga ga? Ada keluaran baru dari produk ZARA," rengek Jelita pada Devano.
"Tentu boleh, Sayang. Kartu ini unlimited. Sekalian cari juga gaun untuk pernikahan kita ya," ujar Devano sambil melirik Narsih sekilas.
Pemandangan yang membuat Narsih miris. Sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah. Dia istri, minum saja masih dengan air mentah. Ini, wanita jadi-jadian malah disuruh belanja, membeli baju pernikahan pula. Narsih menggeram dalam hati. Ia lebih memilih kembali ke ruang belakang, sambil sesekali menghapus air matanya. Mulai saat ini, detik ini, ia tidak akan berharap apapun dari pernikahan gila ini. Anggap saja ia memang hanya sebagai pembantu di rumah keluarga Vano.
"Giyem, tolong pijatkan kaki saya! Kok pegal banget." Jelita memanggil Narsih agar mau memijatnya. Narsih menggigit gemas sempak Devano, sebelum akhirnya dia melemparkan kasar celana dalam itu ke atas meja setrika.
"Iya, Mbak. Sebentar," sahut Narsih, lalu berjalan ke arah ruang televisi. Sudah ada Jelita sang calon nyonya yang tengah berbaring di sofa sambil membaca majalah. Mata Narsih mencari di mana kiranya keberadaan Vano, namun tidak ia temukan sama sekali tanda kehidupan Vano di dalam rumah.
"Majikan kamu sudah berangkat. Ayo sini, tolong pijat kaki saya!" titah Jelita.
"Saya tenaganya kuat, Mbak. Nanti Mbak tidak kesakitan?"
"Mulai hari ini, belajar panggil saya Nyonya, ya. Karena mungkin dua pekan lagi, saya akan menjadi nyonya rumah ini," ujar Jelita penuh percaya diri. Narsih kembali merasakan perih di dalam hatiya, namun senyuman tetap ia berikan pada sang wanita yang terlalu percaya diri di depannya ini.
"Baik, Nya."
"Bagus."
"Muk," lanjut Narsih sangat pelan, hingga Jelita tidak menyadari ucapan Narsih. Nya-muk. Ha ha ha ...
"Saya ambil minyak kayu putih dulu di belakang ya, Nya-muk."
"Oke, silakan!" Narsih meninggalkan Jelita di ruang televisi. Kakinya melangkah lebar menuju dapur, lalu membuka kotak obat. Senyumnya terbit, tatkala melihat ada param kocok panas dan juga minyak kayu putih botol besar di dalam kotak obat. Dengan sejuta muslihat, isi botol tersebut ia tukar.
Dari kejauhan, senyum manis ia berikan pada Jelita yang kini juga ikut tersenyum padanya.
"Sini, Nya. Kakinya!" Narsih meluruskan kedua kaki Jelita. Lalu dengan perlahan menuangkan cukup banyak minyak param kocok yang bercampur aroma minyak kayu putih yang telah ia tukar.
Narsih mulai memijat kaki Jelita dengan tenaga penuh, hingga wanita itu meringis sakit.
"Au, pelan Giyem! Sakit," keluhnya.
"Ini urat kakinya ada yang bengkok, Nya. Sabar ya," ujar Narsih menenangkan.
"Kamu pakai minyak apa? Kok panas sih?"
"Ini, Nya. Ada di kotak obat belakang." Narsih menunjulkan botol minyak kayu putih yang berisi minyak param kocok.
"Aduh, panas nih. Aduh...udahan aja deh. Saya mau ke kamar mandi dulu, panas banget," ujar Jelita blingsatan mengibas kakinya dengan tangan.
Wanita itu bergegas naik ke lantai atas untuk mandi, sedangkan Narsih tertawa senang. Ia berjalan santai ke dapur untuk mencuci tangan di wastafel.
Merendam jemarinya dengan air sabun cuci piring yang diberi air hangat. Walaupun ini berlaku untuk tangan yang panas karena cabai, tetapi efektif juga untuk mengurangi rasa panas akibat minyak gosok.****
Sementara itu, Devano tengah berada di sebuah bengkel mobil. Di tengah jalan tadi, ban mobilnya pecah, sehingga ia terpaksa mendorong mobilnya ke bengkel terdekat yang dibantu oleh tiga orang. Untung saja, pagi ini ia menggunakan mobil sedan miliknya yang masih manual. Apa jadinya jika ia menggunakan mobil sport miliknya, dijamin tidak bisa bergerak, harus memanggil mobil derek.Ponselnya dari tadi berdering, sang papa yang memanggilnya di seberang sana. Sudah hampir pukul sembilan, ia belum juga sampai di kantor. Masih menunggu montir menyelesaikan pekerjaan pada ban mobilnya.
[Hallo, kamu di mana, Van? Sudah mau mulai ini.]
[Ban mobil Vano pecah, Pa. Tunggu ya, mungkin lima belas menit lagi selesai.][Ya sudah, papa tunggu.]Vano mematikan ponselnya, lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya.
"Sudah selesai, Pak. Semuanya enam puluh lima ribu," ucap sang montir.
"Oke." Vano meraba saku celana sebelah kanan, tempat ia biasa menaruh dompet. Berkali-kali meraba sakunya, tidak ia rasakan ada benda bernama dompet di sana. Wajahnya seketika panik, di mana dompetnya?
"Kenapa, Pak?" tanya montir.
"Tunggu ya, saya cek di mobil. Kenapa saya tidak bawa dompet ya," ujar Vano sambil berjalan cepat membuka pintu mobilnya. Matanya terus saja mencari di mana keberadaan dompetnya, tetapi tetap tidak ada.
"Bagaimana, Pak?" wajah montir yang kumal belepotan oli kini menatap horor wajah Devano.
"Mm...begini, Mas. Saya kelupaan membawa dompet. Bisa saya bayarnya nanti sepulang saya dari kantor?"
"Kalau tidak bisa bayar, silakan tinggalkan saja mobil di sini. Nanti, setelah punya uang silakan diambil. Bawa saja kuncinya," terang montir memberi solusi.
"Duh, saya buru-buru, Mas," timpal Vano lagi.
"Jam tangan bapak saja jadi jaminan," tunjuk montir pada jam tangan mahal yang melingkar di tangan Devano.
"Ya sudah, sore saya ambil, Mas." Devano membuka jam tangannya, lalu memberikan pada montir. Secepat kilat ia kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya ke kantor.
"Aduh, hari ini repot sekali!" gerutu Devano di dalam mobil.
Huk!
Huk!Ia kembali terbatuk-batuk di dalam mobil, tangannya meraba tempat air yang biasa ia selalu bawa. Sial! Dia lupa membawanya pagi ini.
Huk!
Huk!Devano terbatuk-batuk di dalam mobil, begitu juga Jelita di rumah. Bahkan lipstik yang ia pakai sampai mencoret pipi karena batuk yang sangat kencang. Dengan berlari, Jelita turun ke bawah. Bermaksud minum air hangat.
Narsih hanya melirik sekilas sambil menahan tawa. Masa ia kena iler doang, sama hawa selangkan gue langsung TBC, ha ha ha ha Narsih bersorak dalam hatinya.
"Giyem...huk...huk, air uhuk..panas mana uhuk...sa..huuk!"
"Sebentar saya masak dulu, Nya. Dispensernya rusak, jadi ga ada air panas," sahut Narsih sambil masuk ke dapur, memasak sedikit air untuk Jelita. Untuk menghilangkan rasa gatal ditenggorokannya, Jelita meminum air dingin yang ada di dalam lemari es. Bukannya hilang, tenggorokannya malah semakim gatal. Tanpa sepengetahuan Jelita, yang sibuk merejan karena batuk, Giyem, eh...Narsih kembali meludahi gelas air putih hangat untuk jelita. Kemudian dicampur dengan air dingin yang ada di dalam kulkas.
Jelita langsung menenggak air hangat yang diberikan Narsih. Tanpa memperhatikan ada buih di dalam sana. Dalam hati, Narsih berkata, "semoga kesialan lainnya segera menyusul."
****
Sore hari, sepulang dari kantor. Devano kembali menyambangi bengkel mobil tempat ia menjaminkan jam tangannya. Ia dipinjamkan uang satu juta oleh Pak Broto untuk menebus jam tangan miliknya.Terlibat sepi, tidak ada kustomer. Hanya ada satu orang montir berusia senja sedang menikmati sebatang rokok sambil bermain ponsel. Devano memarkirkan mobilnya tepat di depan bengkel. Lalu turun dengan sedikit tergesa. Karena ia harus segera menjemput Jelita di sebuah mall."Permisi,Pak. Saya mau bertemu dengan montir muda yang memiliki tahi lalat besar di hidung," ujar Devano pada pria baruh baya itu.
"Oh, si Maman baru aja pulang kampung, istrinya sakit."
"Oh gitu, tapi Mas Maman ada menitipkan jam tangan tidak, Pak?"
"Tidak ada."
****
Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu."Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat."Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kanto
Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan me
Tuk!Tuk!Tuk!"Vano...Giyem! Buka pintunya!" teriak Jelita dari luar kamar Devano. Jelita menunggu dengan gelisah, sambil menggigit kukunya dengan kasar, ia kembali mengetuk pintu kamar Devano.Bugh!Bugh!Kali ini ia menggunakan kepalan tangannya untuk menggedor pintu kamar Devano dengan keras."Non, sini!" Pak Samsul menarik Jelita menjauh dari depan kamar majikannya."Lepas! Ngapain sih, pegang-pegang?" Jelita menghempaskan tangan Pak Samsul yang memegang lengannya."Ck, jangan ganggu Tuan dan Nyonya Devano," bisik Pak Samsul dengan ekor mata melirik kamar Devano."Maksud kamu apa? Siapa yang nyonya di sini?""Itu Narsih, istri Tuan Devano.""Siapa Narsih?""Narsih itu yang Non panggil Giyem. Dia istri sah Tuan Devano baru seminggu nikah.""Lha, bukannya Devano duda?""Siapa bilang? Tuan Devano sudah menikah kembali sepekan yang lalu dengan Aminarsih.""Tahu gak, kenapa Tuan
Plaak!Plaak!"Berani sekali kamu mau kabur, hah!" teriak Devano di depan wajah Narsih. Dua tamparan dari sang suami membuat kedua sudut bibirnya mengeluarkan darah segar. Narsih tak gentar, walau darah semakin banyak menetes mengotori lantai. Narsih dengan berani menatap wajah lelaki yang masih berstatuskan suaminya. Mencari sorot rasa kasihan di sana, namun sayang, Narsih tidak menemukannya. Lelaki itu benar-benar membenci dan hanya memanfaatkannya saja.Pak Broto yang memergoki Narsih saat hendak kabur, hanya memperhatikan perlakuan anaknya dari balik kaca mata, tanpa komentar. Ia membiarkan Devano melakukan apapun pada wanita yang berstatus istri siri dari anaknya itu."Berani kamu tatap saya!" bentaknya lagi, bahkan tangannya kini mencengkeram dagu Narsih dengan kuat."Saya sudah bilang, kenapa tidak kamu bunuh saja saya?" tantang Narsih berbicara dengan mulut yang sangat sakit."Oke, kalau itu mau kamu. Saya akan bunuh kamu, tapi perlaha
Rumah besar yang terlihat kokoh itu, kini rata dengan tanah. Semua barang hangus terbakar, tidak ada yang dapat diselamatkan termasuk berkas-berkas penting, dua mobil mewah Devano, satu motor Harley miliknya, serta satu mobil sport milik Pak Broto, semua hangus terbakar dilalap si Jago Merah. Bahkan memerlukan enam mobil pemadam kebakaran untuk mematikan api tersebut. Tetapi anehnya, begitu api sangat besar melahap rumah Devano beserta isinnya, namun tidak mengenai bangunan tetangga kanan dan kirinya, bahkan asapnya saja tidak tercium para tetangga."Kapan kebakarannya? Kok kita tidak tahu," celetuk seorang ibu dari depan rumahnya."Iya, Nya. Padahal lima belas menit lalu, saya buang sampah di depan, Nya, tetapi tidak ada api," sahut pembantu si ibu sambil bergidik ngeri."Seram ya, Ma. Ayo kita masuk!" sela seorang lelaki muda pada ibunya."Dibakar jin kali," celetuk tetangga yang lainnya.Semua tetangga satu per satu meninggalkan Devano yan
Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.BughBugh"Tolong!" teriak Narsih."Tolong!" teriaknya lagi.Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s
"Cih, dasar belagu! Dasar kamunya aja yang ga bisa membuat senjataku naik," umpat Devano setelah wanita penghibur itu keluar dari kamar yang disewa Devano.Cepat lelaki itu mengambil ponselnya, lalu memencet nomor Mami yang biasa ia gunakan sebagai perantara untuk mendapatkan kepuasan ranjang.[Hallo, Mi. Kirim lo***e yang benar dong. Masa amatiran yang dikirim ke saya. Mami kan dah saya bagi panjer dua juta.][Lho, dia bintangnya di rumah Mami lho, masa gak bisa bikin kamu puas?][Iya, senjataku tidak mau bangun lagi][Ada yang sumpahin kali. Ha ha ha ha... bercanda Vano. Tunggu sebentar ya. Lima belas menit lagi Mami kirim yang paling bagus]Vano melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia memilih memejamkan mata sesaat, sebelum bertempur dengan wanita penghibur. Baru mulai terlelap, suara bel kamarnya berbunyi. Masih tanpa busana, Devano berjalan ke arah pintu, lalu membukanya lebar."Masuk!" titahnya pada wanita cantik nan seksi yan
"Tuan, apa tidak sebaiknya ada yang melihat keadaan Mbak Narsih di Puncak? Ini sudah tiga bulan dan kalau benar ia meninggal, biar dimakamkan. Jangan sampai orang lain yang tahu lebih dulu. Nanti Tuan terlibat masalah," ujar Pak Samsul memberi nasehat."Uuauuaauaaaa," ujar Pak Broto sambil mengangguk. Dari bahasa tubuhnya, ia pun menyetujui saran dari Samsul."Begitu ya, ya sudah. Pak Samsul sama Joko ke sana. Kalau dia masih hidup, langsung saja tinggalkan lagi. Tapi kalau sudah mati, bawa mayatnya, lalu kubur di perkuburan umum," putus Devano akhirnya, setelah menimbang perkataan Pak Samsul."Mmm...maaf, Tuan. Apa tidak sebaiknya Mbak Narsih dibebaskan saja atau mungkin bekerja di sini lagi?" Sedikit ragu, Pak Samsul kembali memberi masukan. Ucapan Pak Samsul barusan, membuat leher Devano menegang, lelaki itu terlihat tak suka dengan ucapan Pak Samsul."Jangan ikut campur urusan saya! Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu!" ujar Devano ketus dengan net