Narsih terbangun dari tidurnya, saat mendengar suara klakson mobil begitu nyaring. Sigap ia berdiri, untuk melihat siapa yang ada di luar sana. Jauh sekali, itu yang dilihat oleh Narsih saat ini. Sepertinya rumah tempat ia berada saat ini berada di atas gunung, sehingga pemandangan area sekitar terlihat berada di bawah.
Bugh
Bugh"Tolong!" teriak Narsih.
"Tolong!" teriaknya lagi.
Namun, bagaikan angin saja yang menangkap suaranya. Tidak ada siapa pun yang menyahut. Dari tempat Narsih berpijak saat ini, dapat dilihat dengan jelas, begitu banyak kendaraan yang berlalu-lalang. Walaupun tidak seramai ibu kota, tetapi tetap saja keadaan ramai. Mobil, motor, orang bersepeda, bahkan para pejalan kaki tampak jelas di mata Narsih. Sungguh di sayangkan, mereka sangat jauh dari jangkauan. Hanya dengan TOA masjid mungkin, baru akan terdengar.
Ya Allah, apa yang harus aku lakukan? Gumam Narsih kembali dengan air mata yang jatuh satu per s
"Cih, dasar belagu! Dasar kamunya aja yang ga bisa membuat senjataku naik," umpat Devano setelah wanita penghibur itu keluar dari kamar yang disewa Devano.Cepat lelaki itu mengambil ponselnya, lalu memencet nomor Mami yang biasa ia gunakan sebagai perantara untuk mendapatkan kepuasan ranjang.[Hallo, Mi. Kirim lo***e yang benar dong. Masa amatiran yang dikirim ke saya. Mami kan dah saya bagi panjer dua juta.][Lho, dia bintangnya di rumah Mami lho, masa gak bisa bikin kamu puas?][Iya, senjataku tidak mau bangun lagi][Ada yang sumpahin kali. Ha ha ha ha... bercanda Vano. Tunggu sebentar ya. Lima belas menit lagi Mami kirim yang paling bagus]Vano melemparkan ponselnya ke atas ranjang. Ia memilih memejamkan mata sesaat, sebelum bertempur dengan wanita penghibur. Baru mulai terlelap, suara bel kamarnya berbunyi. Masih tanpa busana, Devano berjalan ke arah pintu, lalu membukanya lebar."Masuk!" titahnya pada wanita cantik nan seksi yan
"Tuan, apa tidak sebaiknya ada yang melihat keadaan Mbak Narsih di Puncak? Ini sudah tiga bulan dan kalau benar ia meninggal, biar dimakamkan. Jangan sampai orang lain yang tahu lebih dulu. Nanti Tuan terlibat masalah," ujar Pak Samsul memberi nasehat."Uuauuaauaaaa," ujar Pak Broto sambil mengangguk. Dari bahasa tubuhnya, ia pun menyetujui saran dari Samsul."Begitu ya, ya sudah. Pak Samsul sama Joko ke sana. Kalau dia masih hidup, langsung saja tinggalkan lagi. Tapi kalau sudah mati, bawa mayatnya, lalu kubur di perkuburan umum," putus Devano akhirnya, setelah menimbang perkataan Pak Samsul."Mmm...maaf, Tuan. Apa tidak sebaiknya Mbak Narsih dibebaskan saja atau mungkin bekerja di sini lagi?" Sedikit ragu, Pak Samsul kembali memberi masukan. Ucapan Pak Samsul barusan, membuat leher Devano menegang, lelaki itu terlihat tak suka dengan ucapan Pak Samsul."Jangan ikut campur urusan saya! Kerjakan saja apa yang menjadi tugasmu!" ujar Devano ketus dengan net
"Pak Samsul, ayo antar saya ke Ki Emmoh!""Siapa itu, Tuan?""Gak perlu tahu kamu.""Oh, oke.""Sekarang, Tuan?""Minggu depan. Ya, sekarang!""Eh, iya. Saya panaskan dulu mobilnya." Pak Samsul bergegas ke garasi. Sedangkan Devano memilih memainkan ponselnya.Ayu[Aku kangen, Mas. Kapan kita bertemu? Sudah enam bulan lho.]Pucuk dicinta ulam pun tiba.Devano mengetik balasan pesan untuk Ayu. Wanita yang pernah menjadi pacar bahkan hampir saja ia nikahi[Malam ini bagaiamana sayang? Pakai lingerie seksi ya. Aku akan menghukum kamu karena sudah lama tak menampakkan diri][Ha ha ha ... Aku suka kamu yang kasar. Ah, aku kangen senjatamu sayang.]Devano menelan salivanya saat membaca balasan pesan dari Ayu yang terdengar begitu bernafsu. Lekas Devano berdiri, lalu melangkah ke kamarn
Devano menatap Ayu yang tengah meliuk-liuk di depannya. Wanita itu sedang menghibur Devano dengan tarian striptis yang pasti menggiurkan kaum lelaki. Dengan pose setengah jongkok, menungging, bahkan pose kayang pun bisa ia lakukan sambil menjulurkan lidahnya. Devano sampai berdecak kagum dengan kemampuan Ayu dalam menari."Bagaimana, Sayang? Apa sudah siap bertarung malam ini?" Ayu mengeluarkan satu tali tambang dari dalam tasnya, kemudian berjalan menggoda sambil mengigit temali tersebut menghampiri Devano yang tengah menganga kagum. Lelaki itu berkali-kali menelan salivanya, dilanjutkan dengan mengintip celana dalamnya masih masih kempis. Tidak ada pergerakan di sana."Masih bobok aja sih? Bangun yuk!" goda Ayu membuat Devano blingsatan. Sayang sekali, jurus apapun yang dikeluarkan oleh Ayu tak mampu membuat Devano bangkit. Sudah dua jam Ayu bekerja keras, namun tidak ada hasil, hingga wanita itu kelelahan."Kamu sakit? Kenapa dengannya?"
Devano kini sudah mendapat perawatan intensif setelah mengalami kecelakaan shubuh tadi. Untunglah Devano dan teman wanitanya dapat segera tertolong karena mulai banyaknya orang yang melewati tempat kejadian. Hanya saja, mobil Ayu rusak parah. Semua kaca mobil pecah, cap mobil dan juga bampernya peyot.Mobil itu rusak parah, karena terguling berkali-kali hingga menabrak trotoar dan juga tiang listrik, tepat saat adzan shubuh selesai berkumandang. Orang-orang berdatangan menyelamatkan penumpang mobil, lalu membawanya ke rumah sakit.Bau obat-obatan dan disinfektan menyeruak tajam ke dalam hidung, membuat Devano yang masih pingsan, terbangun. Kepala dan tubuhnya sakit semua, bahkan ia tidak merasai di mana tangan kanannya. Matanya menyipit mencari keberadaan seseorang yang mungkin ia kenal."Pak Samsul," panggil Devano saat merasakan yang aneh pada tubuhnya. Ia mengenali sosok lelaki dewasa yang kini tengah tertidur sambil menunduk di kursi
Lelaki yang bernama Joko sedang melamun di kursi taman halaman depan. Malam ini, ia disuruh membakar rumah yang katanya berhantu di Puncak-Bogor oleh bosnya, Devano. Tetapi hatinya ragu, apalagi ia tahu di dalam sana ada seorang wanita yang berstatus istri majikannya. Kenapa harus dibunuh? Kenapa tidak dilepaskan saja? Kalimat itu yang terus-menerus menari di kepalanya. Bagaimana nanti jika ia ketahuan dan polisi menangkapnya? Akan sangat kasihan istri dan anaknya di kampung."Kenapa melamun?" tegur Samsul."Tahu ga, Sul? Gue disuruh bakar villa malam ini.""Ya Allah, siapa yang suruh?""Itu, majikan galak!""Jangan, Jok. Ada Mbak Narsih di dalam sana. Kalau lu ketahuan dan ditangkap polisi bagaimana? Lagian itu villa angker tahu!""Itu dia, gue takut, Sul. Alesan apa ya? Biar gue ga disuruh.""Pura-pura sakit aja, Lu. Usus buntu kek, tyhpes kek. Biar ga disuruh bakar rumah itu. Dapat duit pula buat k
Siapkan tisu ya.****Perutnya semakin besar, untuk berjalan saja ia kepayahan. Bosan dan rasanya ingin berteriak dengan kencang karena ia begitu sesak. Ia ingin menghirup udara segar. Ingin mandi air hangat, tidur di ranjang yang nyaman walaupun tipis. Ia rindu memasak, terutama membuat peyek. Ah, betapa ia kini begitu menginkan peyek kacang dan juga peyek udang rebon."Sabar ya, Sayang. Mintalah pada Allah, agar kita segera bisa keluar dari sini," ujarnya pelan sambil mengusap perutnya yang semakin besar.Di luar hujan sangat deras, hawa dingin masuk melalui celah lubang dinding rumah yang rapuh. Untung saja, pakaian yang dibawakan oleh Pak Samsul berbahan kaus sedikit tebal. Sehingga tetap hangat ia pakai, walaupun dalam udara dingin seperti ini.Narsih memutuskan untuk berjalan pelan menuruni tangga. Setiap dua kali dalam sehari, ia selalu berteriak minta tolong di balik celah jendela yang sedikit mengan
Devano bermalam di sebuah rumah sakit. Tepatnya di kamar VVIP yang kenyamanannya mirip hotel. Untung saja jarinya tidak perlu ditusuk jarum infus, sehingga ia masih leluasa untuk bolak-balik di dalam ruangan itu. Apalagi ada banyak makanan yang telah dibelikan oleh Pak Samsul, sebelum sopirnya itu kembali ke rumahnya."Apa yang harus aku lakukan padamu cacing kremi?! Kau begitu membuatku kesal. Seluruh kesialan keluargaku itu karena kamu pelakunya. Wanita jin!" umpat Devano dengan menggeram. Bayangan wajah Narsih yang menangis tak membuatnya iba. Rintihan dan permohonan minta ampun dari Narsih yang selalu hadir dalam dirinya, tak juga membuatnya sadar. Di hatinya cuma ada satu kesalahannya, telah bersedia menikah dengan Narsih. Tidak ada yang lain."Aku benar-benar harus menghabisimu!" gumam Devano sambil menggeram kembali.****Sementara itu, di dalam rumah besar lagi menyeramkan. Narsih merasakan mulas di perutnya sedari malam. Ia tidak