Beranda / Thriller / Istri Tanpa Suami / 7. Kesialan Jelita dan Devano

Share

7. Kesialan Jelita dan Devano

last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-11 10:12:14

Narsih memilih keluar dari ruang makan, ia berjalan menuju taman belakang, untuk mengangkat jemuran yang kemarin ia jemur. Sesekali melirik ke dalam ruang makan, sambil tersenyum licik. "Makan tuh iler gue," ledeknya sambil menahan tawa. Ia kembali melanjutkan aktifitasnya dengan menyetrika pakaian yang ada di dalam keranjang. Entah berapa abad sang suami laknat tidak menyetrika pakaiannya. Tumpukan pakaian begitu banyak di dalam empat bak besar bewarna hitam.

Huk!

Huk!

Suara batuk-batuk wanita terdengar dari ruang makan. Narsih tersenyum sambil memainkan matanya, barisan gigi kuningnya ia perlihatkan pada tumpukan pakaian yang audah mengantre minta disetrika.

"Alhamdulillah," gumamnya, lalu melanjutkan aktifitas main mobil-mobilan.

Huk!

Huk!

Kini suara batuk Devano yang terdengar nyaring, bahkan kini keduanya saling batuk bersahutan.

"Emang enak, kena corona, ha ha ha hi hi hi," Narsih tertawa geli menutup mulutnya.

"Giyem! Huk...huk..." teriak Devano memanggil Narsih. Dengan malas, Narsih menekan tombol pause pada setrikaannya, lalu berjalan masuk ke dalam ruang makan. Dua orang di sana masih saja terbatuk-batuk, bahkan wajah Jelita memerah karena mungkin tenggorokannya sangatlah gatal.

"Ada apa, Paduka?" tanya Narsih sambil membungkukkan tubuhnya. Jika Devano memanggilnya Giyem, maka panggilan Devano juga akan dia ganti.

"Ck, panggilan apa itu Paduka? Ngaco aja! Sana, buatkan kecap dan jeruk nipis untuk kami minum!" titah Devano pada Narsih.

"Kecap tidak ada Paduka, jeruk nipis sudah kisut di dalam kulkas. Paduka yang Mulia sudah satu bulan tidak belanja ke supermarket. Saya saja makan cuma pakai nasi dan telur," terang Narsih dengan mimik muka dibuat semelas mungkin. Maksud hati agar wanita yang kini tengah di rangkul pundaknya oleh Devano itu, ilfeel. Tetapi wanita itu malah kini berwajah sumringah.

"Ayo, kita belanja saja, Sayang," ucap Jelita mendayu-dayu.

"Tapi aku ada meeting jam sembilan, tidak bisa. Kamu saja yang belanja ya. Beli apa saja yang kamu inginkan," ujar Vano sambil mengeluarkan kartu sakti dari dalam dompetnya.

"Terimakasih, Sayang. Aku boleh beli tas juga ga? Ada keluaran baru dari produk ZARA," rengek Jelita pada Devano.

"Tentu boleh, Sayang. Kartu ini unlimited. Sekalian cari juga gaun untuk pernikahan kita ya," ujar Devano sambil melirik Narsih sekilas.

Pemandangan yang membuat Narsih miris. Sekuat tenaga ia menahan air mata agar tidak tumpah. Dia istri, minum saja masih dengan air mentah. Ini, wanita jadi-jadian malah disuruh belanja, membeli baju pernikahan pula. Narsih menggeram dalam hati. Ia lebih memilih kembali ke ruang belakang, sambil sesekali menghapus air matanya. Mulai saat ini, detik ini, ia tidak akan berharap apapun dari pernikahan gila ini. Anggap saja ia memang hanya sebagai pembantu di rumah keluarga Vano.

"Giyem, tolong pijatkan kaki saya! Kok pegal banget." Jelita memanggil Narsih agar mau memijatnya. Narsih menggigit gemas sempak Devano, sebelum akhirnya dia melemparkan kasar celana dalam itu ke atas meja setrika.

"Iya, Mbak. Sebentar," sahut Narsih, lalu berjalan ke arah ruang televisi. Sudah ada Jelita sang calon nyonya yang tengah berbaring di sofa sambil membaca majalah. Mata Narsih mencari di mana kiranya keberadaan Vano, namun tidak ia temukan sama sekali tanda kehidupan Vano di dalam rumah.

"Majikan kamu sudah berangkat. Ayo sini, tolong pijat kaki saya!" titah Jelita.

"Saya tenaganya kuat, Mbak. Nanti Mbak tidak kesakitan?"

"Mulai hari ini, belajar panggil saya Nyonya, ya. Karena mungkin dua pekan lagi, saya akan menjadi nyonya rumah ini," ujar Jelita penuh percaya diri. Narsih kembali merasakan perih di dalam hatiya, namun senyuman tetap ia berikan pada sang wanita yang terlalu percaya diri di depannya ini.

"Baik, Nya."

"Bagus."

"Muk," lanjut Narsih sangat pelan, hingga Jelita tidak menyadari ucapan Narsih. Nya-muk. Ha ha ha ...

"Saya ambil minyak kayu putih dulu di belakang ya, Nya-muk."

"Oke, silakan!" Narsih meninggalkan Jelita di ruang televisi. Kakinya melangkah lebar menuju dapur, lalu membuka kotak obat. Senyumnya terbit, tatkala melihat ada param kocok panas dan juga minyak kayu putih botol besar di dalam kotak obat. Dengan sejuta muslihat, isi botol tersebut ia tukar. 

Dari kejauhan, senyum manis ia berikan  pada Jelita yang kini juga ikut tersenyum padanya.

"Sini, Nya. Kakinya!" Narsih meluruskan kedua kaki Jelita. Lalu dengan perlahan menuangkan cukup banyak minyak param kocok yang bercampur aroma minyak kayu putih yang telah ia tukar.

Narsih mulai memijat kaki Jelita dengan tenaga penuh, hingga wanita itu meringis sakit.

"Au, pelan Giyem! Sakit," keluhnya.

"Ini urat kakinya ada yang bengkok, Nya. Sabar ya," ujar Narsih menenangkan.

"Kamu pakai minyak apa? Kok panas sih?"

"Ini, Nya. Ada di kotak obat belakang." Narsih menunjulkan botol minyak kayu putih yang berisi minyak param kocok.

"Aduh, panas nih. Aduh...udahan aja deh. Saya mau ke kamar mandi dulu, panas banget," ujar Jelita blingsatan mengibas kakinya dengan tangan.

Wanita itu bergegas naik ke lantai atas untuk mandi, sedangkan Narsih tertawa senang. Ia berjalan santai ke dapur untuk mencuci tangan di wastafel.

Merendam jemarinya dengan air sabun cuci piring yang diberi air hangat. Walaupun ini berlaku untuk tangan yang panas karena cabai, tetapi efektif juga untuk mengurangi rasa panas akibat minyak gosok.

****

Sementara itu, Devano tengah berada di sebuah bengkel mobil. Di tengah jalan tadi, ban mobilnya pecah, sehingga ia terpaksa mendorong mobilnya ke bengkel terdekat yang dibantu oleh tiga orang. Untung saja, pagi ini ia menggunakan mobil sedan miliknya yang masih manual. Apa jadinya jika ia menggunakan mobil sport miliknya, dijamin tidak bisa bergerak, harus memanggil mobil derek.

Ponselnya dari tadi berdering, sang papa yang memanggilnya di seberang sana. Sudah hampir pukul sembilan, ia belum juga sampai di kantor. Masih menunggu montir menyelesaikan pekerjaan pada ban mobilnya.

[Hallo, kamu di mana, Van? Sudah mau mulai ini.]

[Ban mobil Vano pecah, Pa. Tunggu ya, mungkin lima belas menit lagi selesai.]

[Ya sudah, papa tunggu.]

Vano mematikan ponselnya, lalu memasukkan ponsel tersebut ke dalam saku celananya. 

"Sudah selesai, Pak. Semuanya enam puluh lima ribu," ucap sang montir.

"Oke." Vano meraba saku celana sebelah kanan, tempat ia biasa menaruh dompet. Berkali-kali meraba sakunya, tidak ia rasakan ada benda bernama dompet di sana. Wajahnya seketika panik, di mana dompetnya?

"Kenapa, Pak?" tanya montir.

"Tunggu ya, saya cek di mobil. Kenapa saya tidak bawa dompet ya," ujar Vano sambil berjalan cepat membuka pintu mobilnya. Matanya terus saja mencari di mana keberadaan dompetnya, tetapi tetap tidak ada.

"Bagaimana, Pak?" wajah montir yang kumal belepotan oli kini menatap horor wajah Devano.

"Mm...begini, Mas. Saya kelupaan membawa dompet. Bisa saya bayarnya nanti sepulang saya dari kantor?"

"Kalau tidak bisa bayar, silakan tinggalkan saja mobil di sini. Nanti, setelah punya uang silakan diambil. Bawa saja kuncinya," terang montir memberi solusi.

"Duh, saya buru-buru, Mas," timpal Vano lagi.

"Jam tangan bapak saja jadi jaminan," tunjuk montir pada jam tangan mahal yang melingkar di tangan Devano.

"Ya sudah, sore saya ambil, Mas." Devano membuka jam tangannya, lalu memberikan pada montir. Secepat kilat ia kembali masuk ke dalam mobil dan melanjutkan perjalanannya ke kantor.

"Aduh, hari ini repot sekali!" gerutu Devano di dalam mobil. 

Huk!

Huk!

Ia kembali terbatuk-batuk di dalam mobil, tangannya meraba tempat air yang biasa ia selalu bawa. Sial! Dia lupa membawanya pagi ini.

Huk!

Huk!

Devano terbatuk-batuk di dalam mobil, begitu juga Jelita di rumah. Bahkan lipstik yang ia pakai sampai mencoret pipi karena batuk yang sangat kencang. Dengan berlari, Jelita turun ke bawah. Bermaksud minum air hangat.

Narsih hanya melirik sekilas sambil menahan tawa. Masa ia kena iler doang, sama hawa selangkan gue langsung TBC, ha ha ha ha Narsih bersorak dalam hatinya.

"Giyem...huk...huk, air uhuk..panas mana uhuk...sa..huuk!"

"Sebentar saya masak dulu, Nya. Dispensernya rusak, jadi ga ada air panas," sahut Narsih sambil masuk ke dapur, memasak sedikit air untuk Jelita. Untuk menghilangkan rasa gatal ditenggorokannya, Jelita meminum air dingin yang ada di dalam lemari es. Bukannya hilang, tenggorokannya malah semakim gatal. Tanpa sepengetahuan Jelita, yang sibuk merejan karena batuk, Giyem, eh...Narsih kembali meludahi gelas air  putih hangat untuk jelita. Kemudian dicampur dengan air dingin yang ada di dalam kulkas. 

Jelita langsung menenggak air hangat yang diberikan  Narsih. Tanpa memperhatikan ada buih di dalam sana. Dalam hati, Narsih berkata, "semoga kesialan lainnya segera menyusul."

****

Sore hari, sepulang dari kantor. Devano kembali menyambangi bengkel mobil tempat ia menjaminkan jam tangannya. Ia dipinjamkan uang satu juta oleh Pak Broto untuk menebus jam tangan miliknya.

Terlibat sepi, tidak ada kustomer. Hanya ada satu orang montir berusia senja sedang menikmati sebatang rokok sambil bermain ponsel. Devano memarkirkan mobilnya tepat di depan bengkel. Lalu turun dengan sedikit tergesa. Karena ia harus segera menjemput Jelita di sebuah mall.

"Permisi,Pak. Saya mau bertemu dengan montir muda yang memiliki tahi lalat besar di hidung," ujar Devano pada pria baruh baya itu.

"Oh, si Maman baru aja pulang kampung, istrinya sakit."

"Oh gitu, tapi Mas Maman ada menitipkan jam tangan tidak, Pak?"

"Tidak ada."

****

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (2)
goodnovel comment avatar
Sudarsih Sudarsih
cerita lucuuuu...benar2 menghibur, lima bintang deh buat penulisnya, syukaa aku syuka
goodnovel comment avatar
Siti Bue Azzam
Syukuriin kualat sm bini luh maka sial mulu km vano
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Istri Tanpa Suami   142. KEJUTAN (ENDING)

    Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan diballroomsebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman se

  • Istri Tanpa Suami   141. Hari Pernikahan

    Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya

  • Istri Tanpa Suami   140. Lamaran

    Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan s

  • Istri Tanpa Suami   139. Say Yes!

    Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertem

  • Istri Tanpa Suami   138. Bertemu

    Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi.Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis.

  • Istri Tanpa Suami   137. Serunya Masa SMA

    Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira.Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Boho

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status