Share

8. Devano yang Menyebalkan

Memang dasar wanita, tubuh masih terasa panas, serta terus saja terbatuk-batuk, tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk berbelanja di mall. Apalagi sudah memegang kartu sakti unlimited, maka ia akan berbelanja sepuasnya dan penyakitpun hilang.

Sambil mendorong troli belanja yang sudah penuh barang belanjaan, sesekali juga ia mengecek ponselnya, belum ada kabar dari Devano, padahal lelaki itu berjanji menjemputnya. Tidak mungkin ia membawa berkantong-kantong belanjaan barang dapur sambil membeli baju dan sepatu.

"Ck,mana sih?" matanya terus saja mencari keberadaan Devano yang tidak kunjung terlihat.

"Dasar Giyem aneh! Masa calon majikan disuruh beli udang, ikan, telur, gula, beras, dan masih banyak lagi. Hadeeeh," gerutu Jelita sambil menggelengkan kepala.

Jelita memutuskan untuk masuk ke antrean kasir yang sudah kosong, dengan mahir sang kasir menghitung satu per satu barang belanjaan Jelita, lalu dimasukkan ke dalam goodie bag besar sebanyak tiga kantong.

"Semuanya dua juta dua ratus, Bu."

"Saya belum menikah, Mbak. Panggil saja, Mbak atau Teteh," protes Jelita tidak suka dengan panggilan yang diucapkan sang kasir.

"Maaf, Mbak." Petugas kasir tersenyum kaku, melirik dandanan Jelita yang lebih mirip tante girang dari pada ibu rumah tangga.

"Sebentar," ucapnya seraya meraba tasnya, mencari kartu sakti pemberian Devano. Hingga satu per satu isi tas kremesnya ia keluarkan, tetap ia tidak menemukan di mana kartu sakti Devano berada. Seketika kakinya lemas, detak jantungnya mengalun sangat cepat.

"Mbak, maaf. Yang lain sudah mengantre," tegur sang kasir pada Jelita, benar saja, Jelita menoleh ke samping, sudah ada lima orang yang mengantre di belakanganya dengan wajah tak sabar.

"Aduh, Mbak. Maaf, kartu belanja saya ketinggalan. Saya bayar cash aja ya," ujar Jelita sambil merogoh isi dompetnya, hanya ada enam lembar uang merah di sana. 

"Saya yang ini dan ini, tidak jadi Mbak, sama ini juga, dan ini, ini, ini, ini, dan ini." Jelita menggeser lebih dari dua puluh barang, meminta kasir untuk meng-cancel barang belanjaan yang yang sudah ia pinggirkan. Jangan ditanya malunya seperti apa, seandainya ia bisa menghilang saat ini, maka ia akan menghilang dengan segera. Sepatu dan tas mahal yang ia kenakan saat ini, ternyata tidak berharga bila isi dompetnya tipis. 

"Dandanan sih ngartis, isi dompet karyawan pabrik," bisik seorang wanita pada temannya, mereka berdiri tepat di belakang Jelita.

"Kalau gue sih, mending mati aja dari pada malu depan orang banyak," timpal teman wanitanya.

Jelita menutup telinga rapat-rapat, mengambil satu kantong belanjaan yang sudah ia minimalis. Hanya kecap, aneka mie instan, gula, teh, kopi, telur, daging, detergen dan juga sampo, serta sekantong buah apel dengan berat tiga kilo untuk dirinya.

Tanpa menoleh lagi, Jelita mendorong troli menuju pintu keluar. Rasa malu, telah membuat tubuhnya gerah tak menentu. Ditambah lagi Devano belum juga datang dan  perutnya sudah lapar.

"Jelita!" suara Vano sedikit berteriak.

"Maaf, lama ya," ujar Vano dengan wajah memelas.

"Udah selesai belanjanya? Kok cuma sedikit?"

"Kartu kamu entah ada di mana, padahal tadi sudah aku masukkan tas."

"Aduh, kok bisa? Kamu tidak hati-hati sih. Duh, gimana ini?" Vano meremas rambutnya kasar. 

"Maaf ya sayang," rengeknya manja sambil menggosok perutnya.

"Aku lapar, mau makan," rengek Jelita lagi.

"Makan di rumah saja ya. Itu ada belanjaan," tunjuk Devano pada kantong biru yang masih berada di dalan troli.

"Ini bayar pakai uang aku satu juta lho, Van. Nanti diganti ya?"

"Iya, nanti aku ganti. Mahal juga ya, belanja satu kantong doang satu juta," komentar Devano yang kini sudah mendorong troli ke area parkir mobil.

"Ck, ada-ada saja. Jangan sampai itu kartu kredit ditemukan orang lain. Bisa habis gue!" gumam Devano kesal.

****

Selesai menyapu rumah besar Devano, Narsih melanjutkan kegiatannya dengan mengepel lantai. Pekerjaan yang benar-benar menguras tenaga, hingga baju yang dipakai Narsih basah oleh keringat. Puas melihat hasil pekerjaannya, Narsih memilih membuat teh manis dan duduk santai di depan televisi. 

Tangannya terulur mengusap kulit sofa mahal yang sangat halus dan lembut. Tangan Narsih tanpa sengaja meraba sesuatu seperti kartu dari balik bantal sofa. Ia lalu mengambilnya dan tersenyum senang. "Berarti itu si Nyamuk Julita tidak bawa kartu. Ha ha ha ha ..." Narsih terbahak, lalu dengan sekuat tenaga mematahkan kartu sakti milik Devano.

"Gue bininya ga dikasih belanja pake kartu, maka wanita lain juga ga boleh belanja pake kartu laki gue."

Pletak

Setelah kartu terbagi dua, Narsih melemparkannya ke dalam bak sampah di dapur. Ia pun melanjutkan acara menontonnya sambil menikmati segelas teh manis hangat. 

Bosan menonton acara film yang selalu saja bertemakan percintaan, Narsih memilih ke dapur. Memang ia belum mengecek semua bahan makanan yang ada di dapur. Dengan bantuan sebuah kursi, Narsih membuka lemari kitchen set bagian atas. Betapa kagetnya ia melihat ada beberapa bahan olah untuk membuat kue, seperti terigu, tepung sagu, gula bubuk, kacang hijau, kacang tanah, margarin, beberapa pewarna makanan, dan juga sebuah kotak mixer.

Narsih membawa turun beberapa bahan, ia mulai menuangkan tepung ke dalam baskom.  Tahukan apa yang akan dibuat oleh Narsih? Ya, Narsih memilih membuat peyek kacang, seperti waktu dahulu ia selalu ditugaskan oleh Yasmin, mantan majikannya.

"Semoga Bu Yasmin dan Mas Jaja berjodoh ya. Ah... jadi kangen Reza," gumamnya dengan mata berkaca-kaca. Narsih teringat Reza, anak majikannya yang selalu saja cerewet kalau ia sedang berada di dapur.

"Pasti sekarang, Reza sudah kelas lima SD," gumamnya lagi sambil terus mengaduk tepung yang telah diberi air.

Ia pun dengan asik menggoreng peyek kacang, tanpa mengetahui bahwa Devano dan Jelita sudah kembali ke rumah. Jelita turun dari mobil dengan wajah masam dan perut lapar. 

"Gi...Gi...!" suara Jelita setengah berteriak.

"Benar-benar dua orang gak waras nih, nama gue cakep-cakep Aminarsih, diganti Giyem. Sekarang Gi...Gi...gila apa ya?" gumam Narsih sambil mematikan sebentar api kompornya.

Setengah berlari Narsih menghampiri Jelita dan Devano yang sudah duduk di ruang televisi, tampak keduanya kelelahan. Devano tak lama segera bangkit dari duduknya, lalu berjalan naik ke lantai dua.

"Ada apa, Nya-muk?"

"Angkat belanjaan yang di dalam mobil. Kemudian ambilkan saya nasi, saya lapar."

"Oke, saya masak dulu berasnya. Nyonya sudah beli berasnyakan?" tanya Aminarsih dengan tatapan mencurigakan pada Jelita.

"Ya ampun, saya lupa!" Jelita menepuk keningnya dengan keras.

"Duh, gimana mau makan kalau tidak ada beras?" Aminarsih memutar bola mata malasnya. Kalau gua jadi majikan, lu pembantu lupa beli beras, udah gue pites lu Juliiiit! Geram Narsih dalam hati. Jujur ia pun lapar, menunggu beras datang agar bisa segera dimasak.

"Aduh, mana saya lapar banget," keluh Jelita.

"Saya buatkan mie instan saja deh. Dibeli ga mienya?"

"Beli, itu ada di kantong belanja. Tapi, saya tidak bisa makan mie," jawab Jelita sambil memegang perutnya.

"Ada makanan apa di dapur?"

"Peyek kacang."

"Ya sudah, saya makan peyek kacang saja."

"Gak takut batuk?"

"Nggak."

Aminarsih bergegas ke dapur, mengambil toples besar yang berisi peyek kacang yang warna coklatnya menantang lidah ingin segera mencicipinya. Wanita yang berstatus istri sah Devano itu, membuka tutup toples, lalu kembali memercikkan air ludahnya di sana. "Semoga besok kedua spesies jadi-jadian itu kembali sial."

"Jadi kamu lupa beli beras? Aduh, Jelita... yang benar saja. Jadi kita makan apa?" Devano mendesah kesal.

"Ada peyek Paduka, makan ini saja." Narsih meletakkan satu toples besar berisi peyek kacang buatannya.

"Kamu yang bikin?" tanya Devano.

"Iyalah, masa setan bisa bikin peyek. Setan mah ga suka masak, sukanya belanja," ujar Aminarsih sambil melirik Jelita. 

"Ya sudah, sana! Buatkan kami minum!" tangan Devano mengusir Narsih agar segera pergi ke dapur. Wanita itu menurut, berjalan ke dapur untuk membuatkan teh untuk Devano dan juga Jelita.

Huk!

Huk!

Huk!

Huk!

Suara batuk-batuk menggema dari ruang televisi. Ternyata benar, Devano dan Jelita sedang saling sahut batuk. Bahkan wajah keduanya memerah. Cepat Narsih berjalan ke ruang televisi dengan dua cangkir teh di tangannya. Betapa kaget ia, saat melihat toples besar peyek sudah kosong.

"Makanya, Nyonya-Tuan, kalau makan peyek itu dikunyah, jangan langsung telan kayak bubur. Jadi batuk deh," komentar Narsih sambil meletakkan teh di atas meja.

Ia pun langsung naik ke kamarnya tanpa memedulikan dua orang uang masih saja terbatuk di bawah sana. Tubuhnya sangat lelah dan berpeluh. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul delapan malam. Narsih meraba baju kaus yang ia gantung di teralis jendela, ternyata sudah kering sehingga bisa ia pakai kembali.

Sedang asik menggosok rambutnya dengan sampo yang dibeli Jelita, suara pintu kamarnya terdengar dibuka. Narsih terdiam, dadanya berdebar hebat. Jangan! Devano tidak boleh menyentuhnya lagi.

Kkreek

"T-tuan mau apa?" Narsih yang kaget, refleks menutup kedua dadanya dan merapatkan pahanya.

Cup...mmmpp...

Mata Narsih terbelalak, saat Devano tiba-tiba saja masuk ke dalam kamar mandi dan mencium rakus bibirnya. Mereka mengulangi aktifitas panas di dalam kamar mandi.

Jelita sedang menunggu Devano di kamarnya, lelaki itu pamit sebentar mau memberi makan anjingnya. Namun, sudah satu jam belum juga kembali ke kamar Jelita. 

"Masa gagal lagi sih? Kemarin tidak jadi karena dia ketiduran di kamarnya, masa malam ini dia ketiduran lagi di kandang anjing," gumam Jelita yang akhirnya memutuskan untuk tidur saja.

"Katanya jijik, tapi dipake terus," omel Narsih sambil melemparkan tangan Devano dari pinggangnya. Lelaki itu kini terlelap kembali di kamar Narsih.

****

🤣🤣🤣 Jijik sih sama orangnya, sama anunya nggak. Dasar Panuuu!!🤣

Comments (7)
goodnovel comment avatar
Casmuroh Casmuroh
novelnya bikin sedih dan ngakak.. biasaalah Narsih mulutnya si Panu beda sama pusakanya..wkwwkwk
goodnovel comment avatar
Mahzuni
gi gi berarti legit devano ketgihan
goodnovel comment avatar
Yunita Anisyah
devano jijik tapi doyan nganu
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status