Share

Bab 4

Bab 4

Aku tutup dulu ponsel, karena harus maskeran. Nanti kubaca lagi komentator di status yang aku buat.

Rambut panjang yang tadinya aku urai dipangkas lalu dipotong bentuk kekinian, dan wajah yang penuh komedo di bersihkan sampai mulus oleh pakarnya.

Setelah usai di-make over, aku dihadapkan di depan kaca. Wajahku kini mulus, mungkin nyamuk pun kepleset jika singgahi wajahku ini.

"Berapa Mbak totalnya?" tanyaku sambil menyorot kaca, melihat wajahku yang kini anggun mempesona.

"1,5 juta saja Bu, sudah semuanya," sahutnya. Kebetulan tadi aku ambil uang cash dua juta rupiah sebelum masuk salon yang berada di mall. 

"Ini, Mbak. Terima kasih ya," ucapku sambil berlalu pergi. 

Aku lihat jam yang berada di layar ponsel, sudah hampir setengah hari aku keluar rumah, sampai belum makan siang, padahal ini sudah jam dua. Tadi berangkat dari rumah jam sepuluh pagi, kini empat jam aku pergi. 

Perutku sudah bunyi, aku mencari restoran untuk mengisi perutku lapar.

Sambil makan, aku lihat status dari akun yang kubuat atas nama Hans Jennifer. Akun fake yang sama dengan akun fake Mas Leo. Aku tertawa seketika ketika Jenni ternyata ikut berkomentar di kolom komentar.

[Ini siapa? Kenapa akunnya mirip dengan akun suamiku?] Jenni berkomentar lembut, karena yang aku tag adalah teman kantornya Mas Leo.

Kemudian, kulihat Mas Leo pun membalas komentar Jenni.

[Iya, sepertinya ini hoax. Ada yang menyebarkan isu panas di akun fake, sepertinya niat untuk menyebarkan isu, soalnya teman saya di add pertemanan semua, maaf ya jadi ganggu.] rayu Mas Leo dengan akun aslinya. Seakan-akan ia laki-laki setia, Mas Leo memang pandai bersandiwara.

[Leo, berita apa ini? Tolong klarifikasinya ya!] Salah satu akun yang bernama Dion Firdaus turut mengomentari, sepertinya ia adalah seseorang yang ditakuti di kantor Mas Leo.

Aku tertawa ketika membaca semua komentar, diiringi dengan tangan yang melahap nasi goreng seafood.

Setelah makanan habis, aku bangkit dan segera mencari ide lain, aku tak menghiraukan akun yang sengaja membuat rusuh tadi. Biarkan saja Mas Leo mengklarifikasi sendiri pada teman-temannya.

Ketika sudah di dalam mobil, aku melihat ke arah ponsel, lalu mengecek saldo melalui mobile banking. Masih 41 juta rupiah, uang yang digunakan untuk make over ternyata tidak terlalu banyak, hanya saja Mas Leo memang pelit pada istrinya sendiri.

Kulihat jam telah mengarah ke angka tiga kurang sedikit, sebaiknya aku ke Bank sebentar, untuk melakukan deposit agar uang ini tak bisa diganggu gugat lagi oleh Mas Leo. Semoga Bank masih terima antrian.

Baru saja belok, sudah terlihat Bank yang aku gunakan. Namun, satpam yang berjaga sudah mencegah aku untuk masuk.

"Maaf, Bu, sudah tutup antrian, hanya melayani yang sudah antri," ujar Pak satpam.

Baiklah, kalau begitu besok lagi aku akan pergi pagi-pagi.

"Ya sudah, terima kasih, Pak."

Baru saja aku hendak pergi, tiba-tiba ada yang memanggil namaku.

"Nia!"

Aku menoleh, dan ternyata teman sewaktu SMA dulu, masih ingat saja dia dengan wajahku.

"Hai, Iqbal. Kirain siapa."

"Ngapain di sini? 

"Tadi mau deposit tapi sudah tutup antrian," jawabku. "Lah kamu sendiri ngapain di sini?" tanyaku.

"Kantorku ini sebelah Bank yang ingin kamu singgahi." Aku menoleh ke arah bangunan tinggi sebelah Bank.

"Ini perusahaan milik kamu?" tanyaku.

"Bukan, milik papaku," candanya. Oh ternyata perusahaan sebesar ini yang ngelola adalah Iqbal.

Akhirnya kami ngobrol sebentar dari A sampai Z. Kami sempat bertukar nomor kontak juga sebelum berpencar. 

***

Aku injak gas mobil dengan cepat, sebab perjalanan dari sini ke rumah kurang lebih setengah jam. Aku ingin pulang lebih awal dari Mas Leo, karena ingin menyerahkan surat kendaraan ke Pak Yanto untuk dibalik nama menjadi namaku.

Setibanya di rumah, aku segera menyerahkan surat-surat beserta tanda pengenal milikku. Pak Yanto pun menerimanya dengan senang hati, dan tak lupa aku berikan upah untuknya.

Selang beberapa jam aku berada di rumah, Mas Leo pun datang dengan wajah kusut.

Ia duduk bersandar sambil melempar tas yang biasa dibawanya.

Aku yang sudah berpenampilan jauh berbeda pun muncul dari dapur sambil membawa secangkir teh untuknya.

"Nia?" Mas Leo bangkit dari sandaran sambil menatapku dari ujung kaki hingga ujung rambut.

"Iya, Mas. Aku cantik, kan?" tanyaku. Namun, ternyata cantik saja tidak cukup untuknya. Ia justru memarahiku dengan keras.

"Apa-apaan dandan begini? Apa-apaan rambut dimodel begitu? Terus daster yang biasa kamu kenakan, kenapa jadi dress gini?" teriaknya dengan mata membulat. 

Aku semakin kesal dengan ucapannya. Lelaki plin-plan, tak jelas maunya apa.

"Mas, aku hanya ingin cantik, apa salah?" tanyaku dengan nada tinggi.

"Ini yang tidak aku inginkan. Kamu terlihat cantik lalu membangkang dari suami, setelah ini pasti kamu tidak nurut kata-kata suami, iya kan?" 

"Ya nggak gitu, Mas. Ya sudah, kalau gitu, aku pulang saja deh," ancamku.

"Tuh kan, dikit-dikit pulang, iya kamu cantik, tapi tak perlu seperti ini, aku tetap suka kamu apa adanya, tanpa dipoles make up dan ke salon segala. Buang duit saja tahu, Nia!" tekannya dengan nada sedikit diturunkan.

"Ya sudah, aku pulang nih!" ancamku lagi.

"Jangan, Nia," lirihnya sambil menggenggam tanganku.

Tiba-tiba ponselnya berdering, lalu ia diam sejenak dan mematikan teleponnya.

"Kenapa nggak diangkat?" tanyaku.

"Oh ya, ada yang mau Mas tanyakan akun F******k kamu ada yang tag atas nama Hans Jennifer nggak?" tanyanya.

"Nggak, Mas. Emang kenapa?" tanyaku.

"Oh, kirain ada. Bagus kalau nggak ada," celetuknya membuatku menautkan kedua alis. 

Kemudian ia memeluk tubuhku. Lalu mengajakku duduk. Entahlah apa yang ingin ia katakan padaku.

"Nia, uang yang tadi aku transfer masih ada nggak?" tanyanya seketika membuatku berprasangka buruk. Jangan-jangan uangnya mau diambil kembali.

Bersambung

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status