Beranda / Thriller / Istri Tanpa Suami / 9. Jin Penungu Rumah

Share

9. Jin Penungu Rumah

last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-24 15:32:22

Narsih terbangun dari tidurnya, saat adzan shubuh berkumandang. Dengan malas ia menoleh pada lelaki yang menjadi suaminya kini, ada air liur yang menetes di sudut bibir lelaki itu karena tidur dengan mulut terbuka. Mati-matian Narsih menahan tawanya. Dasar aneh! Pikirnya. Dengan perlahan, Narsih masuk ke dalam kamar mandi untuk mencuci muka dan juga menyikat giginya dengan telunjuk. Karena sikat gigi pesanan Narsih tidak dibeli oleh Jelita. Setelahnya, ia kemudian berwudhu dan melaksanakan sholat shubuh seadanya karena tidak ada mukena di rumah keluarga Devano ini.

Devano masih terlelap, sambil sesekali tersenyum dalam tidurnya. Narsih yang memperhatikan tingkah suaminya, tentu saja tersenyum kecil. Mulut saja yang pedas, wajah polosnya seperti anak PAUD lagi mimpi dibelikan es krim, gumam Narsih sebelum ia akhirnya keluar kamar. Narsih melewati kamar wanita calon istri kedua suaminya. Masih sepi tiada suara apapun di sana.

Narsih melanjutkan aktifitasnya menyalakan mesin cuci, sambil memasak air untuk diisi ke dalam termos air panas. Ia menyalakan kompor yang masih kosong, merebus air di dalam panci, dengan maksud membuat mie goreng.

"Mau masak apa?" 

"Allahu Akbar!" pekik Narsih kaget saat Jelita dengan baju tidur seksi menghampirinya di dapur.

"Kaget saya. Mau masak mie goreng, Nya," jawab Narsih sambil mengiris bawang.

"Bikin yang banyak ya. Saya lapar, kemaren malam hanya makan peyek saja."

"Apalagi saya, Nya. Minum air putih doang, orang Peyeknya dihabiskan Nyonya sama Paduka," jawab Narsih.

Kening Jelita berkerut, saat memandang leher Narsih yang kemerahan di beberapa titik. Rambut basah Narsih yang digelung handuk, membuat warna kemerahan hampir coklat itu membuat pandangan Jelita terganggu.

Jelita yang memang sudah pakar dalam urusan ranjang, tentu saja tahu itu tanda apa.  Namun, ia tidak mau berburuk sangka. Tidak mungkin Devano pelakunya, karena saat ini Devano masih tertidur di kandang anjing.

"Leher kamu kenapa, Gi?" tanya Jelita penuh selidik.

"Eh, emang kenapa, Nya?" Narsih meraba lehernya. Tidak terasa apapun di sana, tidak gatal ataupun sakit. Memangnya kenapa dengan lehernya. Narsih tidak paham.

"Warna merah di leher kamu itu seperti bekas  dihisap," tunjuk Jelita.

Narsih tersadar, ia baru saja paham maksud pembicaraan Jelita. Tanda merah yang telah dibuat oleh Devano di sekujur tubuhnya.

"Siapa yang melakukannya?" desak Jelita sambil menatap sorot mata Narsih. 

"Nyonya belum tahu satu rahasia ya. Rumah ini ada jin penunggunya, tubuhnya tinggi besar. Rambutnya gondrong, ada tahi lalat di dekat ujung ketiaknya. Dia yang suka mendatangi saya malam hari," bisik Narsih dengam ekspresi meyakinkan.

"Hah? Serius?"

"Ck, benar Nya. Nyonya pernah ga saat tidur, tahu-tahu seperti ditindih tubuhnya oleh sesuatu yang besar, sampai bernafas saja tidak bisa?" 

"I-iya, pernah."

"Nah, itu dia Nya, kalau jin di rumah ini suka sama yang dekil kayak saya, ga bakalan nyentuh Nyonya yang mulus seperti ini. Jadi Nyonya tidak perlu takut," terang Narsih sambil tersenyum.

"Serem juga ya, duh...saya jadi takut mau mandi di atas. Temani yuk!" Jelita menarik lengan Narsih. 

"Saya mau masak sarapan, Nya," Narsih enggan, ia menahan tubuhnya.

"Narsiiiih...!" teriak Devano dari lantai atas, membuat Narsih dan Jelita menoleh.

"Siapa Narsih?" tanya Jelita pada Narsih.

"Kamu cari siapa, Sayang?! suara Jelita sedikit berteriak menjawab panggilan Vano. Lelaki itu menepuk jidatnya, ia lupa kalau Narsih ia ganti nama dengan Giyem.

"Narsih...guk..guk...!" Devano berakting memanggil anjing peliharannya.

"Oh, anj**ng. Namanya lucu juga ya. Nama pinggiran," gumam Jelita pada Narsih. 

Dengan wajah geram, Narsih kembali memasak. Tak dipedulikannya Jelita yang kini menghampiri Devano di atas sana. Tidak ada cinta, maka tidak ada cemburu. Jika bisa bercerai saat ini juga, tentu ia lebih memilih bercerai dari lelaki seperti Devano.

Narsih memasukkan empat bungkus mie instan ke dalam air yang sudah mendidih. Mengaduknya sebentar, lalu menuangkan bumbu ke dalam mangkuk besar.

Cup

Narsih berjengkit saat Devano tiba-tiba mencium pipinya, wanita itu menatap horor ke arah Devano. Lalu ia bergegas ke wastafel untuk mencuci pipinya yang baru saja dicium Devano. Tidak ada Jelita di sana, sehingga buaya darat ini bisa melakukan semauanya pada Narsih.

"Narsih itu nama saya ya, bukan nama an**ng!" ketus Narsih pada Devano.

"Ha ha ha ... bukannya kamu juga sama seperti itu, mau saja saya suruh ini-itu, tanpa pakaian pula," tawa Devano menggema. Lelaki itu merasa menang dengan Narsih. 

Sekuat tenaga Narsih menahan air mata atas hinaan Devano yang mengumpamakan dirinya dengan seekor binatang peliharaan. Ia tidak mau menoleh pada Devano, hatinya sakit, seluruh tulangnya seakan lepas dari persendian saat kalimat menyakitkan itu keluar dari mulut Devano.

"Kalau saya seperti anj*ng, kenapa masih anda pakai?"

"Bukankah itu tandanya anda lebih rendah dari pada binatang itu?"

Narsih mengusap air matanya kasar di depan Devano. Ingin sekali rasanya, pisau yang kini ia pegang, ia tusukkan saja ke perut lelaki yang berdiri terdiam di depannya ini.

"Kamu harus bersukur, walau jelek, kurus tinggal tulang, dan kumal, aku masih mau menidurimu," bisik Devano dengan suara meremehkan.

Narsih tidak menanggapi lagi ucapan Devano, hingga lelaki itu pergi dari hadapannya. Narsih melanjutkan memasak mie goreng, lalu ia menyajikannya di atas meja makan. Tak lupa seteko air teh manis untuk Devano dan Jelita. Jangan dikira ia lupa untuk memberikan ludahnya pada teko air teh. Bahkan ia meludahi sepuluh kali air teh tersebut. 

Narsih memilih sarapan di taman belakang. Mencoba menyuapkan sendok demi sendok mie goreng ke dalam mulutnya, namun sangat sulit untuk ia telan. Mie itu tertahan di dalam mulutnya, hingga pipinya menggembung. Air mata masih saja turun, tanpa bisa dibendung, bahkan air bening itu, kini membasahi piring yang masih ada terisi mie goreng.

Kelakar yang terdengar dari ruang makan, membuat hatinya panas. Ia benar-benar tidak dianggap , hanya sebagai peliharaan dan babu yang bisa dipakai oleh lelaki yang bernama Devano dalam status halal di mata agama.

"Mbak, kenapa?" tanya Pak Samsul yang baru saja masuk ke taman belakang.

"Eh, ga papa, Pak," jawab Narsih kikuk. Lalu dengan cepat menghapus air matanya.

"Pak Samsul sudah makan? Masih ada mie goreng di dalam, mau tidak?" tawar Narsih pada supir Devano.

"Sudah tadi di rumah, kalau ada teh manis, saya mau itu saja," sahut Pak Samsul.

"Baik, Pak. Tunggu sebentar!" Narsih meletakkan piringnya di meja, lalu bergegas masuk ke dapur untuk membuatkan teh untuk Pak Samsul.

Tak butuh waktu lama, Narsih sudah kembali ke taman belakang dengan satu cangkir teh manis hangat. Lalu memberikannya pada Pak Samsul. Pemandangan yang sedari tadi diperhatikan oleh Devano dan ia tidak suka, saat Narsih terlihat tersenyum pada supirnya.

"Giyeeem!" Jelita menoleh.

"Ada apa, Sayang?" 

"Ah, tidak. Aku lupa memberitahu Giyem, kalau kamar mandi di kamarku harus segera disikat," kilah Devano.

"Ya, Paduka. Ada apa?" dengan tergopoh Narsih menghampiri Devano.

"Ikut saya ke atas! Lihat kamar mandi saya belum kamu sikat!" belum sempat Narsih menjawab, Devano sudah menarik dengan kasar tangan Narsih hingga sampai di kamarnya di lantai dua.

Bugh!

Narsih dihempaskan ke lantai oleh Devano.

"Apa lagi kali ini salah saya?" tanya Narsih lirih dengan menahan nyeri di lututnya.

"Aku tidak suka peliharaanku, berbicara manis pada lelaki lain," ujar Devano sambil mencubit dagu Narsih.

"Cih...cemburu?" tantang Narsih dengan berani menatap wajah Devano.

"Mimpi!" Narsih kembali terjerembab di lantai, saat Devano mendorong keningnya dengan cukup kuat.

"Aku bersumpah tidak akan pernah memaafkan semua perbuatan biadabmu," janji Narsih pada dirinya, saat kini kedua tangannya diikat di kepala ranjang Devano.

Lelaki itu menggagahinya Narsih kasar dengan kedua tangan terikat. Berkali-kali Devano menghentak Narsih, membuat Narsih hampir saja hilang kesadaran.

"Tolong, bunuh saja aku!" lirih Narsih sesaat sebelum ia pingsan.

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Casmuroh Casmuroh
Pertama dibikin ketawa selanjutnua dibuat sedih. DEVANU cemburu sama Pak Samsul
goodnovel comment avatar
Upen Supenti
ga ngerti dengan kepribadian devano
goodnovel comment avatar
Arif Rahman Yasin
Narsih nasibnya kok.........
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Istri Tanpa Suami   142. KEJUTAN (ENDING)

    Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se

  • Istri Tanpa Suami   141. Hari Pernikahan

    Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya

  • Istri Tanpa Suami   140. Lamaran

    Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s

  • Istri Tanpa Suami   139. Say Yes!

    Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem

  • Istri Tanpa Suami   138. Bertemu

    Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.

  • Istri Tanpa Suami   137. Serunya Masa SMA

    Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho

  • Istri Tanpa Suami   136. Hari Pertama SMA

    Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan

  • Istri Tanpa Suami   135. Pejuang LDR

    "Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya."Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah me

  • Istri Tanpa Suami   134. Rindu

    Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah."Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status